Kamis, 05 Februari 2009

HARI JADI KOTA NGANJUK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

HARI JADI KOTA NGANJUK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH


Oleh:

Agung Ari Widodo

(305262479251)


Bulan Agustus angin berhembus kencang di Kabupaten Nganjuk. Penulis merasakan kencangnya angin ini ketika pindah ke Kertosono, salah satu kecamatan di Nganjuk. Rumah penulis ketika itu dekat dengan sungai Brantas. Di atas sungai Brantas itu terdapat tiga jembatan kembar yang terkenal di Kertosono. Satu di antara ketiga jembatan tersebut, yang terletak di tengah, merupakan jembatan lama yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Dari kondisi geografisnya ternyata Nganjuk merupakan kota kuno yang bersejarah, kota yang dahulunya merupakan awal dari peradaban manusia di Indonesia (khususnya di pulau Jawa). Indikator yang paling mudah dijumpai adalah Sungai Brantas. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sungai Brantas merupakan penghasil peradaban kuno. Fosil-fosil manusia purba banyak ditemukan di sekitar lembah sungai Brantas. Kejayaan Majapahit juga tercipta dengan kesuburan lembah sungai Brantas. Jauh sebelum kerajaan Majapahit, di lembah sungai Brantas telah berdiri Kerajaan Mataram Jawa Timur masa pemerintaha Pu Sindok sampai Airlangga, serta sempat berdiri juga Kerajaan Kadiri.

Selain Sungai Brantas, indikator lain yang menunjukkan kota Nganjuk sebagai kota yang bersejarah adalah temuan-temuan benda-benda purbakala. Situs yang sekarang masih utuh (walaupun mengalami kerusakan) diantaranya Candi Lor, tempat penemuan prasasti Anjuk Ladang yang merupakan asal nama Nganjuk, Candi Ngetos, Masjid Al Mubarok Brebek dan situs-situs lain yang tersebar di berbagai wilayah di Nganjuk1.

Pada masa kolonial Belanda Nganjuk masuk dalam wilayah Karesidenan Kediri (tahun 1885). Pada masa ini terjadi perubahan wilayah karesidenan. Hal ini disebabkan oleh campur tangannya Belanda dalam urusan pengaturan wilayah mancanegara Kasultanan Yogyakarta. Hal inilah yang nantinya memunculkan Perjanjian Sepreh. Perjanjian ini memuat tentang pembagian wilayah kekuasaan mancanegara.

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa Nganjuk masuk dalam wilayah Karesidenan Kediri. Wilayah Nganjuk (sekarang) yang dahulunya masuk dalam Karesidenan Kediri adalah Nganjuk, Brebek, Kertosono, dan Warungjayeng2. Ada suatu peristiwa yang menentukan posisi kota Nganjuk, yaitu perpindahan pusat pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk yang dilakukan oleh Raden Tumenggung Sosrokoesoemo III3.

Nganjuk telah melintasi masa dalam periode yang diakronik. Awal mula kemunculan nama Nganjuk dikaitkan dengan penemuan prasasti Anjukladang yang dikeluarkan oleh raja Pu Sindok. Prasasti ini berisi penganugerahan sima kepada desa Anjukladang yang telah berjasa menghalau serangan dari timur (diperkirakan dari Sriwajaya). Kemudian pada masa Kolonial Belanda terjadi peristiwa perpindahan pusat pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk oleh RT. Sosrokoesoemo III. Perpindahan ini menjadikan Nganjuk sebagai kota pemerintahan. Pada paper ini penulis akan mencoba mendeskripsikan tentang asal mula hari jadi kota Nganjuk berdasarkan fakta sejarah.


Anjukladang


Pralaya yang melanda Kerajaan Mataram kuna di Jawa Tengah menjadi salah satu sebab perpindahan pusat Kerajaan Mataram ke Jawa Timur. Raja yang memerintah Kerajaan Mataram di Jawa Timur adalah Pu Sindok. Berdasarkan landasan kosmologis wangsa yang memimpin suatu kerajaan yang hancur harus diganti dengan wangsa yang baru. Karena itu maka Pu Sindok, yang membangun kerajaan di Jawa Timur, dianggap sebagai cikal-bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana4.

Ibukota Kerajaan Mataram Jawa Timur yang pertama adalah di Tamwlang. Nama ini terdapat pada akhir prasasti Turyyan tahun 929 M. Letak Tamwlang, yang hingga kini hanya ditemui di dalam prasasti Turyyan itu saja, mungkin di dekat Jombang sekarang, dimana masih ada desa Tembelang5.

Di desa Candi Rejo Kecamatan Loceret terdapat situs Candi Lor. Di sekitar candi ini ditemukan prasasti Anjukladang. Prasasti Anjukladang berangka tahun 859 Saka (937 M) merupakan sumber tertulis tertua yang memuat toponimi Anjukladang sebagai satuan teritorial watek, yang dikepalai seorang samgat dan seorang rama6. Di dalam prasasti Anjukladang dikatakan bahwa raja Pu Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan di Anjukladang dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada bhatara di sang hyang prasada kabhaktyan di Jayamerta, dharmma dari Samgat Anjukladang7. Itu merupakan anugerah raja bagi penduduk desa Anjukladang. Sayang sekali prasasti ini bagian atasnya usang, sehingga tidak jelas alasan kenapa penduduk desa Anjukladang diberi anugerah oleh raja.

Menurut J.G. de Casparis prasasti Anjukladang mengandung keterangan tentang adanya serbuan dari Malayu (Sumatera)8. Tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk9, tetapi dapat dihalau oleh pasukan raja di bawah pimpinan Pu Sindok yang waktu itu masih belum menjadi raja. Atas jasanya yang besar terhadap kerajaan itu maka Pu Sindok diangkat menjadi raja10. Sayang sekali bahwa prasasti Anjukladang itu belum terbaca seluruhnya. Apa yang terdapat dalam transkripsi peninggalan Brandes tidak membayangkan adanya peperangan itu, sekalipun ada juga didapatkan kata jayastambha, yaitu keterangan bahwa di tempat sang hyang prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan11.

Toponimi desa Anjukladang merupakan asal mula kata Nganjuk yang sekarang. Oleh karena itulah maka penemuan prasasti Anjukladang dipilih untuk dijadikan hari jadi Nganjuk. Menurut unsur penanggalannya maka tanggal 12 bulan Caitra, Krsnapaksa, HA PO SO, bertepatan dengan tahun masehi: 10 April 937, secara lengkap jatuh pada hari SENIN PON, HARI YANG (SADWARA) BENTENG (TRIWARA), WUKU SINTA, 10 APRIL 937. Itulah tanggal yang sesuai dan layak sebagai hari jadi Nganjuk12.

Menurut cerita yang rakyat yang masih hidup di kalangan penduduk setempat, bahwa desa tempat didirikannya Candi Lor dahulu bernama desa Nganjuk, yang berasal dari kata anjuk. Tetapi setelah Nganjuk dipergunakan untuk nama daerah yang lebih luas, maka nama desa tersebut diubah menjadi Tanggungan. Tanggungan berasal dari kata ketanggungan (Jawa: mertanggung)13. Istilah ini mengandung maksud bahwa nama Nganjuk tanggung untuk digunakan sebagai nama daerah dari desa tersebut karena sudah digunakan nama daerah yang lebih luas. Oleh karena itu sudah tidak berarti lagi (tanggung atau mertanggung) desa sekecil itu disebut Nganjuk.


Dari Berbek Pindah ke Nganjuk


Abad XV merupakan abad perkembangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada abad ini kerajaan klasik Hindu-Budha mengalami kemunduran, atau bahkan hancur14. Di berbagai wilayah Indonesia (Nusantara) berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Di Aceh berdiri Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak yang nantinya menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan Makassar, Ternate, Tidore dan sebagainya.

Di pulau Jawa berdiri kerajaan bercorak Islam yang mengalami perkembangan yang pesar. Kerajaan ini bernama Mataram (Islam). Didirikan oleh Panembahan Senopati15. Kejayaan Mataram berlangsung ketika diperintah oleh Sultan Agung. Tetapi ketika Sultan Agung meninggal, terjadi perebutan kekuasaan diantara anak-anaknya, suatu masalah klasik yang merugikan. Mataram mulai surut, apalagi ditambah dengan campur tangan Kolonial Belanda terhadap kerajaan. Campur tangan Belanda ini mengakibatkan perpecahan Kerajaan. Mataram kemudian dibagi-bagi melalui perjanjian Gianti (Kamis, 13 Februari 1755). Wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu separuh untuk Mangkubumi (Yogyakarta) dan separuh untuk Susuhunan Surakarta.

Pada pembagian wilayah ini Nganjuk termasuk dalam wilayah mancanegara Susuhunan Surakarta. Ketika itu nama tidak memakai nama Nganjuk tapi Pace. Kertosono masuk dalam wilayah kekuasaan Sultan Yogyakarta. Ada hal unik, kedua wilayah Nganjuk di atas masuk dalam dua wilayah mancanegara. Status Pace dan Kertosono adalah setingkat kabupaten. Berdasarkan Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1811 di wilayah Nganjuk terdapat empat wilayah yaitu Berbek, Godean, Nganjuk, dan Kertsono. Keempat wilayah tersebut berada di bawah penguasaan daerah mancanegara yang berbeda. Daerah Berbek, Godean, dan Kertosono berada di bawah pengawasan Belanda dan Kasultanan Yogyakarta sedangkan daerah Nganjuk merupakan daerah mancanegara Kasunanan Surakarta16.

Pada dasawarsa terakhir abad XVII kerajaan-kerajaan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena intrik dari dalam kerajaan dan campur tangan Hindia Belanda17. Pada 4 Juli 1830 disepakati perjanjian Sepreh. Berdasarkan perjanjian ini Nederlandsch Gouvernement melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.

Pada tahun 1875 Nganjuk adalah wilayah yang memiliki status distrik (wilayah kerja pembantu bupati) dari Kabupaten Berbek yang merupakan wilayah Karesidenan Kediri18. Berbek ditetapkan sebagai kabupaten sudah sejak tahun 1745 dengan bupati pertama Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I. Berbek sebagai kota kabupaten atau kota pusat pemerintahan, masih menunjukkan unsur-unsur tradisional karena masih terdapat pengaruh kehidupan desa. Pola pemukimannya sangat sederhana dan belum terpisahkan antara kota dan desa19.

Kabupaten Berbek merupakan wilayah Residensi bagian utara. Kabupaten Berbek sebelah utara berbatasan dengan Residensi Rembang yang dipisahkan oleh Pegunungan Kendeng. Di bagian utara Kabupaten Berbek dari arah barat sampai timur dibatasi oleh Sungai Widas yang bersumber dari Gunung Wilis dan bermuara di Sungai Brantas. Kabupaten Berbek sebelah timur berbatasan dengan Residensi Jombang dan Residensi Surabaya yang dipisahkan oleh Sungai Brantas.

Berbek sebagai kota kabupaten memiliki letak geografis yang kurang strategis, sehingga dalam pengembangan tata kota dan pemerintahannya berjalan dengan lambat20. Lokasi Kabupaten Berbek berada di daerah pedalaman yang jauh dengan jalur transportasi yaitu jalan raya dari Solo ke Surabaya dan jalur kereta api yang oada tahun 1878 baru dalam proses pengerjaan. Kabupaten Berbek berada di arah selatan ±7 km dari kedua ruas jalan yang melintasi wilayah Nganjuk.

Melihat keadaan geografis yang terisolasi dan jauh dari jalur transportasi menjadikan Berbek sebagai wilayah yang kurang menerima informasi dan teknologi. Selain itu kondisi alamnya sangat dipengaruhi oleh terpaan angin dari pegunungan Wilis yang sangat kencang, karena wilayah Berbek berada di lereng Gunung Wilis sebelah utara. Dilihat dari struktur tanahnya Kabupaten Berbek adalah tanah bebatuan dengan dua aliran Sungai Berbek dan Sungai Kucir. Kedua sungai ini pun tidak bisa digunakan untuk sarana trasnportasi, beda dengan Sungai Brantas yang telah menghasilkan peradaban dan kerajaan-kerajaan besar. Dari pertimbangan inilah pusat pemerintahan Berbek dipindahkan ke Nganjuk.

Nganjuk dipilih sebagai pusat pemerintahan karena letaknya yang strategis, yaitu di tengah-tengah wilayah (Nganjuk sekarang) sehingga mudah untuk melakukan pengawasan. Secara kosmologis letak tengah-tengah ini merupakan letak yang magis dan sakral. Selain itu Nganjuk juga terletak di dekat jalur kereta api, jalur jalan Surabaya Solo, dan lebih mudah dalam hubungan komunikasi dengan dunia luar21. Boyongan ini dilakukan oleh Raden Tumenggung Sosrokoesoemo III (1878-1901).

Sumber yang menyebutkan waktu perpindahan ada pada sumber tertulis pada masjid Agung Baitus Salam Nganjuk. Pada mimbar masjid tersebut tertulis angka tahun yang ditulis dengan huruf Arab Pegon yang berbunyi: ngalihipun negari saking Berbek, Bupati Kanjeng Adipati Sosrokoesoemo tahun walandi 1880, tahun 28-3-1901 lajeng gantos putro Kanjeng Raden Mas Sosrohadikusoesoemo (Pindahnya negara dari Berbek bupati Kanjeng Adipati Sosrokoesoemo pada tahun 1880, tahun 28-3-1991 lalu digantikan oleh putra Kanjeng Raden Mas Sosrohadikusoesoemo)22.

Sumber lain yang diperoleh adalah foto dokumentasi peringatan HUT ke-50 berdirinya kota Nganjuk yang dibuat pada tahun 1930. Dengan mengetahui HUT kota Nganjuk maka dapat diketahui pelaksanaan perpindahan pusat pemerintahan dari Berbek ke Nganjuk dengan cara melihat ke belakang dari tahun 1930, sehingga diperoleh jawaban bahwa 50 tahun sebelum tahun 1930 adalah tahun 188023.


Epilog


Penelurusan hari jadi Kota Nganjuk menggunakan dua periode. Periode yang pertama adalah masa Kerajaan Mataram Jawa Timur dengan rajanya Pu Sindok. Nama Nganjuk diperoleh dari penemuan Prasasti Anjukladang berangka tahun 937 M yang dikeluarkan oleh Pu Sindok. Sampai sekarang Anjukladang dipakai sebagai hari jadi kota Nganjuk.

Periode yang kedua adalah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa ini nama Nganjuk sudah ada dan termasuk dalam wilayah Karesidenan Kediri. Nganjuk menjadi kota setingkat kabupaten setelah terjadi peristiwa pemindahan pusat pemerintahan dari Berbek ke Nganjuk. Berdasarkan penelusuran data, perpindahan ini terjadi pada tahun 1880.

Dari pemaparan di atas maka bisa ditafsirka bahwa Nganjuk mempunyai dua hari jadi. Hari jadi yang pertama berawal dari sebuah desa Anjukladang yang diberi anugerah sima oleh Pu Sindok. Perlu diperhatikan di sini bahwa pada saat Anjukladang masih berupa watek atau desa. Kemudian mengalai perkembangan sehingga menjadi kota Nganjuk dan nama desa Anjukladang menjadi desa tanggungan. Sedangkan pada 1880 Nganjuk merupakan sebuah Kabupaten, kota pusat pemerintahan daerah. Bisa saja hari jadi kota Nganjuk mengacu pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Berdasarkan kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nganjuk, Hari Jadi Nganjuk ditetapkan pada 10 April 937, yakni berdasarkan angka tahun pada prasasti Anjukladang24. Penetapan hari jadi kota Nganjuk ini juga didukung dengan pembangunan simbol tugu kemenangan di alun-alun Nganjuk. Tugu ini adalah simbol warga Anjukladang yang berhasil menahan serangan pasukan Malayu. Simbol hari jadi kota Nganjuk pada masa pemerintahan Hindia Belanda hampir tidak ada.

Hari jadi kota Nganjuk merujuk pada penemuan prasasti Anjukladang. Ini adalah masa Pu Sindok. Oleh karena hari jadi kota Nganjuk berdasarkan pada sejarah Indonesia klasik maka yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat Nganjuk adalah pelestarian benda cagar budaya. Situs-situs yang merupakan representasi dari hari jadi kota Nganjuk hendaknya dijaga dan dirawat. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk menjaga identitas asal-usul Nganjuk..








DAFTAR RUJUKAN


Harimintadji, dkk, Nganjuk dan Sejarahnya, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1994


Napsriatun, Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk Tahun 1880, (Malang: Skripsi tidak diterbitkan, 2004


Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia II Jaman Kuna, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984.


M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002)


M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991

1 Temuan-temuan benda purbakala ini di data oleh Harimintadji dkk. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Harimintadji, dkk, Nganjuk dan Sejarahnya, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1994), hal. 86-90.

2 Untuk Kertosono dan Warungjayeng sekarang statusnya berubah menjadi Kecamatan.

3 Napsriatun, Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk Tahun 1880, (Malang: Skripsi tidak diterbitkan, 2004), hal. 30.

4 Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia II Jaman Kuna, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 157.

5 Ibid, hal. 158. Letak ibukota kerajaan Pu Sindok masih menjadi perdebatan. Agaknya Boechari (anggota Bambang Sumadio dalam menulis SNI II) masih ragu-ragu mengatakan bahwa Tamwlang adalah Tembelang. Prasasti Turryan sendiri sekarang masih insitu di Turen, Malang. Di Malang sendiri juga ada desa yang bernama Tembalangan. Jadi Tamwlang kemungkinan berlokasi di Malang. Hal ini juga didukung oleh penemuan prasasti Turyyan di Kecamatan Turen Malang (prasasti Turen).

6 Harimintadji, dkk, op cit, hal. 47.

7 Bambang Sumadio, op cit, hal. 160.

8 Ibid, hal. 161. Diperkirakan sebuan dari Malayu ini dilakukan oleh pasukan dari Kerajaan Sriwijaya.

9 Di Nganjuk terdapat desa Jambi. Kata Jambi ini bisa dihubungkan dengan Jambi yang ada di Sumatera. Konon desa ini merupakan tempat permukiman tentara Malayu ketika menyerang kerajaan Mataram. Hipotesis ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

10 Ibid.

11 Ibid.

12 Harimintadji, dkk, loc cit.

13 Ibid.

14 Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan besar yang menyatukan Nusantara berhasil dihancurkan oleh Raden Patah dengan dibantu oleh para wali dan pasukan Islam. Indikator ini yang menjadi awal kemunduran kerajaan Hindu-Budha. Raja berserta pemeluk agama Hindu-Budha kemudian mengungsi ke daerah pegunungan dan ke arah barat (Bali).

15 M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hal. 13. Berg mengemukakan pendapatnya bahwa sebenarnya Panembahan Senopati tidak ada, dan hanya merupakan ciptaan pada tahun-tahun belakangan, yang dimaksud untuk memberi garis keturunan bangsawan yang fiktif kepada Sultan Agung (1613-1646).

16 Napsriatun, op cit, hal. 37.

17 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hal. 167.

18 Napsriatun, loc cit.

19 Ibid, hal. 20.

20 Ibid, hal. 18.

21 Harimintadji, op cit, hal. 64.

22 Napsriatun, op cit, hal. 48.

23 Ibid, hal. 49.

24 Harimintadji dkk, op cit, lampiran hal. 135-136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar