Kamis, 05 Februari 2009

SISTEM PENGUASAAN TANAH PADA MASA PEMERINTAHAN LETNAN GUBERNUR JENDERAL RAFFLES (1811-1816)

SISTEM PENGUASAAN TANAH PADA MASA PEMERINTAHAN LETNAN GUBERNUR JENDERAL RAFFLES (1811-1816)

Oleh:
Agung Ari Widodo

Tanah menjadi persoalan yang penting bagi negara yang bersifa agraris. Tanah merupakan hasil evolusi dan mempunyai susunan teratur yang unik yang terdiri dari lapisan-lapisan atau horison-horison yang berkembang secara genetik1. Karena itulah dalam lapisan tanah terkandung zat-zat kimia yang bisa menyuburkan tanah. Pengolaan tanah mulai dilakukan oleh manusia pada masa bercocok tanam. Masa ini adalah perubahan dari food gathering menjadi food producing. Hal ini ditandai oleh cara hidup menetap di suatu perkampungan. Masa bercocok tanam di Indonesia dimulai kira-kira bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam alat-alat batu serta mulai dikenalnya pembuatan gerabah2. Kontinuitas ini berlanjut pada masa klasik atau dikenal dengan masa kerajaan Hindhu Budha di Indonesia. Pada masa ini mulai ada aturan-aturan mengenai tanah. Sistem pajak juga mulai diterapkan karena pada masa kerajaan (yang nantinya berlanjut ke masa Islam), tanah merupakan milik raja dan rakyat mengelola tanah atas perintah raja. Setiap masa panen rakyat memberikan upeti kepada raja. Pada jaman kerajaan klasik juga dikenal istilah sima yaitu pembebasan tanah dari pajak yang digunakan untuk membangun bangunan suci (candi)3. Tanah merupaka salah satu elemen bumi yang penting. Di dalamnya terkandung zat-zat yang humus dan yang lain yang menyuburkan tanah. Indonesia juga mempunyai predikat julukan sebagai negara agraris (selain negara maritim tentunnya). Tanah di Indonesia sangat subur, maka tak heran jika dalam lirik lagu koes plus ada istilah bahwa Indonesia adalah tanah surga, tonggak yang ditancapkan pun bisa tumbuh. Kekayaan alam di Indonesia inilah yang mengundang datangnya para penjelajah dari Barat termasuk Belanda. Awalnya mereka bertujuan berdagang, dengan membeli rempah-rempah di Indonesia (nusantara) kemudia dijual atau dipasarkan ke Eropa. Tapi karena ada persaingan dagang di Indonesia, maka pada 22 Maret 1602 Belanda mendirikan VOC yang bertujuan menghindari persaingan dengan kongsi dagang dari negara lain (EIC, dsb) dan melakukan monopoli perdagangan. Pada masa kolonial Belanda (VOC) terjadi pengekspliotasian tanah dan hasil bumi. Rakyat diperas dengan mewajibkan menyerahkan hasil bumi sebagai pajak pada penguasa pribumi dan VOC. Selain itu beberapa orang dari rakyat disuruh melakukan kerja rodi di dalam benteng-benteng, pabrik-pabrik, untuk pertahanan dan pekerjaan umum lainnya, untuk mengangkut barang-barang di daratan, untuk mengurus keperluan-keperluan bagi militer dan pegawai-pegawai yang bepergian, untuk pos, untuk penebangan kayu, pembuatan garam, untuk membuat jalam dan parit-parit4. Pola ekonomi yang di anut Belanda (baik masa VOC maupun pemerintahan Hindia Belanda) inilah yang disebut capital finance yaitu mengeksploitasi hasil bumi dan membeli dengan harga murah untuk mendapatkan laba yang sebesr-besarnya. Keperkasaan VOC mulai surut pada pertengahan abad ke-18. Korupsi merajalela dalam birokrasi VOC. Akhirnya pada 31 Desember 1799 VOC dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu itu Negeri Belanda sendiri dikuasai oleh Perancis. Paham liberte, egalite, dan freternite mempengaruhi kebijakan pemerintahan di Indonesia yang dipegang oleh Dirk van Hogendorp (1799-1808). van Hogendorp berpendapat bahwa stelsel feodal yang terdapat di Indonesia mematikan segala kemauan berusaha dan penyebab penyakit masa bodoh orang-orang Jawa yang ia lihat5. Untuk mengatasi hal itu maka van Hegendorp memberikan usul bahwa keduduka bupati dan penguasa daerah diatur kembali, pemilikan atau penguasaan tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan kepada rakyat6. Hal ini berarti bahwa rakyat diharapkan bisa mengolah tanahnya sendiri dan bisa mendapatkan penghasilan maksimal. Penyerahan wajib dilarang kemudian diganti oleh pajak menurut penghasilan7. Sistem van Hogendorp ini mirip seperti yang diterapkan Raffles nantinya. Keadaan Keamanan koloni Belanda mulai terdesak oleh saingannga, Inggris. Karena itulah koloni-koloni Belanda dipertahankan, khususya di Indonesia (Hindia Belanda8). Herman Willem Daendels diutus untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda dan bertugas mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris. Sebenarnya pada masa Daendels kebijakan dari van Hogendorp masih dipertahankan. Tapi karena ada serangan dari Inggris, maka Daendels harus mempertahankan pulau Jawa dengan membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg). Otomatis untuk keperluan proyek raksasa ini diperlukan tenaga kerja dalam jumlah besar. Oleh karena itu wajib-kerja (verplichte diensten) dipertahankan. Disamping itu wajib-penyerahan juga masih berlaku, sehingga pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus9. Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia (Hindia Belanda), Jawa diduduki oleh Inggris pada tahun 1811. Sebagai pemerintahannya dipegang oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles10. Meskipun hanya lima tahun berkuasa (1811-1816), Raffles telah meletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaannya pemerintahan kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintahan kolonial Inggris11. Kebijakan Raffles bisa dikatakan merupakan sebuah revolusi agraria. Ideologi dari Revolusi Perancis sangat mempengaruhi kebijakan Raffles.

Kebijakan Sistem Sewa Tanah

Tahun 1811 Letnan Gubernur Jenderal Raffles mulai memerintah di Indonesia. Azas-azas pemerintahan Raffles ini sangat dipengaruhi pengalaman Inggris di India12. Pada hakekatnya Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melihat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh VOC dalam kerjasama dengan raja-raja dan para bupati13. Secara konkrit Raffles Ingin menghapus segala penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama jaman VOC selalu dibebankan kepada rakyat, terutama para petani. Karena itulah Raffles mengeluarkan kebijakan Landrent atau sewa tanah. Para penguasa tanah menyewakan tanah dan yang menyewa otomatis membayar sewa berupa uang. Oleh karena itu sistem ekonomi Inggris di Indonesia disebut commers finance. Pada tahun 1813 Raffles mengeluarkan kebijakan Landrent yang isinya sebagai berikut: Menghapuskan segala penyerahan paksa hasil-hasil tanah dengan harga-harga yang tidak pantas, dan penghapusan semua rodi, dengan memberikan kebebasan penuh dalam penanaman dan perdagangan. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewaannya tanpa perantara bupati-bupati, yang pekerjaannya selanjutnya akan terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung itu dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas14. Melihat dasar-dasar di atas terlihat bahwa kebijakan Raffles dipengaruhi oleh faham dari Revolusi Perancis (liberte, egalite, dan freternite). Kebijakan Raffles ini juga mirip dengan kebijakan dari van Hegendorp. Sistem sewa tanah yang kemudian dikenal dengan nama landeljk stelsel bukan saja diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani dan merangsang juga arus pendapatan negara yang mantap15. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Raffles ini diharapkan bisa menguntungkan petani Indonesia. Perubahan yang dilakukan Raffles bisa dikatakan revolusioner, karena mengandung perubahan azazi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan digantikannya dengan sistem hubungan ekonomi antara pemerintah di satu pihak dan rakyat di lain pihak berdasarkan kontrak yang diadakan sukarela oleh kedua belah pihak16. Dengan demikian maka dasar masyarakat Jawa yang tradisional hendak digantikan dengan dasar kehidupan masyarakat seperti yang dikenal di negara-negara Barat. Demikian pula ekonomi masyarakat Jawa yang tradisional dan feodal hendak digantikan dengan sistem ekonomi yang berdasarkan atas lalu lintas pertukaran yang bebas.

Pelaksanaan Sewa Tanah

Sistem sewa tanah tidak dilaksanakan di seluruh Jawa. Misalnya saja di daerah sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun di daerah-daerah Periangan sistem sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada umumnya adalah milik swasta (tanah partikelir), sedangkan di daerah Periangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk menghapus sistem tanam wajib kopi yang memberi keuntungan yang besar dan menghasilkan hasil ekspor yang utama. Karena itu di Periangan sistem pemerintahan lama tetap dipertahankan, dengan nama stelsel Periangan (Preangerstelsel) dan berlangsung terus sampai tahun 187017. Hal pertama yang dilakukan Raffles dalam melaksanakan sistem sewa tanah adalah menggantikan kekuasaan kepala daerah yang kuno dengan suatu pemerintahan Eropa yang langsung18. Jadi dalam melakukan pembayaran pajak, rakyat langsung membayar ke pusat tidak melalui perantara penguasa daerah. Raffles tidak menggunakan para bupati atau penguasa daerah untuk memungut pajak karena supaya tidak terjadi korupsi dan pemerasan terhadap rakyat. Sistem ini memang sangat bagus, tapi nantinya akan menjadi kelemahan kebijakan Raffles. Dengan tidak digunakannya para penguasa daerah ini, maka pejabat-pejabat dari Eropa mengisi jabatan yang dulunya diemban oleh para penguasa daerah tersebut. Bertambahnya pengaruh dari pejabat-pejabat Eropa, pengaruh para Bupati semakin berkurang. Bahkan diantara pejabat-pejabat Eropa timbul keinginan untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan ini sangat menggelisahkan para bupati yang sebelum Raffles mempunyai kekuasaan dan gengsi sosial yang amat besar19. Ketika jaman VOC maupaun kolonial Belanda, para Bupati diberi tanah sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka dalam mengelola pajak atau upeti. Bukan saja tanah yang mereka peroleh, akan tetapi menurut kebiasaan adat mereka dapat pula menuntut peneyerahan wajib hasil-hasil pertanian maupun hasil kerja rodi dari penduduk yang tinggal di atas tanah milik bupati tersebut. Di bawah Raffles kebiasaan ini dihapus dan para bupati kemudian diberi gaji dalam bentuk uang untuk jasa-jasa mereka kepada pemerintah kolonial20. Karena itu para bupati itu hanya hanya dapat memungut pajak tanah saja daripada tanah jabatannya21. Perubahan yang dibuat Raffles dalam sistem politik kolonial Inggris adalah pembaharuan keuangan dalam hubungan antara orang pribumi dengan orang Eropa22. Raffles percaya bahwa sistem pajak tanah tidak hanya untuk membebaskan sejumlah besar penduduk dari perbudakan dan ikatan feodal, tetapi juga untuk kepentingan keuangan pemerintah Inggris23. Jadi petani di daerah kerajaan hanya memiliki hak pakai dan hak garap atas tanah penguasa. Dengan kata lain petani hanya menjadi penyewa dari raja. Pandangan ini telah melahirkan praktek kewajiban bagi petani untuk menyetorkan sejumlah tertentu dari hasil tanah (menurut pemerintah Inggris disebut pajak)24. Jika melihat fakta di lapangan ternyata pelaksanaan pembayaran pajak belum berjalan maksimal. Seperti contoh kasus di daerah Besuki, Panarukan, dan Probolinggo. Mengingat kondisi masyarakat di Besuki, Panarukan, dan Probolinggo pernah dikuasai oleh tuan tanah Cina, David Hopkins menggunakan kepala pribumi (petinggi aris) dalam pemungutan pajak25. Di sini tampak bahwa sekalipun Raffles ingin memajaki petani secara perorangan dan menghapus peranan pribumi, namun dia masih menggunakan petinggi aris untuk bertanggung jawab bagi penarikan pajak tanah26. Sebenarnya peranan petinggi aris sebagai perantara pemungut pajak sudah dimanfaatkan sejak komisaris pajak tanah dipegang oleh John Crawfurd27. Pajak ini diterima dari petinggi setiap desa tanpa melakukan hubungan langsung dengan petani28. Hal inilah yang menyebabkan pemerasan terhadap petani yang dilakukan oleh petinggi desa. Besarnya pajak yang harus dibayar tidak diketahui oleh petani sehingga petinggi desa melakukan penarikan pajak dengan seenaknya. Mengingat bahwa Raffles hanya berkuasa dalam waktu yang singkat, yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai yang cakap dan dana-dana keuangan, tidak mengherankan bahwa Raffles akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang berhubungan dengan sistem sewa tanah itu. Perubahan-perubahan struktural yang dilakukan Raffles tidak disertai dengan perubahan mentalitas dan kultural pada masyarakat tradisonal29. Ide-ide Raffles merujuk dari sistem yang ada di Inggris dan juga yang diterapkan di India. Jika dilihat dari negaranya, Inggris merupakan negara yang secara ekonomi terutama segi industrinya sudah maju (modern). Masalah terbesar Raffles yang juga menjadi biang kegagalannya dalam menerapkan sistem sewa tanah adalah keadaan masyarakat Indonesia (Jawa) yang masih sangat feodal dan sistem ekonomi yang masih tertutup. Jadi pembayaran pajak belum sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan uang tapi in natura30. Pelaksanaan sistem sewa tanah memang gagal dilaksanakan di Indonesia. Tapi setidaknya Raffles sudah berupaya untuk memodernkan masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Setelah diadakan Traktat London, yang isinya bahwa semua koloni Belanda yang dikuasai Inggris dikembalikan kepada Belanda kecuali Tanjung Harapan dan Ceylon. Raffles kemudian meninggalkan Jawa. Walaupun Gagal di Jawa, Raffles menuai keberhasilan di Singapura.
Epilog Kebijakan Raffles mengenai sistem sewa tanah menunjukkan bahwa Raffles menentang adanya pemerasan dan feodalisme. Pengaruh dari Revolusi Perancis mengilhami Raffles dalam mengeluarkan kebijakan sewa tanah. Kebijakan ini diharapkan bisa menambah pendapatan petani dan pemerintah. Petani diberi kebebasan untuk mengolah tanahnya sendiri agar bisa menghasilkan pendapatan yang maksimal. Dari pendapatan ini akan ditarik pajak penghasilan dan dibayar berupa uang. Bisa dikatakan kebijakan ini merupakan perubahan yang revolusioner karena menyangkut hal yang asasi yaitu menghapus sistem feodal. Melihat kenyataan dilapangan, ternyata pelaksanaan sistem sewa tanah tidak memenuhi harapan. Faktor kultural tradisional menjadi penghalang utama pelaksanaan sewa tanah ini. Rakyat sudah terpatrun untuk membayar pajak pada penguasa daerah (bupati-bupati). Lagi pula rakyat Indonesia khususnya Jawa pada waktu itu belum siap dalam melakukan transaksi menggunakan uang. Bisa dikatakan Raffles mengeluarkan kebijakan yang terburu-buru. Dia menggunakan rujukan dari sistem yang ada di Inggris yang melakukan penerapan di India. Tentu saja kultur masyarakat India dan Indonesia sangat berbeda. Ada dampak positif dan negatif dari sistem sewa tanah Raffles. Dampak positifnya antara lain: Memperkenalkan sewa tanah dengan titik berat pada pajak dan ekonomi uang atau moneter. Menunjukkan pemerintahan yang sentralistis. Menunjukkan gaya yang memadukan otoriter versus demokrasi. Dihapuskannya kerja rodi dan upeti. Kopi merupakan sumber pendapatan pemerintah yang terjamin. Sedangkan dampak negatifnya: Menumbuhkembangkan kebencian rakyat pemilik tanah. Timbulnya kerugian yang cukup besar bagi pribumi. Menumpahnya kekecewaan para Sultan, Bupati, dan bangsawan akibat pengambilan pajak secara langsung pada distrik-distrik dan desa-desa serta kepala-kepala rakyat. Petani tidak boleh menjual, membeli maupun menggadaikan tanah. Mendapat reaksi yang keras dari Vallenhoven dan mazhab adatnya yang secara substansi menegaskan bahwa bahwa petani yang hidup di desa-desa diperintah oleh orang-orang tua dan berpegang pada aturan-aturan adat, karena itu tanah merupakan bagian integral dari adat maupun kekuatan desa31 Kebijakan Raffles di Indonesia ini bisa dijadikan refleksi bagi keadaan Indonesia sekarang. Sistem feodal dari jaman kolonial Belanda masih ada sampai sekarang. Orang-orang Indonesai masih memliki gengsi dan orientasi kerja pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal di Indonesia kesempatan untuk menjadi wiraswasta terbuka lebar. Kebebesan alam dan pikiran bisa menjadi uang. Dan akan lebih baik dan sukses jika bisa menjadi PNS dan pengusaha...

DAFTAR RUJUKAN

Burger, D.H. 1956. Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jakarta: Prajnaparamita.
Foth, Henry D. 1991. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 1. Jakarta: Gramedia.
Leirisa, R.Z. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (edisi revisi). Jakarta: Balai Pustaka.
Soejono, R.P. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumadio, Bambang. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

Sutjipto, F.A. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soewito, Marwoto dkk. 2000. Sistem Pemerintaha Indonesia Raffles, Belanda, dan Jepang. Bandung: Koperasi “Abdi Praja” STPDN.
Wijayanti, Putri Agus. 2001. Tanah dan Sistem Perpajakan Masa Kolonial Inggris. Yogyakarta: Tarawang Press.
1 Henry D. Foth, Dasar-dasar Ilmu Tanah, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hal 3. 2 R.P. Soejono, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal 167. 3 Lihat Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984). 4 D.H. Burger, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Jakarta: Prajnaparamita, 1956), hal 113. 5 Ibid, hal 145-146 6 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 1, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal 290. lihat juga D. H Burger, op cit, hal 145. 7 Ibid. 8 Pada masa kolonial di Indonesia, sebutan bagi Indonesia ketika itu adalah negara koloni Hindia Belanda. 9 Sartono Kartodirdjo, op cit, hal 292. 10 Raffles merupakan wakil dari Lord Mintho untuk memerintah di Indonesia. Karena itulah Raffles bergelar Letnan Gubernur Jenderal. 11 F.A. Sutjipto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975) hal 57. 12 Ibid 13 Ibid 14 D.H. Burger, op cit, hal 147. 15 R.Z. Leirisa, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (edisi revisi), (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal 91. 16 Ibid 17 F.A. Sutjipto, op cit, hal 59-60; D.H. Burger, op cit, hal 151. 18 D.H. Burger, ibid, hal 152. 19 F.A. Sutjipto, op cit, hal 61 20 Ibid 21 D.H. Burger, op cit, hal 155. 22 Putri Agus Wijayanti, Tanah dan Sistem Perpajakan Masa Kolonial Inggris, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2001), hal 119. 23 Ibid, hal 120. 24 Ibid, hal 122. 25 Ibid, hal 125. David Hopkins adalah komisaris pajak tanah yang bertugas menerima dan mengatur pembayaran pajak di Keresidenan Besuki. 26 Ibid. 27 Komisaris John Crawfurd adalah komisaris pajak tenah sebelum David Hopkins. Pada Agustus 1813 Crawfurd dipindah tugaskan ke daerah Kedu, selanjutnya untuk wilayah Besuki dipegang Oleh David Hopkins. Lihat pada Ibid, hal 123. 28 Ibid. 29 Sartono Kartodirdjo, op cit hal 293. 30 Ibid. 31 Marwoto Soewito, dkk, Sistem Pemerintaha Indonesia Raffles, Belanda, dan Jepang, (Bandung: Koperasi “Abdi Praja” STPDN, 2000), hal 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar