Kamis, 05 Februari 2009

PENGATURAN AIR DI KOTA TROWULAN PADA MASA MAJAPAHIT

PENGATURAN AIR DI KOTA TROWULAN PADA MASA MAJAPAHIT


Oleh:
Agung Ari Widodo
(305262479251)


Sejarah tanpa geografi melayang-layang di angkasa, dan sebaliknya geografi tanpa sejarah hanya merupakan mayat yang kaku saja.
(E.G. East)


Indonesia pernah mengalami jaman kejayaan. Kejayaan itu muncul pada jaman klasik atau disebut jaman kerajaan Hindu-Budha. Masuknya peradaban dari India membuat suatu perubahan di Indonesia. Lihat saja kemegahan Kerajaan Sriwijaya pada abad 8 kemudian dilanjutkan dengan kemegahan Wilwatikta atau lebih dikenal dengan nama Majapahit pada abad 14. Majapahit mengalami puncak kemegahannya pada masa Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) (1350-1389) dengan Maha Patihnya yang bernama Gajah Mada yang terkenal dengan amukti palapa -nya.
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Kertanegara. Ketika Kerajaan Singhasari diserang oleh pasukan Jayaktwang, Raden Wijaya, istri-istrinya, dan beberapa pejabat kerajaan berhasil melarikan diri. Mereka mengungsi ke Madura dan bertemu dengan Arya Wiraraja1. Melalui Arya Wiraraja ini Raden Wijaya diberi ijin tinggal di wilayah kekuasaan Jayaktwang (Kadiri) dan diberi tanah di hutan Terik. Hutan ini kemudian di ubah menjadi desa dengan dalih untuk pertahanan2. Desa ini kemudian diberi nama Majapahit3.
Diam-diam Raden Wijaya membangun kekuatan di desa Majapahit. Kemudian datanglah pasukan Kubilai Khan untuk membalas dendam atas perlakuan Kertanegara yang melukai utusan Kubulai Khan. Dengan tipu muslihatnya Raden Wijaya berhasil menghasut pasukan Kubilai Khan supaya menyerang Jayaktwang. Berhasil menaklukkan Jayakatwang, pasukan Kubilai Khan yang terlena dengan kemenangan dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya. Setelah itu kemudian berdirilah Kerajaan Majapahit dengan Raden Wijaya sebagai rajanya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana4.
Lokasi kota Majapahit diperkirakan berada di Trowulan, Mojokerto. Peninggalan-peninggalan arkeologis dari masa Majapahit banyak ditemukan di daerah ini. Trowulan banyak dikaji oleh para sejarawan dan arkeolog. Penelitian itu menghasilkan rekonstruksi tata kota Majapahit. Menurut Atmadi (1993) salah satu dasar yang rupanya digunakan dalam menentukan tata ruang dan letak bengunan di Majapahit dan di Jawa pada waktu itu adalah orientasi pada alam sekitarnya seperti gunung, dataran, dan laut5. Gunung disimbolkan sebagai tempat suci dan laut sebagai tempat kurang suci.
Bangunan air di kota Majapahit juga sudah tertata. Pengairan atau irigasi yang teratur sudah dikenal di Majapahit. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan tadah air, kanal-kanal, dan patirtan, seperti kolam Segaran, Candi Tikus, sisa-sisa waduk kuno, sisa-sisa tinggalan saluran-saluran air. Sayangnya tidak ada sumber data tertulis tentang kanal-kanal air ini. Tapi pembuatan kanal ini membuktikan bahwa arsitek-arsitek Majapahit sudah bisa mengatur alam. Ketika informasi tentang kanal-kanal di kota Majapahit sangat terbatas, maka latar belakang pembuatan kanal-kanal ini bisa dianalisis dengan menggunakan pendekatan geografi.
Peranan bangunan air ini sangat penting bagi kehidupan di kota Majapahit. Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, diperlukan pengairan yang teratur untuk mengairi sawah sehingga dibangun kanal air sebagai sistem pengairan. Begitu juga ketika pada musim kemarau panjang, maka dibangunlah tempat penampungan air yang nantinya disalurkan ke pemukiman penduduk. Penampungan air tersebut diperkirakan adalah kolam Segaran.
Selain sebagai kebutuhan agraris, bangunan-bangunan air ini juga mempunyai fungsi magis, yaitu sebagai tempat pemandian suci, misalnya di Candi Tikus. Bangunan air di kota Majapahit juga mempunyai peranan dalam mengatur air di Sungai Brantas agar tidak meluap.
Pembangunan saluran-saluran air ini tentu tidak asal-asalan. Ada pertimbangan alam kondisi alam. Untuk mengetahui latar belakang pembuatan bangunan air ini perlu diketahui terlebih dulu tentang kondisi alam pada masa Majapahit. Setelah mengetahui kondisi alam pada masa Majapahit, selanjutnya bagaimana kondisi alam tersebut mempengaruhi pembuatan bangunan air.


Keadaan Alam Kota Majapahit

Setelah mendapat ijin dari Jayaktwang, Raden Wijaya mendapat tanah di hutan Terik. Hutan ini kemudian di buka dijadikan sebuah perkampungan. Raden Wijaya mendapat bantuan dari orang-orang Madura (Wiraraja) dalam membangunan perkampungannya. Perkampungan baru itu dinamakan Majapahit6. Ketika kekuatan di Majapahit sudah terkumpul, Raden Wijaya dan pasukannya menyerang Jayaktwang. Setelah mengalahkan Jayaktwang maka berdirilah kerajaan Majapahit.
Lokasi pusat kerajaan Majapahit diperkirakan berada di dekat Trowulan yang letakknya ± 10 km di sebelah barat daya kota Mojokerto sekarang. Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya temuan-temuan berupa pondasi candi, gapura, reservoar air, umpak-umpak, pernik-pernik, dan patung-patung yang kini masih dapat dilihat di museum Trowulan.
Pusat kerajaan Majapahit berada pada ujung bawah suatu kipas aluvial pada ketinggian 30-40 m di atas permukaan laut. Di sebelah utaranya terhampar dataran banjir kali Brantas sedangkan disebelah Selatan dan Tenggaranya sejauh ± 25 km menjulang tinggi kompleks gunung Anjasmoro, Arjuna, dan Welirang dengan ketinggian antara 2000-3000 m7. Di sebelah utara deretan pegunungan tersebut terdapat gunung Penanggungan yang merupakan gunung yang penting bagi kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Dengan dikelilingi oleh pegunungan dan sungai bisa dipastikan bahwa Majapahit memiliki tanah yang subur. Lahan yang subur ini sangat baik untuk pertanian. Oleh karena itu sektor pertanian menjadi penyangga kehidupan perekonomian Majapahit8.
Kondisi geografis daerah kraton Majapahit dan sekitarnya pada masa lampau bisa dianalisis dengan membandingkan keadaan geografis pada masa sekarang. Tentu saja ada perbedaannya, tetapi perbedaan tersebut masih berada pada julat (range) yang dapat diterima. Perbedaan tersebut tentunya lebih banyak diakibatkan oleh aktivitas gunung api yang relatif terletak di sebelah selatannya (Gunung Api Anjasmoro, Kelud, dan Penanggungan)9.
Menurut Sutikno, daerah Trowulan dan sekitarnya dapat dibedakan menjadi beberapa satuan bentuk lahan, yaitu: dataran aluvial, dataran fluvio vulkanik, dan kipas fluvio vulkanik10.
Dataran aluvial terdapat di sebelah utara Trowulan ke arah Mojokerto. Dataran aluvial terbentuk oleh aktivitas aliran air. Aliran air yang berperan terhadap pembentukan dataran aluvial tersebut adalah Sungai Brantas yang sering menimbulkan banjir. Dataran aluvial tersebut meluas dari arah Jombang ke arah timur melalui Mojokerto hingga mencapai Sidoarjo. Dataran aluvial tersebut di cirikan oleh topografi datar dengan kemiringan lereng ± 2%, material penyusunnya yang utama adalah endapan dengan tekstur yang relatuf halus, pasir, geluh, dan lempung. Masalah yang dihadapi lingkungan macam ini adalah banjir. Oleh karena materi penyusun utamanya adalah material lepas dengan tekstur pasir dengan gradien sungai pada lokasi tersebut rendah, maka alur sungai sering mengalami karena erosi lateral dan air banjir. Sebagai akibat pergeseran Sungai Brantas tersebut di masa lalu. Di beberapa tempat terdapat daerah rendah yang merupakan bekas rawa belakang (backswamp). Daerah dataran aluvial pada umumnya subur, sehingga menjadi pemusatan penduduk, meskipun ada hambatan karena sering terkena banjir. Selain tanahnya subur, topografinya datar sehingga aksesebilitasnya mudah.
Dataran fluvio vulkanik terdapat di sebelah barat Trowulan, meluas ke arah selatan dari Mojoagung. Dataran tersebut dicirikan oleh topografi yang landai serta dilalui oleh sungai-sungai yang berpola radial, misalnya Sungai Jarak dan Sungai Gunting yang berasal dari lereng barat Gunung Argowayang dan Blokoburuh. Material penyusun dataran fluvio vulkanik adalah material yang berasal dari kompleks Gunung Api Arjuna dan Kelud. Karena materialnya berasal dari material gunung api, terletak pada topografi yang datar, serta persediaan air yang cukup banyak, maka daerah di sebelah barat Trowulan sampai selatan Mojoagung merupakan daerah yang subur. Kemungkinan daerah tersebut merupakan daerah hutan yang pada awal kerajaan Majapahit dibuka seperti hutan Terik. Setelah daerah dibuka kemudian menjadi lahan pertanian yang subur, bahkan mungkin menjadi lumbung padi. Banjir lahar dimungkinkan terjadi karena sungai yang mengalir banyak terpengaruh oleh aktivitas Gunung Kelud. Sedangkan banjir yang diperkirakan terjadi pada dataran fluvio vulkanik ini didasarkan pada pola sungai yang berkelok-kelok (meander) dengan belokan-belokan yang tajam.
Dataran kipas fluvio vulkanik meluas dari daerah Trowulan ke arah tenggara11. Pembentukan kipas fluvial vulkanik diakibatkan oleh aliran sungai yang berasal dari Gunung Api Anjasmoro dan Welirang yang mengalir ke arah barat melalui daerah dengan perubahan topografi yang tegas. Semula sungai-sungai tersebut mengalir di daerah yang relatif berlereng terjal kemudian mengalir pada daerah yang relatif datar seperti yang terjadi di hulu Sungai Brangkal di sebelah tenggara Trowulan. Trowulan yang merupakan lokasi Kraton Majapahit didirikan terletak pada bagian bawah kipas fluvio vulkanik tersebut.
Dari keadaan geomorfologis di atas dapat di interpretasikan bahwa kehancuran kerajaan Majapahit bisa disebabkan karena faktor alam. Penelitian dari Institut Teknologi Bandung tahun 1980 menghasilkan suatu teori bahwa kehancuran kerajaan Majapahit disebabkan oleh ledakan gunung berapi yang disertai dengan banjir besar12.
Bagaimana dengan iklim di Majapahit? Iklim di Majapahit bisa diintepretasikan mirip dengan keadaan sekarang. Berdasarkan kualifikasi iklim, menurut Koppen daerah sekitar Trowulan beriklim hujan tropika (tipe A). Syarat tipe iklim A adalah sebagai berikut :
1.temperatur udara bulan terdingin >18°,
2.curah hujan rata-rata tahunan adalah :
a.lebih besar 20 t, apabila kebanyakan hujan jatuh pada musim dingin,
b.lebih besar 20 (t + 7), apabila hujan jatuh sepanjang tahun,
c.lebih besar 20 (t + 14), apabila hujan jatuh kebanyakan pada musim panas; dalam hal ini t adalah temperatur rata-rata tahunan13
Tipe iklim A menurut Koppen tersebut dapat di bedakan menjadi :
a.Af: apabila jumlah hujan rata-rata bulan terkering >60 mm,
b.Am: apabila jumlah hujan bulan basah dapat mengimbangi kekeringan hujan pada bulan kering,
c.Aw: apabila jumlah hujan bulan basah tidak dapat mengimbangi kekeringan hujan pada bulan kering14.
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim di atas maka daerah Trowulan dan sekitarnya termasuk tipe Aw. Daerah yang bertipe iklim Aw mempunyai musim kemarau yang panjang. Oleh karena itu bisa diperkirakan bahwa temuan arkeologis yang berkaitan dengan air berhubungan dengam iklim di Trowulan. Di Trowulan terdapat tinggalan tinggalan kepurbakalaan yang berkaitan dengan air yaitu 6 buah waduk, 3 kolam buatan, dan sejumlah saluran air15. Tiga kolam buatan tersebut adalah Segaran, Balong Dowo, dan Balong Bunder. Penelitian terbaru menyebutkan jumlah waduk di daerah Trowulan sekitar 20 buah yang tersebar di dataran sebelah utara Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Kraton, Temon, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Brangkal di sebelah timur dan Kali Gunting di sebelah barat. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan16.
Tipe iklim di daerah hulu-hulu sungai yang mengalir melalui daerah Trowulan, yaitu yang terdapat di sebelah selatannya, memiliki tipe iklim Cw (lihat pada gambar 3). Ciri-ciri iklim C adalah temperatur rata-rata bulan terdingin lebih besar dari -3°, tetapi lebih kecil dari 18°, dan rata-rata temperatur bulan terpanas lebih besar dari 10°. Tipe iklim Cw mempunyai musim kering dalam musim dingin tengah tahun, yang pada bulan tersebut hujan paling terkecil sepersepuluh dari hujan bulan panas terbasah. Tipe iklim di sebelah selatan daerah Trowulan yang merupakan pegunungan tersebut mempunyai curah hujan relatif lebih tinggi. Hal ini bahwa daerah pegunungan tersebut memberi imbuhan air yang banyak ke daerah bawah. Oleh karena daearh pegunungan di sebelah selatan tersebut pada umumnya berlereng curam, maka air hujan banyak menjadi aliran permukaan. Oleh sebab itu apabila tidak ada tandon air di bawah kemungkinan air kurang mencukupi sepanjang tahun17.


Bangunan Air Masa Majapahit

Melihat keadaan alam pada masa Majapahit dan masalah kekeringan air maka bisa diinterpretasikan bahwa pembangunan kolam-kolam dan waduk-waduk buatan bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan air. Penduduk Majapahit sangat membutuhkan air karena Majapahit merupakan kerajaan agraris. Pertanian merupakan penopang ekonomi kerajaan. Oleh karena itu jika tidak ada air bisa dimungkinkan tidak ada kehidupan.
Bicara tentang bangunan air di Majapahit tidak terlepas dari Sungai Brantas. Sungai inilah yang menjadi ”senjata andalan” Raden Wijaya dalam membangun kerajaan Majapahit18. Raden Wijaya ketika mengungsi ke Madura tentunya keluar masuk desa-desa yang sekitarnya masih penuh dengan rawa-rawa. Kemudian setelah wilayah tersebut dihadiahkan oleh raja Jayaktwang kepadanya lalu dikeringkan. Untuk pekerjaan raksasa itu Raden Wijaya mendatangkan tenaga dari Tumapel dan Madura19. Dengan adanya Sungai Brantas ini kerajaan Majapahit bisa berhubungan dengan dunia luar, terutama dengan pelabuhannya yang terkenal yaitu Hujung galuh (Surabaya)20. Selain Sungai Brantas, Gunung Penanggungan juga mempunyai peran penting. Air yang mengalir dari gunung ini juga memberi kehidupan pada penduduk Majapahit. Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, Gunung Penanggungan juga di anggap gunung suci. Oleh karena itulah banyak peninggalan-peninggalan arkeologis yang tersebar di Gunung Penanggungan.
Pembangunan bangunan-bangunan air masa Majapahit mengikuti kondisi geografis wilayah Majapahit. Di sekitar-sekitar sungai dan pegunungan di bangun kanal-bangunan air air yang saling berhubungan. Untuk mengatasi masalah kekeringan dibangunlah kolam buatan, sumur buatan, dan waduk buatan.
Pada tahun 1973 pemotretan dilakukan di Trowulan dengan memakai alat multispektral foto dan fales colour infra red. Pemotretan ini berhasil menangkap jaringan air. Lebar jaringan air antara 20-30 m dengan kedalaman sekitar 4 m21. Kemudian dilakukan penelitian lebih lanjut dan menghasilkan interpretasi bahwa ibukota Majapahit dikelilingi oleh jaringan jalur air yang lebar dan dalam serta mempunyai jalan keluar ke arah barat menuju ke Sungai Brantas22. Interpretasi udara yang pankhromatik, ditemukan pula jalur-jalur lurus yang saling tegak di antara reruntuhan bangunan Segaran, Sumur Upas, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Wringin Lawang, dsb. Kemudian dengan teknik geolistrik menjadi lebih jelas. Jalur-jalur lurus yang semula diduga jaringan jalan raya berupa pengerasan tanah ternyata salah. Isinya justru lumpur basah. Adapun bangunan di sekitarnya sekarang berupa sisa-sisa bata yang digali oleh penduduk untuk bahan bangunan baru23.
Solusi masalah kekeringan di Majapahit adalah dengan pembangunan waduk buatan, sumur buatan, dan kolam buatan. Waduk Baureo adalah waduk yang terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai. Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno, Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno, Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu, dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir24.
Di daerah-daerah dekat sungai yang meluap di musim hujan dan surut di musim kemarau, penduduk biasa membuat suatu tempat penampungan air yang dinamakan belik untuk persedian di musim kemarau. Belik adalah suatu galian di tepi sungai yang lebarnya kurang dari setengah meter dan dalamnya tidak melebihi satu meter25.
Di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder dan Balong Dowo. Kolam Segaran26 memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.27
Bangunan-bangunan air yang berupa waduk, sumur, dan kolam tersebut dihubungkan oleh kanal-kanal air. Foto udara yang dibuat pada tahun 1970an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini28.
Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam empat meter dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul. Kanal-kanal itu ada yang ujungnya berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting, dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekedar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil29.
Kanal, waduk dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit30. Di wilayah Trowulan gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan ukurannya cukup besar, memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno.
Epilog

Keterangan tentang keadaan alam dan bangunan-bangunan air memang tidak ada dalam sumber tertulis (prasasti dan kitab). Hal ini bisa dibantu dengan menggunakan analisis Geografi. Dengan analisis secara geografis bisa mengetahui tentang kondisi alam pada masa lampau.
Analisa geografis menyebutkan bahwa kondisi alam Majapahit bisa di interpretsikan dengan keadaan yang sekarang. Trowulan sebagai kota Majapahit terletak di dataran aluvial. Oleh karena itulah tanah di wilayah ini sangat subur dan baik untuk pertanian. Hal ini di dukung juga oleh aliran-aliran air yang mengalir dari pegunungan di selatan Majapahit yaitu Anjasmoro, Arjuno, Welirang dan Penanggungan.
Pembangunan bangunan-bangunan air pada masa Majapahit juga di pengaruhi oleh iklim. Daerah Trowulan memiliki iklim Aw yang mempunyai musim kemarau yang panjang. Untuk mengatasi masalah kekeringan maka di buatlah waduk, sumur, dan kolam buatan. Di antara bangunan-bangunan ini terdapat kanal-kanal (saluran-saluran) yang saling berhubungan.
Pemerintah kerajaan membuat waduk-waduk, kolam-kolam, dan saluran air untuk persediaan di musim kemarau dari sungai-sungai besar yang letaknya beberapa km dari Trowulan, untuk kepentingan masyarakat dan perekonomian negara31.Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dana teknologi yang mereka miliki yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni32.
DAFTAR RUJUKAN

Sumber Buku :

Atmadi, Parmono. 1993. Bunga rampai Arsitektur Dan Pola Kota Keraton Majapahit, dalam Sartono Kartodirjo, dkk (editor), 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Daldjoeni, N. 1982. Geografi Kesejarahan II. Bandung: Alumni.

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: Lkis.

Bambang Sumadio, Sejarah Nasiona Indonesia Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal 423.

Subroto, Ph. 1993. Sektor Pertanian Sebagai Penyangga Kehidupan Perekonomian Majapahit, dalam Sartono Kartodirjo dkk (editor), 700 tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Sukardjo, Agung. Beberapa Catatan Tentang Temuan Sumur Kuna di Trowulan, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III Ciloto 23-28 Mei 1983.

Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit, dalam Sartono Kartodirjo, dkk (editor), 700 tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Pinardi, Slamet & Mambo, Winston S. D. Perdagangan Masa Majapahit, dalam 700 tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Sumber Internet :

Arifin, Karina. 2008. Bangunan Air Dari Masa Majapahit, www.majapahit-kingdom.com, diakses pada 7 Oktober 2008.

BERANGKAT KE JAKARTA

BERANGKAT KE JAKARTA

Tulisan ini bisa dibilang lanjutan dari cerpen pertamaku. Entahlah bisa diterbitkan buku atau tidak. Aku masih bercerita tentang kekasihku, pujaan hatiku, kusumaning atiku.
Tanggal 16 Januari kemarin Tyas (nama kecil pacarku) diterima di Axa Mandiri (dalam cerpenku aku tulis Axtra Mandiri). Suatu keberuntungan yang besar. Tapi aku rasa itu bukan keberuntungan yang kebetulan. Itu adalah impian, keinginan dan Tyas percaya itu bakal datang padanya. Kau yahu kawan rahasia kehidupan, jika kau percaya pada keinginanmu, itu akan bakal terwujud.
Alot, sulit, terjal, dan melelahkan itulah yang dirasakan Tyas. Aku salut sekaligus malu pada diriku. Aku sangat lemah jika dibandingkan dengan Tyas. Maka dari itu aku akan terus berusaha, belajar, dan percaya aku bakan bisa menggapai impian dan keinginanku. Luar biasa..
Kemarin Senin, 2 Februari 2009 aku mengantar Tyas ke Surabaya. Langsung dia membawa tas ransel banyak, sampai aku tidak membawa ranselku, aku hanya membawa laptop. Memang laptop adalah sarana menyalurkan inspirasiku kawan. Aku tidak tahu perusahaan yang menerima Nyo2 (sebutanku kepada Tyas) ini. Kok tidak memberikan informasi kapan tepatnya training di Jakarta. Semua serba dadakan. Kalau umpama Nyo2 tidak bertindak dengan menelepon bagian tiket aku rasa berangkat ke Jakarta hanya sekedar impian belaka tidak menjadi kenyataan. Ketika sudah di telepon ternyata training diadakan pada 4 Februari 2009. Tapi informasi ini pun masih ngambang. Apa ini disengaja oleh perusahaan untuk menguji 4 calon karyawannya. Aku tidak tahu.
Akhirnua Senin siang aku dan Nyo2 berangkat ke Surabaya. Kami seperti orang yang mau pindah rumah atau sedang pulang kampung. Motorku penuh sesak dengan 2 tas ransel besar. Untung saja Nyo2 kuat. Arus lalu lintas ke arah Surabaya pun tidak begitu padat. Agak macet sih tapi lancar. Sampai di Surabaya langsung menuju ke Ketintang rumah mbaknya Nyo2. Begitu sampai dan kami masuk ke dalam rumah, langsung disambut hujan deras.
Di rumah mbaknya, Nyo2 ditelepon oleh pegawai perusahaan bagian tiket. Katanya tiket sudah dipesankan dan sekarang dibawa oleh Selly temannya yang juga terseleksi ke Jakarta. Gila bener, serba mendadak. Nyo2 harus ke Juanda Selasa pagi jam 5.00. Apakah memang perusahaan menguji atau sengaja membiarkan, aku tidak tahu. Mendengar informasi itu, Nyo2 segera bertindak. Segala sesuatunya harus segera disiapkan.
Memang tidak pas aku ke Surabaya, aku menginap di rumahnya Mbak Ira sendirian. Ketika aku datang ke rumah, Mbak Ira dan Bude mau pergi ke Jakarta menjemput Mbak Ayu. Mereka berangkat dengan kereta jam 18.30. Tidak masalah bagiku sendirian, ya agak malas sebenarnya tapi aku bersyukur, pokoknya ada tempat untuk berteduh. Surabaya sedang dingin-dinginnya. Semalaman diguyur hujan. Baru kali ini aku tidur di Surabaya memakai selimut. Tapi aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku terus memikirkan Nyo2. Bahkan gangguan tikus dan mungkin roh halus tidak aku gubris.
Selasa paginya hari ini (3 Februari 2009) Nyo2 berangkat. Karena tidak bisa tidur aku tadi masak mie buat saur. Aku puasa weton kawan bukan berarti ikut REG SPASI WETON. Jam 4.00 aku ke Ketintang. Ternyata pagar masih belum dibuka. Nyo2 juga baru bangun tidur. Dengan segera tanpa mandi aku, Mas Her, Mbak Ika, dan anaknya mengantar Nyo2 ke Bandara Juanda.
Dalam perjalanan ke Juanda Nyo2 ditelepon terus oleh temannya. Kok belum datang-datang?
Tapi akhirnya sampai di Juanda. Kau tahu kawan aku baru pertama kali berkunjung ke bandara udara. Aku baru pertama kali melihat pesawat secara langsung. Bagaimana dengan perasaan Nyo2 yang pertama kali terbang ya? Entahlah tapi aku sangat terharu seperti melepas kepergian seorang presiden yang mau perang ke Gaza (tapi apakah presiden kita mau?). Semua serba pertama kali. Aku jadi salah tingkah. Ingin sekali aku peluk Nyo2 tapi kok ditempat umum. Kemudian dia mengarahkan pipinya kepadaku. Dan jam 6.00 terbang ke Jakarta.
Perasaanku meninggalkan Bandara Juanda meninggi. Aku diam-diam bersumpah aku harus menjadi dosen telada, menjadi ilmuwan, menjadi penulis terkenal dan tentu saja mempunyai penghasilan sendiri. Matahari pagi telah terbit begitu pula semangatku.
Di Jakarta Nyo2 dkk masih ditelantarkan oleh Axa. Ini bagaimana sih? Untung saja ada pamannya Sally. Jadi bisa diantarkan sampai mess penginapannya. Kata Nyo2 di smsnya, messnya seperti villa. Aku semakin berdebar, tapi aku positif thinking aja. Nyo2 pasti bisa dan sukses. Aku akan terus memantau perkembangan Nyo2 dan aku menunggu satu bulan kemudian.

HARI JADI KOTA NGANJUK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

HARI JADI KOTA NGANJUK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH


Oleh:

Agung Ari Widodo

(305262479251)


Bulan Agustus angin berhembus kencang di Kabupaten Nganjuk. Penulis merasakan kencangnya angin ini ketika pindah ke Kertosono, salah satu kecamatan di Nganjuk. Rumah penulis ketika itu dekat dengan sungai Brantas. Di atas sungai Brantas itu terdapat tiga jembatan kembar yang terkenal di Kertosono. Satu di antara ketiga jembatan tersebut, yang terletak di tengah, merupakan jembatan lama yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Dari kondisi geografisnya ternyata Nganjuk merupakan kota kuno yang bersejarah, kota yang dahulunya merupakan awal dari peradaban manusia di Indonesia (khususnya di pulau Jawa). Indikator yang paling mudah dijumpai adalah Sungai Brantas. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sungai Brantas merupakan penghasil peradaban kuno. Fosil-fosil manusia purba banyak ditemukan di sekitar lembah sungai Brantas. Kejayaan Majapahit juga tercipta dengan kesuburan lembah sungai Brantas. Jauh sebelum kerajaan Majapahit, di lembah sungai Brantas telah berdiri Kerajaan Mataram Jawa Timur masa pemerintaha Pu Sindok sampai Airlangga, serta sempat berdiri juga Kerajaan Kadiri.

Selain Sungai Brantas, indikator lain yang menunjukkan kota Nganjuk sebagai kota yang bersejarah adalah temuan-temuan benda-benda purbakala. Situs yang sekarang masih utuh (walaupun mengalami kerusakan) diantaranya Candi Lor, tempat penemuan prasasti Anjuk Ladang yang merupakan asal nama Nganjuk, Candi Ngetos, Masjid Al Mubarok Brebek dan situs-situs lain yang tersebar di berbagai wilayah di Nganjuk1.

Pada masa kolonial Belanda Nganjuk masuk dalam wilayah Karesidenan Kediri (tahun 1885). Pada masa ini terjadi perubahan wilayah karesidenan. Hal ini disebabkan oleh campur tangannya Belanda dalam urusan pengaturan wilayah mancanegara Kasultanan Yogyakarta. Hal inilah yang nantinya memunculkan Perjanjian Sepreh. Perjanjian ini memuat tentang pembagian wilayah kekuasaan mancanegara.

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa Nganjuk masuk dalam wilayah Karesidenan Kediri. Wilayah Nganjuk (sekarang) yang dahulunya masuk dalam Karesidenan Kediri adalah Nganjuk, Brebek, Kertosono, dan Warungjayeng2. Ada suatu peristiwa yang menentukan posisi kota Nganjuk, yaitu perpindahan pusat pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk yang dilakukan oleh Raden Tumenggung Sosrokoesoemo III3.

Nganjuk telah melintasi masa dalam periode yang diakronik. Awal mula kemunculan nama Nganjuk dikaitkan dengan penemuan prasasti Anjukladang yang dikeluarkan oleh raja Pu Sindok. Prasasti ini berisi penganugerahan sima kepada desa Anjukladang yang telah berjasa menghalau serangan dari timur (diperkirakan dari Sriwajaya). Kemudian pada masa Kolonial Belanda terjadi peristiwa perpindahan pusat pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk oleh RT. Sosrokoesoemo III. Perpindahan ini menjadikan Nganjuk sebagai kota pemerintahan. Pada paper ini penulis akan mencoba mendeskripsikan tentang asal mula hari jadi kota Nganjuk berdasarkan fakta sejarah.


Anjukladang


Pralaya yang melanda Kerajaan Mataram kuna di Jawa Tengah menjadi salah satu sebab perpindahan pusat Kerajaan Mataram ke Jawa Timur. Raja yang memerintah Kerajaan Mataram di Jawa Timur adalah Pu Sindok. Berdasarkan landasan kosmologis wangsa yang memimpin suatu kerajaan yang hancur harus diganti dengan wangsa yang baru. Karena itu maka Pu Sindok, yang membangun kerajaan di Jawa Timur, dianggap sebagai cikal-bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana4.

Ibukota Kerajaan Mataram Jawa Timur yang pertama adalah di Tamwlang. Nama ini terdapat pada akhir prasasti Turyyan tahun 929 M. Letak Tamwlang, yang hingga kini hanya ditemui di dalam prasasti Turyyan itu saja, mungkin di dekat Jombang sekarang, dimana masih ada desa Tembelang5.

Di desa Candi Rejo Kecamatan Loceret terdapat situs Candi Lor. Di sekitar candi ini ditemukan prasasti Anjukladang. Prasasti Anjukladang berangka tahun 859 Saka (937 M) merupakan sumber tertulis tertua yang memuat toponimi Anjukladang sebagai satuan teritorial watek, yang dikepalai seorang samgat dan seorang rama6. Di dalam prasasti Anjukladang dikatakan bahwa raja Pu Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan di Anjukladang dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada bhatara di sang hyang prasada kabhaktyan di Jayamerta, dharmma dari Samgat Anjukladang7. Itu merupakan anugerah raja bagi penduduk desa Anjukladang. Sayang sekali prasasti ini bagian atasnya usang, sehingga tidak jelas alasan kenapa penduduk desa Anjukladang diberi anugerah oleh raja.

Menurut J.G. de Casparis prasasti Anjukladang mengandung keterangan tentang adanya serbuan dari Malayu (Sumatera)8. Tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk9, tetapi dapat dihalau oleh pasukan raja di bawah pimpinan Pu Sindok yang waktu itu masih belum menjadi raja. Atas jasanya yang besar terhadap kerajaan itu maka Pu Sindok diangkat menjadi raja10. Sayang sekali bahwa prasasti Anjukladang itu belum terbaca seluruhnya. Apa yang terdapat dalam transkripsi peninggalan Brandes tidak membayangkan adanya peperangan itu, sekalipun ada juga didapatkan kata jayastambha, yaitu keterangan bahwa di tempat sang hyang prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan11.

Toponimi desa Anjukladang merupakan asal mula kata Nganjuk yang sekarang. Oleh karena itulah maka penemuan prasasti Anjukladang dipilih untuk dijadikan hari jadi Nganjuk. Menurut unsur penanggalannya maka tanggal 12 bulan Caitra, Krsnapaksa, HA PO SO, bertepatan dengan tahun masehi: 10 April 937, secara lengkap jatuh pada hari SENIN PON, HARI YANG (SADWARA) BENTENG (TRIWARA), WUKU SINTA, 10 APRIL 937. Itulah tanggal yang sesuai dan layak sebagai hari jadi Nganjuk12.

Menurut cerita yang rakyat yang masih hidup di kalangan penduduk setempat, bahwa desa tempat didirikannya Candi Lor dahulu bernama desa Nganjuk, yang berasal dari kata anjuk. Tetapi setelah Nganjuk dipergunakan untuk nama daerah yang lebih luas, maka nama desa tersebut diubah menjadi Tanggungan. Tanggungan berasal dari kata ketanggungan (Jawa: mertanggung)13. Istilah ini mengandung maksud bahwa nama Nganjuk tanggung untuk digunakan sebagai nama daerah dari desa tersebut karena sudah digunakan nama daerah yang lebih luas. Oleh karena itu sudah tidak berarti lagi (tanggung atau mertanggung) desa sekecil itu disebut Nganjuk.


Dari Berbek Pindah ke Nganjuk


Abad XV merupakan abad perkembangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada abad ini kerajaan klasik Hindu-Budha mengalami kemunduran, atau bahkan hancur14. Di berbagai wilayah Indonesia (Nusantara) berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Di Aceh berdiri Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak yang nantinya menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan Makassar, Ternate, Tidore dan sebagainya.

Di pulau Jawa berdiri kerajaan bercorak Islam yang mengalami perkembangan yang pesar. Kerajaan ini bernama Mataram (Islam). Didirikan oleh Panembahan Senopati15. Kejayaan Mataram berlangsung ketika diperintah oleh Sultan Agung. Tetapi ketika Sultan Agung meninggal, terjadi perebutan kekuasaan diantara anak-anaknya, suatu masalah klasik yang merugikan. Mataram mulai surut, apalagi ditambah dengan campur tangan Kolonial Belanda terhadap kerajaan. Campur tangan Belanda ini mengakibatkan perpecahan Kerajaan. Mataram kemudian dibagi-bagi melalui perjanjian Gianti (Kamis, 13 Februari 1755). Wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu separuh untuk Mangkubumi (Yogyakarta) dan separuh untuk Susuhunan Surakarta.

Pada pembagian wilayah ini Nganjuk termasuk dalam wilayah mancanegara Susuhunan Surakarta. Ketika itu nama tidak memakai nama Nganjuk tapi Pace. Kertosono masuk dalam wilayah kekuasaan Sultan Yogyakarta. Ada hal unik, kedua wilayah Nganjuk di atas masuk dalam dua wilayah mancanegara. Status Pace dan Kertosono adalah setingkat kabupaten. Berdasarkan Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1811 di wilayah Nganjuk terdapat empat wilayah yaitu Berbek, Godean, Nganjuk, dan Kertsono. Keempat wilayah tersebut berada di bawah penguasaan daerah mancanegara yang berbeda. Daerah Berbek, Godean, dan Kertosono berada di bawah pengawasan Belanda dan Kasultanan Yogyakarta sedangkan daerah Nganjuk merupakan daerah mancanegara Kasunanan Surakarta16.

Pada dasawarsa terakhir abad XVII kerajaan-kerajaan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena intrik dari dalam kerajaan dan campur tangan Hindia Belanda17. Pada 4 Juli 1830 disepakati perjanjian Sepreh. Berdasarkan perjanjian ini Nederlandsch Gouvernement melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.

Pada tahun 1875 Nganjuk adalah wilayah yang memiliki status distrik (wilayah kerja pembantu bupati) dari Kabupaten Berbek yang merupakan wilayah Karesidenan Kediri18. Berbek ditetapkan sebagai kabupaten sudah sejak tahun 1745 dengan bupati pertama Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I. Berbek sebagai kota kabupaten atau kota pusat pemerintahan, masih menunjukkan unsur-unsur tradisional karena masih terdapat pengaruh kehidupan desa. Pola pemukimannya sangat sederhana dan belum terpisahkan antara kota dan desa19.

Kabupaten Berbek merupakan wilayah Residensi bagian utara. Kabupaten Berbek sebelah utara berbatasan dengan Residensi Rembang yang dipisahkan oleh Pegunungan Kendeng. Di bagian utara Kabupaten Berbek dari arah barat sampai timur dibatasi oleh Sungai Widas yang bersumber dari Gunung Wilis dan bermuara di Sungai Brantas. Kabupaten Berbek sebelah timur berbatasan dengan Residensi Jombang dan Residensi Surabaya yang dipisahkan oleh Sungai Brantas.

Berbek sebagai kota kabupaten memiliki letak geografis yang kurang strategis, sehingga dalam pengembangan tata kota dan pemerintahannya berjalan dengan lambat20. Lokasi Kabupaten Berbek berada di daerah pedalaman yang jauh dengan jalur transportasi yaitu jalan raya dari Solo ke Surabaya dan jalur kereta api yang oada tahun 1878 baru dalam proses pengerjaan. Kabupaten Berbek berada di arah selatan ±7 km dari kedua ruas jalan yang melintasi wilayah Nganjuk.

Melihat keadaan geografis yang terisolasi dan jauh dari jalur transportasi menjadikan Berbek sebagai wilayah yang kurang menerima informasi dan teknologi. Selain itu kondisi alamnya sangat dipengaruhi oleh terpaan angin dari pegunungan Wilis yang sangat kencang, karena wilayah Berbek berada di lereng Gunung Wilis sebelah utara. Dilihat dari struktur tanahnya Kabupaten Berbek adalah tanah bebatuan dengan dua aliran Sungai Berbek dan Sungai Kucir. Kedua sungai ini pun tidak bisa digunakan untuk sarana trasnportasi, beda dengan Sungai Brantas yang telah menghasilkan peradaban dan kerajaan-kerajaan besar. Dari pertimbangan inilah pusat pemerintahan Berbek dipindahkan ke Nganjuk.

Nganjuk dipilih sebagai pusat pemerintahan karena letaknya yang strategis, yaitu di tengah-tengah wilayah (Nganjuk sekarang) sehingga mudah untuk melakukan pengawasan. Secara kosmologis letak tengah-tengah ini merupakan letak yang magis dan sakral. Selain itu Nganjuk juga terletak di dekat jalur kereta api, jalur jalan Surabaya Solo, dan lebih mudah dalam hubungan komunikasi dengan dunia luar21. Boyongan ini dilakukan oleh Raden Tumenggung Sosrokoesoemo III (1878-1901).

Sumber yang menyebutkan waktu perpindahan ada pada sumber tertulis pada masjid Agung Baitus Salam Nganjuk. Pada mimbar masjid tersebut tertulis angka tahun yang ditulis dengan huruf Arab Pegon yang berbunyi: ngalihipun negari saking Berbek, Bupati Kanjeng Adipati Sosrokoesoemo tahun walandi 1880, tahun 28-3-1901 lajeng gantos putro Kanjeng Raden Mas Sosrohadikusoesoemo (Pindahnya negara dari Berbek bupati Kanjeng Adipati Sosrokoesoemo pada tahun 1880, tahun 28-3-1991 lalu digantikan oleh putra Kanjeng Raden Mas Sosrohadikusoesoemo)22.

Sumber lain yang diperoleh adalah foto dokumentasi peringatan HUT ke-50 berdirinya kota Nganjuk yang dibuat pada tahun 1930. Dengan mengetahui HUT kota Nganjuk maka dapat diketahui pelaksanaan perpindahan pusat pemerintahan dari Berbek ke Nganjuk dengan cara melihat ke belakang dari tahun 1930, sehingga diperoleh jawaban bahwa 50 tahun sebelum tahun 1930 adalah tahun 188023.


Epilog


Penelurusan hari jadi Kota Nganjuk menggunakan dua periode. Periode yang pertama adalah masa Kerajaan Mataram Jawa Timur dengan rajanya Pu Sindok. Nama Nganjuk diperoleh dari penemuan Prasasti Anjukladang berangka tahun 937 M yang dikeluarkan oleh Pu Sindok. Sampai sekarang Anjukladang dipakai sebagai hari jadi kota Nganjuk.

Periode yang kedua adalah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa ini nama Nganjuk sudah ada dan termasuk dalam wilayah Karesidenan Kediri. Nganjuk menjadi kota setingkat kabupaten setelah terjadi peristiwa pemindahan pusat pemerintahan dari Berbek ke Nganjuk. Berdasarkan penelusuran data, perpindahan ini terjadi pada tahun 1880.

Dari pemaparan di atas maka bisa ditafsirka bahwa Nganjuk mempunyai dua hari jadi. Hari jadi yang pertama berawal dari sebuah desa Anjukladang yang diberi anugerah sima oleh Pu Sindok. Perlu diperhatikan di sini bahwa pada saat Anjukladang masih berupa watek atau desa. Kemudian mengalai perkembangan sehingga menjadi kota Nganjuk dan nama desa Anjukladang menjadi desa tanggungan. Sedangkan pada 1880 Nganjuk merupakan sebuah Kabupaten, kota pusat pemerintahan daerah. Bisa saja hari jadi kota Nganjuk mengacu pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Berdasarkan kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nganjuk, Hari Jadi Nganjuk ditetapkan pada 10 April 937, yakni berdasarkan angka tahun pada prasasti Anjukladang24. Penetapan hari jadi kota Nganjuk ini juga didukung dengan pembangunan simbol tugu kemenangan di alun-alun Nganjuk. Tugu ini adalah simbol warga Anjukladang yang berhasil menahan serangan pasukan Malayu. Simbol hari jadi kota Nganjuk pada masa pemerintahan Hindia Belanda hampir tidak ada.

Hari jadi kota Nganjuk merujuk pada penemuan prasasti Anjukladang. Ini adalah masa Pu Sindok. Oleh karena hari jadi kota Nganjuk berdasarkan pada sejarah Indonesia klasik maka yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat Nganjuk adalah pelestarian benda cagar budaya. Situs-situs yang merupakan representasi dari hari jadi kota Nganjuk hendaknya dijaga dan dirawat. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk menjaga identitas asal-usul Nganjuk..








DAFTAR RUJUKAN


Harimintadji, dkk, Nganjuk dan Sejarahnya, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1994


Napsriatun, Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk Tahun 1880, (Malang: Skripsi tidak diterbitkan, 2004


Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia II Jaman Kuna, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984.


M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002)


M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991

1 Temuan-temuan benda purbakala ini di data oleh Harimintadji dkk. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Harimintadji, dkk, Nganjuk dan Sejarahnya, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1994), hal. 86-90.

2 Untuk Kertosono dan Warungjayeng sekarang statusnya berubah menjadi Kecamatan.

3 Napsriatun, Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk Tahun 1880, (Malang: Skripsi tidak diterbitkan, 2004), hal. 30.

4 Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia II Jaman Kuna, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 157.

5 Ibid, hal. 158. Letak ibukota kerajaan Pu Sindok masih menjadi perdebatan. Agaknya Boechari (anggota Bambang Sumadio dalam menulis SNI II) masih ragu-ragu mengatakan bahwa Tamwlang adalah Tembelang. Prasasti Turryan sendiri sekarang masih insitu di Turen, Malang. Di Malang sendiri juga ada desa yang bernama Tembalangan. Jadi Tamwlang kemungkinan berlokasi di Malang. Hal ini juga didukung oleh penemuan prasasti Turyyan di Kecamatan Turen Malang (prasasti Turen).

6 Harimintadji, dkk, op cit, hal. 47.

7 Bambang Sumadio, op cit, hal. 160.

8 Ibid, hal. 161. Diperkirakan sebuan dari Malayu ini dilakukan oleh pasukan dari Kerajaan Sriwijaya.

9 Di Nganjuk terdapat desa Jambi. Kata Jambi ini bisa dihubungkan dengan Jambi yang ada di Sumatera. Konon desa ini merupakan tempat permukiman tentara Malayu ketika menyerang kerajaan Mataram. Hipotesis ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

10 Ibid.

11 Ibid.

12 Harimintadji, dkk, loc cit.

13 Ibid.

14 Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan besar yang menyatukan Nusantara berhasil dihancurkan oleh Raden Patah dengan dibantu oleh para wali dan pasukan Islam. Indikator ini yang menjadi awal kemunduran kerajaan Hindu-Budha. Raja berserta pemeluk agama Hindu-Budha kemudian mengungsi ke daerah pegunungan dan ke arah barat (Bali).

15 M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hal. 13. Berg mengemukakan pendapatnya bahwa sebenarnya Panembahan Senopati tidak ada, dan hanya merupakan ciptaan pada tahun-tahun belakangan, yang dimaksud untuk memberi garis keturunan bangsawan yang fiktif kepada Sultan Agung (1613-1646).

16 Napsriatun, op cit, hal. 37.

17 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hal. 167.

18 Napsriatun, loc cit.

19 Ibid, hal. 20.

20 Ibid, hal. 18.

21 Harimintadji, op cit, hal. 64.

22 Napsriatun, op cit, hal. 48.

23 Ibid, hal. 49.

24 Harimintadji dkk, op cit, lampiran hal. 135-136.

PERTEMPURAN 10 NOVEMBER 1945 BUNG TOMO (SUTOMO) (KESAKSIAN DAN PENGALAMAN SEORANG AKTOR SEJARAH)

PERTEMPURAN 10 NOVEMBER 1945 BUNG TOMO (SUTOMO) (KESAKSIAN DAN PENGALAMAN SEORANG AKTOR SEJARAH)

Sesuai dengan anak judulnya, buku ini merupakan catatan atau kisah yang dialami oleh Sutomo (Bung Tomo). Di dalam buku ini mengisahkan sebuah peristiwa yang selalu dikenang di Indonesia, pertempuran 10 November 1945. Buku ini sebenarnya pernah diterbitkan pada tahun 1950, kemudian di tahun 2008, bulan November ini diterbitkan lagi oleh Visi media. Walaupun sudah diedit, buku ini bisa menjadi rujukan dalam menulis Sejarah, apalagi tentang Surabaya. Aku memang ingin menulis tentang Bung Tomo. Entah itu biografinya atau sisi yang lain. Karena itulah aku berusaha mengumulkan sumber buku yang relevan. Ketika sedang nyantai sambil baca koran (ketika itu tgl 16 Nov 2008), aku membuka halaman resensi buku, ketika itu memang hari minggu dan Jawa Pos mempunyai halaman resensi buku pada hari minggu. Kemudian aku lihat daftar buku terbaru. Ternyata buku dari Bung Tomo berjudul Pertempuran 10 November 1945 sudah terbit. Sebelumnya aku mendapat bocoran dari Pak Mulyono, editor buku ini. Pada waktu telepon aku diberi informasi kalau buku ini segera terbit. Aku langsung bangun ketika dalam daftar buku baru ada buku Bung Tomo. Langsung saja aku pergi ke Toga Mas, toko buku diskon di sebelahnya plasa Dieng. Ternyata di toko buku ini banyak bermunculan buku-buku baru. Waduh sering-sering saja aku ke toko buku ini. Dan benar, di lantai dua aku menemukan buku Pertempuran 10 November 1945. Asyik bukunya, bahasanya komunikatif. Ini merupakan pengalaman orang yang ditulis. Memang benar, menulis pengalaman itu jika dibaca, tulisannya menjadi lebih hidup. Inilah kesaksian dari Bung Tomo. Sama bahasanya seperti pada buku istrinya Sulistina Sutomo, Bung Tomo Suamiku. Pengalaman hidup yang asyik. Pertempuran Surabaya 1945, dikisahkan oleh Bung Tomo. Bung Tomo menceritakan tentang kronologis peristiwa-peristiwa sebelum pertempuran heboh itu. Pada bagian awal dikisahkan tentang keadaan Surabaya setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Kemudian dilanjutkan pada kedatangan pasukan payung Sekutu (hal 11). Menyerahnya Jepang terhadap sekutu ini menyebabkan kedatangan para orang-orang Belanda ke Surabaya1. Penduduk Surabaya tidak suka dengan perlakuan congkak orang-orang Belanda itu. kemudian terjadilah Insiden bendera di Hotel Yamato. Kedatangan Sekutu yang membonceng NICA tambah membuat gusar rakyat Surabaya. Terjadilah pertempuran-pertempuran. Diplomasi antara Pemerintah Indonesia dengan Sekutu dilakukan untuk menghentikan tembak-menembak. Tapi ketika diplomasi Mallaby tewas. Tewasnya Mallaby ini merupakan awal dari pertempuran dahsyat pada 10 November 1045. Dalam buku ini juga menceritakan Bung Tomo yang mengalami kegelisahan. Hal ini disebabkan karena situasi yang tidak sama antara Jakarta dan Surabaya. Di Jakarta orang-orang Sekutu ”berkeliaran” dengan bebas, sedangkan di Surabaya (Jawa Timur) sebaliknya. Sikap inilah yang melahirkan gagasan untuk membentuk BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia). Disebutkan pula dengan jujur kalau Bung Tomo berbohong kepada pemerintah Surabaya agar mendirikan radio pemberontakan (hal 74). Mungkin orang yang bisa menyaingi Bung Karno adalah Bung Tomo. Orasi-orasinya sangat membara, membakar semangat. Seakan-akan rakyat termotivasi dan terpengaruh. Ketika mendengar Pidato Bung Karno dan Bung Tomo, merinding rasanya. Dan apakah tidak ada tokoh kharismatis di Indonesia sekarang? Kita tunggu saja... 1 Lihat juga pada William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 249.

Nyo2 kepompong imut 2

Dari menulis di blok aku teruskan menulis di laptop. Tidak enak kalau tidak diteruskan. Nanti aku copy saja filenya di blogku. Oke cerita berlanjut. Ketika itu pulang sekolah aku, arifin, bangkit mempunyai misi menyelamatkan seorang putri. Kami melewati pintu gerbang belakang sekolah agar tidak ketahuan sang senior yang menunggu di depan sekolah. Sebenarnya pengen sekali aku yang membonceng Dewi hingga sampai rumahku, tapi Arifin sudah keburu naik ke motor Honda ulungku. Dewi akhirnya dibonceng oleh Bangkit. Dalam hati aku berkata, “enak banget si Bangkit”.. Misi berhasil dilaksanakan. Kami berhasil mencapai rumahku. Setelah mengantarkan Dewi Bangkit langsung pulang karena ada acara. Sampai di rumah aku berandai-andai, “andai aku yang menembak Dewi, pasti sukses”. Di rumahku kebetulan tidak ada orang, ibuku yang biasanya di rumah pergi ke Jombang karena ada acara arisan, biasa ibu-ibu Bhayangkari (perkumpulan istri polisi). Karena tidak ada makanan, akhirnya arifin keluar membeli nasi pecel. Kesempatan, tinggal aku dan Dewi berdua saja. Aku harus bisa menembak. Langsung aku menyetel lagunya Ada Band, yang kasetnya aku pinjam dari temanku, judul lagunya Jadikan Aku Raja. Begitu aku melihat wajahnya aku berdebar-debar. Mau menembak kok rasanya waktunya tidak tepat ya. Aku melihat Dewi begitu menikmati lagu Jadika Aku Raja. Padahal lagu itu merupakan representasi dari hatiku yang paling dalam. Dan sepertinya wajah Dewi terlihat kelelahan. Aku diam saja sambil sedikit melirik wajah Dewi. Kesempatanku akhirnua berakhir ketika Arifin datang membawa nasi pecel. Kami bertiga akhirnya makan dulu. Hilanglah sudah kesempatanku. Matahari semakin jatuh ke Barat. Tidak terasa hari sudah sore. Waktunya memulangkan tuan puteri ke istananya, takut nantinya ibundanya marah besar. Arifin bilang padaku, “Gung, aku tidak bisa mengantar Dewi, kamu aja yang ngantar, enak lho bonceng cewek”. Kontan saja aku bilang iya.. Benar kawan membonceng cewek itu rasanya lain, apalagi cewek itu adalah orang yang kita sukai, hangaaat rasanya. Inilah aku pertama kali membonceng cewek. Sebeumnya tidak pernah aku membonceng cewek, kecuali ibuku. Langsung aku starter motor Honda ulungku. Sengaja aku pelankan kecepatannya biar bisa ngobrol panjang dengan Dewi. Di jalan kami bercerita tentang masa kecil, tentang keluarga, sampai pada sang senior yang mau menembak Dewi tadi. Jarak antara rumahku ke rumahnya Dewi hanya 3 km, tapi bagiku seperti 1 m. Kok cepat sampai ya?? Senyum manis Dewi mengambang kepadaku, “Thak’s ya...”. Aduhh, manis sekali.. Sampai rumah aku berpikir, “kenapa ya aku kok tidak bisa menembak, menyatakan aku sayang padamu”. Nasib-nasib, kalau bertemu wanita aku selalu demam panggung. Padahal Dewi ini adalah sahabatku dari SMP, atau tepatnya dari mendaftar ke SMA. Ada satu pengalaman yang sangat mengasyikkan bagiku. Ketika itu pulang sekolah pagi, biasa ada rapat dewan guru. Aku diajak Arifin dan pacarnya dolan, main ke Kediri. Dan lebih asyik lagi aku mengajak Dewi. Dua kali aku membonceng cewek. Waktu itu kami ke Sri Ratu, sebuah maal di kota Kediri. Dari Sri Ratu kami beli beberapa camilan kemudian tujuan selanjutnya adalah ke tempat wisata Goa Selomangkleng. Sebuah situs berbentuk gua yang ada tulisannya dan berhuruf kwadrat, huruf kuno yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Kadiri. Sepeda motoran jarak jauh pertama bagiku... Dengan wanita yang aku sukai lagi.. hatiku berbunga-bunga. Kenaikan ke kelas 3 merupakan hal yang tidak aku inginkan. Aku harus berpisah kelas dengan Dewi. Aku juga merasa sedih, teman-teman dekatku masuk ke kelas IPA semua, sedangkan aku masuh ke kelas Bahasa. Sampai kelas tiga pun aku belum bisa menembak Dewi. Sebelum kenaikan kelas, teman-temanku mengadakan rekreasi ke Pantai Pasir Putih di Trenggalek. Tapi persediaan dana tidak mencukupi. Akhirnya aku mengajak Alfian ikut. Eh bukannya menjadi penyelamat, Alfian malah jadi duri yang menyebabkan penyakit tetanus. Alfian malah dekat dengan Dewi, duduknya pun di dekatnya Dewi ketika di dalam mini bus. Walah malah ketika di Gua Lawa (gua kelelawar), di dalamnya kan gelap, lha si Alfian malah menggandeng Dewi.. Api cemburuku membara.. Aku jadi agak naik pitam, biasanya aku 3-4 kali seminggu ke rumahnya Dewi, aku tidak ke sana selama seminggu. Aneh ya, padahal belum jadian.
Kelas tiga SMA merupakan penentuan masa sekolah. Aku sudah mulai konsentrasi sekolah dan merencanakan akan kuliah dimana. Kelasku ada di paling pojok. Setiap hari setiap pulang sekolah aku selalu melihat ke jendela, melihat Dewi yang berjalan pulang dan selalu melewati kelasku. Ya Allah, semakin dekat saja hatiku dengan Dewi. Di kelas tiga kami semakin dekat. Aku juga sering ke kelasnya ketika pulang sekolah, maupun ketika istrahat. Sering aku ngobrol dengan Dewi di depan kelasnya di IPA 3. Suatu ketika Rifky temanku sekelas mengajakku nonton konser band Cokelat di Jombang. Teman-teman yang melihat konser pergi berpasangan, Rifky dengan Nano, Eko dengan Lia, aku sama siapa ya? Terus ada Dewi melintas di depan kelasku. Sifat malu pada wanita masih melekat dalam diriku. Ingin aku mengajak Dewi kok ya sulit sekali. Untung saja Sri memotivasiku untuk mengajak Dewi. Dewi pun mau. Grogi kawan rasanya mengajak cewek lihat konser pertama kali. Sampai di rumah aku bingung mau dandan apa? Pakai ini kok tidak cocok, pakai itu salah.. Sampai jam pun berlalu, aku janjian jemput Dewi jam 7, konsernya dimulai jam 9.00. Karena terburu-buru aku pun pakai kostum seadanya. Aku menjemput Dewi. Sebelum berangkat ke Jombang aku ngumpul dulu di rumahnya Rifky, nanti berangkat bareng. Dan kau tahu kawan sampai di rumahnya Rifky Dewi senyum-senyum kepadaku. GR (gede rasa) aku rasanya. Teman-teman yang lain juga tertawa melihatku. “Hai Gung, kamu mau lihat konser atau mau olahraga??” kata Rifky. Ketika aku melihat diriku, astaga, aku memakai kostum yang unik. Aku memakai training (celana olahraga) dan memakai jaket merah, persis pelatih sepak bola. Mangkanya teman-teman pada tertawa. Akhirnya biarlah aku memakai kostum ini. Kemudian berangkatlah kita ke Jombang. Ternyata lihat konser seru juga, banyak orang. Ketika artisnya manggung yang nonton pada loncat-loncat. Dalam konser panggung di tempat terbuka pasti ada penonton yang tawuran. Gila orang tawuran itu, seperti orang kesurupan dan itu terjadi di depan kita. Dengan refleks aku langsung merangkul Dewi. Ketika reda aku melihat tanganku masih merangkul, dan Dewi senyum-senyum saja. Dengan malu aku langsung melepaskan tanganku. Senang rasanya melihat Dewi ceria sambil loncat-loncat menirukan lagunya Cokelat. Dag dig dug hatiku. Dalam hati aku malah berdoa semoga ada tawuran lagi, nanti aku merangkul Dewi lagi. Ternyata doaku terkabul. Bukan tawuran yang terjadi tapi foto bersama. Ketika foto bersama aku dengan agak deredeg (nervous =Jawa) merangkul Dewi lagi dengan tangan kiriku. Dan jepret... Asyik aku bisa merangkul cewek yang pertama kali...
Ulang tahun ke 17 merupakan spesial bagi remaja. Angka 17 ini merupakan angka keramat bagi kawula muda karena merupakan simbol dari kedewasaan tahap awal. Besok tanggal 30 Juni merupakan ultah Dewi yang ke-17 tahun. Aku bimbang, enaknya diberi hadiah apa ya? Sepulang sekolah aku diajak Arifin ke pasar Warungjayeng buat beli hadiah. Agak sewot aku sebenarnya sama anak ini, tapi tidak apa-apalah, positif thingking saja. Di pasar kami mencari hadiah yang cocok buat Dewi. Lama mencari dan bingung mau dikado apa, akhirnya Arifin memberi usul, “kita beki sajadah saja, jan Dewi sholatnya agak kurang”. Sebenarnya aku juga bingung, tapi tidak apa-apalah. Kemudian kami ke sebuah toko baju muslim dan membeli sajadah, itupun pakai uang ku, padahal tadinya kita urunan. Tidak apa-apalah Seperti biasa tradisi ulang tahun kita adalah mentraktir, tempat yang sering dipakai traktiran adalah warung bambu di depan sekolah (SMA 1 Kertosono). Kali ini aku berdandan normal, tidak memakai celana training lagi. Berangkat aku dengan Honda ulung ke rumahnya Dewi. Teman-teman juga sudah pada ngumpul. Ada yang ganjel di pikiranku ketika di rumahnya Dewi. Doni teman lain kelas yang pernah nembak Dewi datang juga. Panas lah hatiku, apalagi teman-teman yang lain mencomblangi mereka, bukan aku. Berangkat ke Bambu pun aku malah bonceng Anis, Dewi malah dibonceng sama Doni. Tambah panaslah hatiku. Makan di Bambu rasanya hambar, tidak enak banget. Aku dilanda cemburu. Aku melihat Doni ngobrol terus sama Dewi, duduknya dekat lagi.. Yang paling tidak enak lagi ibunya Dewi mengirim SMS ke Bangkit. Bangkit ini sebelumnya punya masalah, dia di putusin sama pacarnya. Ibunya Dewi malah merekomendasikan Bangkit pacaran sama Dewi. Walah hancur bagaikan di terjang badai tsunami hatiku...
Mendekati kelulusan biasanya di sekolah menyelanggarakan informasi tentang Perguruan Tinggi. Aku juga mendaftar, waktu itu aku mendaftar PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan) di UM (Universitas Negeri Malang) di Jurusan Sejarah dan mendaftar UM (Ujian Masuk) UGM (Universitas Gajah Mada), juga milih Jurusan Sejarah. Dewi juga ikut PMDK di UM mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Hari demi hari semakin dekat aku dengan Dewi. Aku sering mengantarnya pulang, mengantar ke sekolah kalau ada jadwal olahraga pagi. Dan seringkali juga menjemput ke rumahnya. Tapi perlu dicatat, aku belum jadian sama Dewi. Dewi ini sebenarnya tidak suka dengan hubungan tanpa status. Tapi anehnya, kok lama ya hubungan sama aku? Sering juga Dewi menelpun rumahku. Sampai-sampai aku duduk di sebelahnya telepon rumahku, menunggu telepon dari Dewi. Bulan Maret tepatnya tanggal 31 adalah ulang tahunku. Sesuai tradisi nantinya aku harus mentraktir teman-teman. Tapi di bulan awal bulan April aku harus ke Yogyakarta sama teman-teman yang lain untuk ikut UM UGM. Otomatis aku harus menghemat uang. Dengan terpaksa aku minta maaf sama teman-teman dekatku kalau aku tidak bisa mentraktir. Sebelum hari H aku berangkat ke Yogyakarta, waktu itu tepatnya tanggal 31 Maret pas hari ultahku, siang hari aku di telepon oleh Dewi. Aku disuruh ke rumahnya, penting katanya. Aku juga tidak habis pikir, ada apa ini? Dengan agak tergesa-gesa aku menstarter sepeda ulungku. Berangkatlah aku dengan mengebut seperti Valentino Rossi ke rumahnya Dewi. Sampai di rumahnya, lho kok banyak anak ngumpul, apa ada kondangan atau bancaan (kenduri: ritual orang Jawa). Aku di suruh masuk oleh anak-anak. Banyak berkumpul ternyata termasuk Arifin. Aku masuk saja terus duduk di sofa. Kemudian tiga cewek keluar dari kamarnya Dewi yang ada di depan. Dewi, Mega, Entuk (panggilan Astutik) membawa seperti tumpeng. Dan benar di atas sebuah layah (tempat beras di bersihkan) ada segunung nasi dan beberapa lauknya. Aku heran, “itu untuk apa?” tanyaku. “Selamat Ulang Tahun Agung, panjang umur ya”.. Mendengar tiga cewek tadi hatiku trenyuh. Aku kira karena aku tidak mentraktir teman-teman aku ditinggalkan atau dijauhi ternyata tidak. Ternyata mereka mempersiapkan ritual untuk memeriahkan pesta ulang tahunku. Dan yang paling semangat mengadakan acara itu adalah Dewi. Terima kasih teman-teman. Aku menjadi manusia yang paling beruntung dikelilingi oleh teman-teman yang baik. Kemudian aku dikasih Dewi sebuah gulungan kertas dari sisa kalender. Aku disuruh buka dirumah. Ternyata isinya adalah ucapan selamat Ultah dari empat wanita Dewi, Mega, Entuk, dan Lusi. Ucapan selamat, kesan dan pesan itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa. Doa teman-teman inilah yang membuatku sukses dalam ujian di UGM, aku berhasil diterima di sana di Jurusan Sejarah. Tapi tidak aku ambil karena di UM melaluia jalur PMDK aku juga diterima di Jurusan yang sama. Aku memilih di UM selain karena PMDK juga karena Dewi kuliah di Malang.
Putaran roda kehidupan terus berlanjut. Aku semakin dekat saja dengan Dewi. Berangkat sekolah aku selalu menjemput Dewi. Tapi kok aku belum menyatakan “rasa” ya? Malam itu tanggal 15 April (aku sudah kelas 3 SMA) aku diajak ngumpul di rumahnya Dewi. Di situ juga ada Haxni dan Lusi. Dan ternyata mereka berdua saling suka. Aku dan Dewi ditinggal di rumahnya sedangkan dua orang itu ngobrol di depan rumahnya Dewi, tepatnya di bukit rel kereta api. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi melihat wajah Haxni dan Lusi aku sudah bisa menebaknya, ya mereka sudah jadian. Sesudah menyatakan cinta Haxni dan Lusi pergi berdua, tinggalah aku dan Dewi di rumahnya. Suasana yang mendukung, di tengah kami melihat audisi API (Audisi Pelawan Indonesia) aku duduk berdua dengan Dewi. Lama kelamaan aku menggandeng tangannya dan Dewi juga merespon dengan bersandar di pundak kiriku. Berdebar rasanya. “Lusi dan Haxni sudah jadian, senang ya”. “Iya”, kataku. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Akhirnya aku tidak tahan, “Wi, sebenarnya aku sayang kamu” mak dueeer rasanya hatiku. Dewi kemudian merespon, “sejak kapan?”. “Sejak kelas dua, sejak kamu duduk di depan bangkuku, dan yang membuat aku makin sayang adalah pas ulang tahunku”, akhirnya aku membuka hatiku. Dewi masih bersandar di pundakku. Aku semakin deg-degan. Dewi tidak berkomentar. Karena sudah malam aku pamitan pulang. Masih ngambang rasanya. Tapi aku senangnya bukan main, aku sudah jadian pikirku, padahal kemarin Cuma menyatakan rasa, bukan “menembak”. Tapi setidaknya dari kejadian itu aku sangat dekat dengan Dewi, ketika ketemu selalu berdua, ketika pulang sekolah aku selalu mengantar. Tapi menurut Dewi kita masih belum jadian, kita masih ngambang, dan itu berlangsung beberapa hari. “Kamu jangan senang dulu, kamu belum nembak aku” katanya. Waduh bingung aku, sampai tidak bisa tidur. Ternyata aku belum menembak dan hubunganku dengan Dewi masih mengambang. Aku ini tidak tahu harus berbuat apa? Sampai ketika itu hari Jum’at tanggal 6 Mei 2004. Seperti biasa kami selalu ketemuan di kelas Bahasa. Dewi dieeem saja. Tak ajak bicara tidak merespon. Terus kemudian aku digandeng dan di ajak di kelasnya, IPA 3. Ngapain? Pikirku. “Udah sekarang enaknya gimana hubungan kita” katanya. Aku bingung tapi secepat kilat aku merespon, kan aku belum jadian. Langsung saja aku ajak duduk, dan aku memegang kedua tangannya. Aku mulai bilang seperti mau mengadakan Mou.” Wi, maukah kamu menjadi pacarku?”. Berdebar kencang hatiku. Aku melihat Dewi, kok dia tidak merespon? Aku ulangi perkataanku lagi sampai tiga kali. Agak kesal rasanya, aku diam. Kemudian Dewi berkata “yes, I do”. Kata yang indah, mengalahkan keindahan puisi Rendra, mengalahkan kalimat-kalimat dari Pramodya Ananta Toer. Hatiku berbunga-bunga. Hatiku bergelora seperti pertandingan Manchester United vs Chelsea. Selama ini aku menjomblo, tidak punya pacar, akhirnya aku melepas kesendirianku. Akhirnya aku mendapatkan wanita yang aku sayangi, akhirnya aku punya pacar.. Terima kasih ya Allah.

Keinginan Tyas

Terik matahari siang di Surabaya. Sangat panas rasanya. Tyas sudah hampir putus asa. Sudah keliling Surabaya dan sudah meletakkan beberapa lamaran pekerjaan pada beberapa perusahaan, belum ada satu pun yang menerimanya. Lelah, capek rasanya. Sebenarnya di Malang Tyas sudah punya pekerjaan, akan tetapi pekerjaan itu sangat melelahkan, bukan untung yang didapat, buntung iya. Bekerja begitu keras sampai malam tapi bayaran sedikit. Bahkan selama dua bulan ini Tyas belum menerima bayaran. Dia belum menjual produk perusahaan, jadi kena hukuman, tidak digaji. Untungnya masih ada uang sisa bonus yang dia terima. Siang itu Tyas mampir ke rumah mbak yu-nya, kakak perempuan satu-satunya, saudara kandungnya yang ada di Surabaya. Niat awal Tyas hanya mampir saja, masak ke Surabaya tidak mampir ke rumah mbaknya. Rencananya setelah mampir dia langsung balik ke Malang lagi. Masih ada urusan yang harus di selesaikan di Malang. Tyas masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang. Tyas segera mengurus dulu administrasi untuk kelulusan, kata kerennya wisuda. Tyas agak terlambat mengurus wisuda karena ditinggal kerja, teman-temannya sebagian besar sudah melakukan wisuda. Cuma memakai berdandan memakai toga, kemudian rektor menggeser tali di topi toga, bisa membuat orang bingung mengurus. Lebih-lebih harus memeras otak untuk studi selama 3-4 tahun, bahkan ada yang sampai 5 tahun. Pamit mau pulang kembali ke Malang menjadi awal keberuntungan bagi Tyas. Wati, sahabatnya sejak SMP menjemput Tyas di rumah mbaknya. Wati memberikan informasi kepada Tyas bahwa ada recruitment di perusahaan tampat dia bekerja, kata Wati sistemnya walking interview. Kesempatan tidak datang dua kali. Tyas mengurungkan niatnya kembali ke Malang. Tyas akhirnya di bonceng Wati kembali ke kosnya Wati. Sangat mendadak, walking interview-nya diadakan besok pagi Malam hari itu juga Tyas mempersiaplam segala dokumen lamaran pekerjaan. Baju pinjam ke Wati, sekaligus sepatu. Malam itu Tyas sibuk sekali, seperti seorang komandan yang merancang strategi untuk menghadapi medan perang pada keesokan harinya. ”Santai aja Yas, kamu istirahat saja, besok kan harus fit untuk wawancara”, Wati mengingatkan. Keesokan harinya Tyas melirik kalender yang ada di tembok dekat pintu keluar kamar kos. Tanggal 16 Januari 2009, ”Semoga aku beruntung”, batinnya. Tyas berangkat menuju sebuah gedung. Ternyata interviewnya diadakan di Hotel Mercury. Di lobby hotel banyak sekali orang. Sudah bisa ditebak itu adalah orang-orang yang melamar pekerjaan. Rupanya perusahaan itu menjanjikan. Dengan senyum Tyas melirik map lamaran kerjanya, Axtra Mandiri, itulah nama perusahannya. Melihat banyak orang Tyas bukannya senang ada temannya, tapi malah bingung. ”Mbak, ini interviewnya kapan?”, tanya Tyas kepada salah satu pelamar. ”Lho, mbak gak tahu ya, ini sudah intervew yang kedua. Kemarin sudah interview tahap pertama, sekarang intervew tahap kedua”. Tyas semakin bingung, ”Kok sudah tahap kedua, katanya Wati ada walking interview?”. Kemudian ada pegawai recruitment yang ke kamar mandi. Tanpa malu Tyas membuntutinya sampai ke toilet. ”Orang ini lama banget sih, ngapain di dalam”, Tyas menggerutu. Lama menunggu akhirnya nongol juga orangnya. Dengan muka tebal Tyas bertanya,”Mbak, mau nanya, ini walking interviewnya kapan?”, ”Maksudnya?” pegawai itu bingung. ”Kata teman saya, di perusahaan ini ada walking interview, tapi kok sudah tahap kedua?”. ”Teman kamu siapa?”, tanya pegawai itu lagi. ”Egawati, staf AF1 di perusahaan ini”. Mendengar keterangan Tyas pegawai itu meminta map lamarannya kemudian membacanya, ”Oke, tunggu sebentar ya”. Kecemasan meliputi hati dan pikiran Tyas. Dia sudah pasrah apapun hasilnya. Tidak ada 7 menit kemudian, ”Kusumaningtyas, mohon ke ruang interview”. Belum selesai merenungi nasib sudah ada panggilan. Tyas segera sadar dan berjalan menuju ruang interview. Di ruangan itu Tyas memandangi suasana ruangan. Tentu bukan hal baru baginya menerima panggilan di sebuah ruang interview. Sebelumnya di Malang dia sudah pernah mengalaminya. Agak tegang rasanya tapi Tyas bisa segera mengatasinya. Kemudian datang pria memakai setelan jas hitam, dasinya cokelat agak keputih-putihan. Umurnya separuh baya. Orang ini adalah kepala unit recruitmen. ”Selamat pagi Kusumaningtyas”, suaranya berwibawa seperti seorang manager pada umumnya. ”Sebelumnya Anda sudah kerja?”. ”Sudah Pak”, jawab Tyas. ”Kalau boleh tahu kerja di perusahaan mana?”. ”Saya kerja di perusahaan Heroes yang bergerak di bidang properti di Malang Pak, bagian Marketing”. ”Oo properti ya, kalau begitu coba Anda praktekkan bagaimana cara Anda memikat konsumen”, tantang sang penginterview. Tentu menghadapi orang yang ingin membeli rumah bukan hal yang baru bagi Tyas. Dengan panjang lebar Tyas menjelaskan tentang produk perusahannya dulu di Malang. Dia kemudian menjelaskan rumah-rumah di Paralayangan, di Graha Warna dan lainnya. Penjelasan Tyas sangat jelas walaupun tidak memakai brosur. Tyas melihat wajah pria yang menginterviewnya sepertinya terkesan. Setelah menjalani interview, Tyas diminta meninggalkan tempat dan menunggu untuk dipanggil kembali. Selesai interview Tyas mengambil nafas dulu, istirahat sebentar. Belum lama istirahat, speaker kembali bersuara memanggil namanya. Kali ini Tyas menjalani interview yang kedua. Kali ini yang mengiterview adalah wanita separuh baya. Gaya pakaiannya seperti wanita karir kebanyakan. Memakai jas dengan setelan rok berwarna cokelat kehitam-hitaman. Panjang rambutnya sepundak. Tanpa banyak basa basi, wanita itu langsung memberondong Tyas dengan berbagai pertanyaan. ”Anda disini ingin mendapat gaji berapa?”, ”Saya ingin mendapat gaji 10 juta Bu”, jawab Tyas tegas. ”Anda ini termasuk berani ingin mendapat gaji 10 juta, kalau begitu Anda di perusahaan ini ingin ditempatkan di bagian apa?”, ”Saya menginginkan di bagian FA Bu,”. ”Oo begitu, asal tahu saja gaji di FA minimal dua juta tiga ratus, dipotong pajak, paling nanti dapatnya dua juta seratusan. Kenapa Anda tadi ingin gaji 10 juta?” Wanita itu agak tinggi nada bicaranya. ”Ibu tadi menanyakan saya ingin gaji berapa. Kalau pertanyaannya ”ingin”, tentu saya juga menjawabnya sesuai dengan keinginan saya. Penghasilan yang saya inginkan adalah 10 juta” Tyas menjawab singkat jelas. ”Kenapa Anda ingin di bagian FA?” tanya wanita itu lagi. ”Soalnya saya ini sangat menyukai bekerja dengan langsung menghadapi konsumen”. Agaknya jawaban Tyas ini menjadi pamungkas serentetan pertanyaan, kemudian Tyas dipersilahkan meninggalkan ruangan dan menunggu kembali panggilan berikutnya. Sudah dua kali Tyas duduk di kursi panas. Pikirannya sudah melayang. Sejenak termenung tidak ada 6 menit kembali, ”Kusumaningtyas harap memasuki ruang”. ”Apa lagi sekarang?”, batin Tyas. Memasuki ruang berikutnya bukan pria ataupun wanita yang menginterview. Kali ini yang dihadapi Tyas adalah soal-soal psikotes. Waduh sudah capek diinterview, belum sarapan, malah diberi soal. Lembar demi lembar Tyas menjawab soal psikotes. Sudah dua halaman yang berhasil dijawab oleh Tyas. Tinggal halaman terakhir, tapi bel menandakan berhenti sudah berbunyi. Keluar dari ruangan tes badan Tyas terhuyung, kunang-kunang kecil berkeliling di kepalanya. Untung saja Hp-nya berbunyi, kalau tidak mungkin Tyas sudah pingsan. Temannya Wati menelepon. ”Bagaimana tesnya”, ”Ya sudah selesai semua, tapi yang psikotes halaman terakhir belum aku kerjakan”. ”Ahh tidak apa-apa, itu gak begitu penting, aku malah cuma mengerjakan selembar”, ”Trus, kamu udah ketemu ama Bu Widya?” lanjut Wati di telepon. ”Siapa itu Bu Widya?” Tyas bingung. ”Ibu itu yang suka sama orang yang pintar dan punya semangat kerja, dia masih paro baya dan rambutnya sepundak, dia itu yang nantinya nyeleksi siapa yang berhak lolos”. Tyas berpikir sejenak, siapa ya? Jangan-jangan Ibu itu yang menginterviewnya tadi. ”Sudah, tadi aku sudah diinterview”. Selagi mengobrol dengan Wati Tyas melihat papan pengumuman terakhir seleksi rekruitmen. Banyak orang yang melihat. Satu persatu mulai meninggalkan tempat dengan muka lesu karena namanya tidak ada dalam daftar seleksi akhir. Tyas masih dalam keadaan telepon, dia melihat orang-orang satu-persatu meninggalkan tempat. Tyas melongok ke daftar yang lolos seleksi. Hanya empat yang lolos dari 156 pelamar dan ada nama Kusumaningtyas. ”Lho Wat, kok namaku ada di daftar pengumuman akhir, aku sungkan, tadi aku datang telat. Gak enak sama orang-orang?” Tyas tidak percaya kalau namanya ada dalam daftar. ”Ya wis to, itu bejomu2, berarti kamu diterima, ya udah siap-siap aja. Udah ya, selamat”, Wati menutup teleponnya. Tyas masih terbengong-bengong. Kemudian dia untuk kesekian kalinya dipanggil lagi. Empat orang yang diterima dikumpulkan dalam suatu ruangan. Di ruangan itu mereka di beri pengarahan. Akan ada tes lagi. Jadwal untuk besok adalah tes kesehatan. Kemudian mereka berempat akan melakukan tes akademis di Jakarta. Oleh karena itulah tes kesehatan penting dilakukan. Pihak perusahaan tidak menginginkan ada orang yang stress ketika di Jakarta karena tes di Ibukota negara itu sangat berat. Di ruangan itu juga ada Ibu Widya dan memberikan instruksi, ”Kalian harus bisa lolos tes, karena kalian ini akan ditempatkan di Jawa Timur. Asal kalian tahu orang dari Jawa Timur masih diperhitungkan oleh perusahaan. Jangan sampai kalah, dan jangan sampai mempermalukan saya yang telah memilih kalian”. Luar biasa perjuangan Tyas. Tidak rugi berangkat dari Malang malam-malam sehabis jaga stan di Matos, apalagi dia tidak bilang kekasihnya kalau ke Surabaya. Perjuangan berat itu mendapat balasan yang setimpal oleh Tuhan. Tyas diterima kerja di Axtra walaupun masih harus tes lagi di Jakarta. Setidaknya sudah 70% Tyas diterima. Sebelumnya di Surabaya Tyas memasukkan lamaran di berbagai perusahaan. Tidak ada panggilan membuat Tyas stress dan putus asa. Ada satu kunci keberhasilan Tyas. Ketika dia frustasi dia pinjam buku motivasi pada Wati. Tyas merasa pikirannya kering, kosong, dan tidak ada motivasi. Lembar demi lembar, halaman demi halaman Tyas membaca buku motivasinya Wati. Kemudian dia menemukan sebuah rahasia kehidupan yang berupa keinginan dan menuliskannya pada secarik kertas. Ternyata tulisan Tyas di kertas itu menjadi kenyataan. Dia berhasil di terima di Axtra dengan menyingkirkan para pesaingnya yang lain dan ajaibnya Tyas hanya melakukannya dalam waktu satu hari. Dia tidak tahu kalau wawancara diadakan dua kali. Tulisan di secarik kertas itu mengandung kekuatan yang sangat luar biasa. Tyas hanya menulis, ”AKU DITERIMA DI AXTRA MANDIRI PADA TANGGAL 16 JANUARI 2009”.
1 Advertising Financial
2 Keberuntungan

Pelabuhan Brondong, Lamongan

NELAYAN

  1. Organisasi

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pemilik perahu-Pak Katelan-, diperoleh informasi tentang struktur organisasi nelayan di Pelabuhan Brondong, Lamongan. Struktur organisasi tersebut bisa di buat bagan sebagai berikut;

Dalam setiap perahu/ kapal mempunyai struktur organisasi sendiri, walaupun hanya juragan kapal dan awak kapal saja. Tetapi hubungan antara juragan kapal yang satu dengan yang lain bisa dibilang erat, mereka menganggap saudara karena sesama nelayan (mata pencaharian yang sama). Kekompakan para nelayan terjadi ketika mereka berkumpul membahas persoalan tentang pekerjaan (melaut). Hal yang sering dibahas dalam perkumpulan para juragan itu adalah tentang harga ikan atau hasil tangkapan yang lain. Karena itulah kumpulan para juragan ini menempati urutan teratas dalam struktur organisasi nelayan di Pelabuhan Brondong.

  1. Ekonomi

Kehidupan ekonomi para nelayan tersebut sangat sejahtera dan terjamin, jika melihat dari penghasilan yang diperoleh. Penghasilan yang diperoleh dalam sekali melaut adalah sebesar Rp.200.000-Rp.800.000/orang setelah dibagi dengan modal awal. Dalam kehidupan ekonomi, biasanya para nelayan ikut arisan. Dalam urusan yang lain biasanya istri para nelayan membelanjakan uang untuk sesuatu yang kadang tidak berguna,contohnya barang-barang elektronik,makanan dan cenderung berfoya-foya. Kehidupan mereka biasanya bersaing dengan tetangganya, apabila tetangganya mempunyai barang yang mewah maka yang lainnya membeli barang yang lebih. Biasanya istri para nelayan itu memakai perhiasan yang berlebihan,contohnya kalung,gelang atau cincin yang besar jika diukur dengan timbangan sekitar 5-7gram.

  1. Sosial-budaya

Nelayan-nelayan yang ada di Pelabuhan Brondong, Lamongan ini berasal dari berbagai daerah. Pada musim panen ikan (musim panen iwak) para nelayan berbondong-bondong pergi melaut untuk mencari penghasilan yang besar. dalam menangkap ikan, para nelayan ini bisa menghabiskan waktu sampai seminggu. Menurut Masyuri kegiatan ini di Jawa disebut mboro atau orang Madura menyebutnya dengan istilah ngandon, yakni kebiasaan bermigrasi musiman untuk melakukan penangkapan ikan ke tempat-tempat lain yang jauh dari tempat tinggalnya[1].

Budaya Mboro ini menyebabkan interaksi di antara nelayan, dan adaptasi teknologi dalam konteks ini bukan hal yang mustahil. Seperti yang dimiliki oleh Pak Lan yaitu sebuah kotak yang berupa elemen yang bisa menampung tenaga matahari yang digunakan untuk menyalakan VCD Player beserta sound system-nya. Tidak hanya itu, bahkan ada beberapa nelayan yang memiliki kapal yang berukuran lebih besar dari kapal Pak Lan mempunyai satelit atau alat detektor ikan.

  1. Modal

Untuk membuat sebuah perahu/ kapal ternyata membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan biaya yang dibutuhkan untuk membuat perahu/ kapal bisa mendapatkan satu buah Honda Jazz. Menurut penuturan Pak Lan (panggilan Pak Katelan) biaya untuk pembuatan kapalnya sendiri sebesar 132 juta, itu pun perahu/ kapal dalam kondisi kosongan. Untuk mendapatkan perlengkapan di dalam kapal seperti mesin, jaring, dan beberapa peralatan yang lain setidak-tidaknya membutuhkan biaya 250 juta.

Modal awal yang dibutuhkan didapatkan dari perorangan dalam hal ini didapatkan dari Pak Katelan selaku pemilik kapal. Tetapi dalam pembagian hasilnya,dibagikan sesuai dengan jumlah awak kapal,setelah dipotong dengan modal awal. Seperti yang dicontohkan saudara Hendri sebagai berikut

« Pendapatan rata-rata tiap kapal sekali berlayar sekitar 50-73 juta selama 10-13 hari.

« Hasil tangkapan senilai 50-73 diatas dibagikan ke masing-masing awak sejumlah 12-13 awak kapal.

« Masing-masing awak mendapatkan antara 1 sampai 1,5 juta sekali berlayar.

Perhitungan pendapatan :

Bagian mesin = 2 awak

Bagian kapal = 4 awak

Bagian jaring = 1/5 awak.

Sebagai contoh seumpama pendapatan kapal selama 10 hari adalah Rp. 73.000.000,00 dengan awak kaal sejumlah 13

Perhitunganya : 73.000.000 / 13 = 5.615.385

Maka bagian :

Mesin 2 X 5.615.385 = 11.230.769

Kapal 4 X 5.615.385 = 22.461.538

Jaring 0,5 X 5.615.385 = 2.807.692

Juragan 3 X 5.615.385 = 16.846.155

Total 53.346.154

Pendapatan per-awak :

73.000.000 - 53.346.154 = 19.653.846

19.653.846 / 13 = 1.511.834,308


KAPAL/ PERAHU

  1. Jenis kapal/perahu

Jenis kapal yang ada di pantai utara Jawa beragam. Selain itu juga memiliki ukuran yang berbeda-beda. Berdasarkan ukurannya ada dua jenis kapal. Yang pertama adalah tipe jukung, yaitu tipe perahu yang berukuran kecil, yang dibuat dari sebuah batang pohon yang dibentuk menjadi perahu, dengan kadang-kadang mempertinggi sampingnya dengan tambahan papan. Kedua adalah tipe mayang, yakni tipe perahu yang berukuran besar, yang dibangun seluruhnya dari papan, baik dengan haluan yang membesar, haluan dan yang melengkung ataupun tidak[2].

Kapal-kapal yang ada di Pelabuhan Brondong mayoritas berukuran besar-besar. Kapal yang kami teliti adalah kapal jaya Bakti, yang lumayan besar. Jika dilihat dari ciri-dirinya Kapal yang bernama Jaya Bakti ini termasuk tipe mayang. Kapal jaya bakti ini dulunya adalah perahu yang menggunakan layar yang sering disebut dengan perahu layar. Sering dengan perkembangan jaman perahu layar ini diberi mesin untuk menjalankan kapal. Perahu ini digunakan sebagai penangkapan ikan. Sehingga disebut kapal jenis untuk penangkapan ikan.

  1. Kepemilikan

Kapal-kapal yang ada di tempat pelelangan ikan (TPI) Brondong ini mayoritas adalah kapal swasta (milik sendiri). Dimana kapal tersebut dibeli oleh seseorang dengan modal sendiri atau keluarga dan orang tersebut memperkerjakan beberapa nelayan di kapal tersebut (menjadi awak kapal) untuk penangkapan ikan.

Kapal yang kami teliti bernama Jaya Bakti. Kapal Jaya Bakti adalah kapal swasta yang pemiliknya bernama Pak Katelan yang berasal dari daerah Palang, Tuban. Selain pemilik kapal, Pak Lan (panggilan Pak Katelan) juga seorang nelayan, jadi Pak Lan juga juga ikut dalam berlayar untuk menangkap ikan langsung dengan pekerjanya (awak kapalnya).

Pak Lan mempunyai 13 awak kapal. Para awak kapal ini berasal dari berbagai daerah, ada yang asli Brondong, Pemalang, Tuban.

  1. Spesifik Kapal

Kapal Jaya bakti ini mempunyai ukuran panjang 12m, lebar 5m, Tinggi 2m. Dalam berlayar untuk penangkapan ikan dan peralatan-peralatan penangkapan ikan. Kapal Jaya Bakti ini membutuhkan biaya operasional ± 6 juta satu kali berlayar dengan rincian penggunaan sebagai berikut:

    • Pembelian gas 4 drum
    • Beras 60 kg selama berlayar
    • Es 120 bal untuk penyegaran atau pengawetan ikan
    • Biaya perbaikan kerusakan kapal dan peralatan penangkapan pelayaran.

Biaya-biaya tersebut yang ± 6 juta diambil dari uang hasil melaut atau penjualan hasil tangkapan. Daya angkut kapal Jaya Bakti tersebut ± 8 ton, yaitu berat perkakas kapal dan peralatan berlayar 3 ton, 13 orang x 50 kg, ikan atau hasil penangkapan 3 ton.

Kapal ini mempunyai tiga bagian:

  1. Bagian depan terdiri dari
    • Tiang, berfungsi sebagai penyangga layar
    • Bagasi depan, sebagai penyimpanan persediaan makanan
  2. Bagian tengah terdiri dari:
    • Mesin gardan, mempunyai tenaga 30 bk, digunakan untuk menggulung jaring, sebagai jaring penangkapan ikan
    • Andang-andang terbuat dari bambu sebagai penyimpanan barang atau jaring cadangan dan pakaian
    • 6 bagasi untuk penyimpanan hasil tangkapan dan diawetkan dengan es batu (satu bagasi berisi 8 kwintal ikan).
  3. Bagian belakang, terdiri dari:
    • Diesel, untuk penggerak kapal
    • Dua kemudi kapal kiri dan kanan
    • Kotak tenaga surya, dari tenaga surya, untuk menghidupkan VCD, tape, dan lampu

Di samping tiga bagian tersebut, terdapat dua bagian lagi yaitu:

Þ Bagian samping kiri terdapat delapan bagasi yang berisi tampar yang panjangnya 900m.

Þ Bagian samping kanan terdapat delapan bagasi kosong untuk menguras air.

Selain itu terdapat peralatan yang lain yang terdapat di dalam kapal seperti

Þ Ban, yang diletakkan disamping yang berfungsi sebagai pelindung agar buritan kapal tidak rusak ketika berbenturan dengan pinggir pelabuhan ataupun dengan kapal yang lain.

Þ Tong, untuk tempat kompor dan peralatan masak

Þ Dua jangkar sebagai patokan kapal

Þ Bendera, sebagai identitas kapal

Þ Tangga penyeberangan


HASIL TANGKAPAN DAN SISTEM PENGELOLAANNYA

Mayoritas penduduk Kecamatan Brondong menggeluti profesi keseharian sebagai nelayan. Pekerjaan ini yang menjadikan masyarakat di sekitar Pelabuhan Brondong, Lamongan untuk terus eksist bertahan hidup, meskipun pusaran ekonomi yang tidak menentu dan kadang-kadang tidak berpihak kepada mereka. Ini tampak dari berbagai keluhan masyarakat pesisir yang berhasil kami wawancarai. Contohnya, mereka terkesan tidak tahu menahu dengan kondisi perpolitikan di Indonesia (apolitis) tetapi lebih mementingkan aspek kesejahteraan ekonomi mereka sendiri—keluhan mendasar mereka terutama pada melambungnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM)[3].

Secara umum, aktivitas perekonomian masyarakat Brondong terpusat di pasar pelabuhan. "Jam-jam sibuk" penduduk berkisar antar jam 10.00-14.00 siang. Di pelabuhan tersebut terdapat PPI (Pusat Pelelengan Ikan); merupakan tempat berlabuhnya hasil tangkapan nelayan yang baru melaut. Di depan PPI terdapat pabrik pengeringan ikan yang hasilnya berupa ikan-ikan kering (asin) berbagai jenis seperti ikan teri nasi, ikan kapas, ikan selar. Hasil pengeringan ini merupakan produk "ekspor lokal'' yang dikirimkan ke sejumlah kota-kota besar di Jawa Timur, seperti: Malang, Jember, Surabaya dan juga luar Jawa Timur seperti Bali dan Jakarta.

Selain itu, jenis ikan hasil tangkapan nelayan Brondong antara lain: ikan jaket, ikan layang, ikan kakap merah, ikan bukur, udang, cumi-cumi dan lain-lain. Hal yang paling umum yang dilakukan nelayan disana adalah melakukan penyimpanan hasil tangkapan selama 4-5 hari, setelah itu baru di jual ke pengepul ataupun langsung ke PPI. Ikan tangkapan yang disimpan tersebut termasuk dalam ikan-ikan kualitas ekspor.




[1] Masyuri, Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama), hal 44.

[2] Masyuri, Menyisir Pantai Utara, ibid, hal 42.

[3] Wawanara dengan Rohim (28 tahun), salah seorang awak kapal Jaya Bakti di Pelabuhan Brondong, Lamongan tanggal 28 Juni 2008.