Kamis, 05 Februari 2009

PENGATURAN AIR DI KOTA TROWULAN PADA MASA MAJAPAHIT

PENGATURAN AIR DI KOTA TROWULAN PADA MASA MAJAPAHIT


Oleh:
Agung Ari Widodo
(305262479251)


Sejarah tanpa geografi melayang-layang di angkasa, dan sebaliknya geografi tanpa sejarah hanya merupakan mayat yang kaku saja.
(E.G. East)


Indonesia pernah mengalami jaman kejayaan. Kejayaan itu muncul pada jaman klasik atau disebut jaman kerajaan Hindu-Budha. Masuknya peradaban dari India membuat suatu perubahan di Indonesia. Lihat saja kemegahan Kerajaan Sriwijaya pada abad 8 kemudian dilanjutkan dengan kemegahan Wilwatikta atau lebih dikenal dengan nama Majapahit pada abad 14. Majapahit mengalami puncak kemegahannya pada masa Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) (1350-1389) dengan Maha Patihnya yang bernama Gajah Mada yang terkenal dengan amukti palapa -nya.
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Kertanegara. Ketika Kerajaan Singhasari diserang oleh pasukan Jayaktwang, Raden Wijaya, istri-istrinya, dan beberapa pejabat kerajaan berhasil melarikan diri. Mereka mengungsi ke Madura dan bertemu dengan Arya Wiraraja1. Melalui Arya Wiraraja ini Raden Wijaya diberi ijin tinggal di wilayah kekuasaan Jayaktwang (Kadiri) dan diberi tanah di hutan Terik. Hutan ini kemudian di ubah menjadi desa dengan dalih untuk pertahanan2. Desa ini kemudian diberi nama Majapahit3.
Diam-diam Raden Wijaya membangun kekuatan di desa Majapahit. Kemudian datanglah pasukan Kubilai Khan untuk membalas dendam atas perlakuan Kertanegara yang melukai utusan Kubulai Khan. Dengan tipu muslihatnya Raden Wijaya berhasil menghasut pasukan Kubilai Khan supaya menyerang Jayaktwang. Berhasil menaklukkan Jayakatwang, pasukan Kubilai Khan yang terlena dengan kemenangan dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya. Setelah itu kemudian berdirilah Kerajaan Majapahit dengan Raden Wijaya sebagai rajanya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana4.
Lokasi kota Majapahit diperkirakan berada di Trowulan, Mojokerto. Peninggalan-peninggalan arkeologis dari masa Majapahit banyak ditemukan di daerah ini. Trowulan banyak dikaji oleh para sejarawan dan arkeolog. Penelitian itu menghasilkan rekonstruksi tata kota Majapahit. Menurut Atmadi (1993) salah satu dasar yang rupanya digunakan dalam menentukan tata ruang dan letak bengunan di Majapahit dan di Jawa pada waktu itu adalah orientasi pada alam sekitarnya seperti gunung, dataran, dan laut5. Gunung disimbolkan sebagai tempat suci dan laut sebagai tempat kurang suci.
Bangunan air di kota Majapahit juga sudah tertata. Pengairan atau irigasi yang teratur sudah dikenal di Majapahit. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan tadah air, kanal-kanal, dan patirtan, seperti kolam Segaran, Candi Tikus, sisa-sisa waduk kuno, sisa-sisa tinggalan saluran-saluran air. Sayangnya tidak ada sumber data tertulis tentang kanal-kanal air ini. Tapi pembuatan kanal ini membuktikan bahwa arsitek-arsitek Majapahit sudah bisa mengatur alam. Ketika informasi tentang kanal-kanal di kota Majapahit sangat terbatas, maka latar belakang pembuatan kanal-kanal ini bisa dianalisis dengan menggunakan pendekatan geografi.
Peranan bangunan air ini sangat penting bagi kehidupan di kota Majapahit. Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, diperlukan pengairan yang teratur untuk mengairi sawah sehingga dibangun kanal air sebagai sistem pengairan. Begitu juga ketika pada musim kemarau panjang, maka dibangunlah tempat penampungan air yang nantinya disalurkan ke pemukiman penduduk. Penampungan air tersebut diperkirakan adalah kolam Segaran.
Selain sebagai kebutuhan agraris, bangunan-bangunan air ini juga mempunyai fungsi magis, yaitu sebagai tempat pemandian suci, misalnya di Candi Tikus. Bangunan air di kota Majapahit juga mempunyai peranan dalam mengatur air di Sungai Brantas agar tidak meluap.
Pembangunan saluran-saluran air ini tentu tidak asal-asalan. Ada pertimbangan alam kondisi alam. Untuk mengetahui latar belakang pembuatan bangunan air ini perlu diketahui terlebih dulu tentang kondisi alam pada masa Majapahit. Setelah mengetahui kondisi alam pada masa Majapahit, selanjutnya bagaimana kondisi alam tersebut mempengaruhi pembuatan bangunan air.


Keadaan Alam Kota Majapahit

Setelah mendapat ijin dari Jayaktwang, Raden Wijaya mendapat tanah di hutan Terik. Hutan ini kemudian di buka dijadikan sebuah perkampungan. Raden Wijaya mendapat bantuan dari orang-orang Madura (Wiraraja) dalam membangunan perkampungannya. Perkampungan baru itu dinamakan Majapahit6. Ketika kekuatan di Majapahit sudah terkumpul, Raden Wijaya dan pasukannya menyerang Jayaktwang. Setelah mengalahkan Jayaktwang maka berdirilah kerajaan Majapahit.
Lokasi pusat kerajaan Majapahit diperkirakan berada di dekat Trowulan yang letakknya ± 10 km di sebelah barat daya kota Mojokerto sekarang. Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya temuan-temuan berupa pondasi candi, gapura, reservoar air, umpak-umpak, pernik-pernik, dan patung-patung yang kini masih dapat dilihat di museum Trowulan.
Pusat kerajaan Majapahit berada pada ujung bawah suatu kipas aluvial pada ketinggian 30-40 m di atas permukaan laut. Di sebelah utaranya terhampar dataran banjir kali Brantas sedangkan disebelah Selatan dan Tenggaranya sejauh ± 25 km menjulang tinggi kompleks gunung Anjasmoro, Arjuna, dan Welirang dengan ketinggian antara 2000-3000 m7. Di sebelah utara deretan pegunungan tersebut terdapat gunung Penanggungan yang merupakan gunung yang penting bagi kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Dengan dikelilingi oleh pegunungan dan sungai bisa dipastikan bahwa Majapahit memiliki tanah yang subur. Lahan yang subur ini sangat baik untuk pertanian. Oleh karena itu sektor pertanian menjadi penyangga kehidupan perekonomian Majapahit8.
Kondisi geografis daerah kraton Majapahit dan sekitarnya pada masa lampau bisa dianalisis dengan membandingkan keadaan geografis pada masa sekarang. Tentu saja ada perbedaannya, tetapi perbedaan tersebut masih berada pada julat (range) yang dapat diterima. Perbedaan tersebut tentunya lebih banyak diakibatkan oleh aktivitas gunung api yang relatif terletak di sebelah selatannya (Gunung Api Anjasmoro, Kelud, dan Penanggungan)9.
Menurut Sutikno, daerah Trowulan dan sekitarnya dapat dibedakan menjadi beberapa satuan bentuk lahan, yaitu: dataran aluvial, dataran fluvio vulkanik, dan kipas fluvio vulkanik10.
Dataran aluvial terdapat di sebelah utara Trowulan ke arah Mojokerto. Dataran aluvial terbentuk oleh aktivitas aliran air. Aliran air yang berperan terhadap pembentukan dataran aluvial tersebut adalah Sungai Brantas yang sering menimbulkan banjir. Dataran aluvial tersebut meluas dari arah Jombang ke arah timur melalui Mojokerto hingga mencapai Sidoarjo. Dataran aluvial tersebut di cirikan oleh topografi datar dengan kemiringan lereng ± 2%, material penyusunnya yang utama adalah endapan dengan tekstur yang relatuf halus, pasir, geluh, dan lempung. Masalah yang dihadapi lingkungan macam ini adalah banjir. Oleh karena materi penyusun utamanya adalah material lepas dengan tekstur pasir dengan gradien sungai pada lokasi tersebut rendah, maka alur sungai sering mengalami karena erosi lateral dan air banjir. Sebagai akibat pergeseran Sungai Brantas tersebut di masa lalu. Di beberapa tempat terdapat daerah rendah yang merupakan bekas rawa belakang (backswamp). Daerah dataran aluvial pada umumnya subur, sehingga menjadi pemusatan penduduk, meskipun ada hambatan karena sering terkena banjir. Selain tanahnya subur, topografinya datar sehingga aksesebilitasnya mudah.
Dataran fluvio vulkanik terdapat di sebelah barat Trowulan, meluas ke arah selatan dari Mojoagung. Dataran tersebut dicirikan oleh topografi yang landai serta dilalui oleh sungai-sungai yang berpola radial, misalnya Sungai Jarak dan Sungai Gunting yang berasal dari lereng barat Gunung Argowayang dan Blokoburuh. Material penyusun dataran fluvio vulkanik adalah material yang berasal dari kompleks Gunung Api Arjuna dan Kelud. Karena materialnya berasal dari material gunung api, terletak pada topografi yang datar, serta persediaan air yang cukup banyak, maka daerah di sebelah barat Trowulan sampai selatan Mojoagung merupakan daerah yang subur. Kemungkinan daerah tersebut merupakan daerah hutan yang pada awal kerajaan Majapahit dibuka seperti hutan Terik. Setelah daerah dibuka kemudian menjadi lahan pertanian yang subur, bahkan mungkin menjadi lumbung padi. Banjir lahar dimungkinkan terjadi karena sungai yang mengalir banyak terpengaruh oleh aktivitas Gunung Kelud. Sedangkan banjir yang diperkirakan terjadi pada dataran fluvio vulkanik ini didasarkan pada pola sungai yang berkelok-kelok (meander) dengan belokan-belokan yang tajam.
Dataran kipas fluvio vulkanik meluas dari daerah Trowulan ke arah tenggara11. Pembentukan kipas fluvial vulkanik diakibatkan oleh aliran sungai yang berasal dari Gunung Api Anjasmoro dan Welirang yang mengalir ke arah barat melalui daerah dengan perubahan topografi yang tegas. Semula sungai-sungai tersebut mengalir di daerah yang relatif berlereng terjal kemudian mengalir pada daerah yang relatif datar seperti yang terjadi di hulu Sungai Brangkal di sebelah tenggara Trowulan. Trowulan yang merupakan lokasi Kraton Majapahit didirikan terletak pada bagian bawah kipas fluvio vulkanik tersebut.
Dari keadaan geomorfologis di atas dapat di interpretasikan bahwa kehancuran kerajaan Majapahit bisa disebabkan karena faktor alam. Penelitian dari Institut Teknologi Bandung tahun 1980 menghasilkan suatu teori bahwa kehancuran kerajaan Majapahit disebabkan oleh ledakan gunung berapi yang disertai dengan banjir besar12.
Bagaimana dengan iklim di Majapahit? Iklim di Majapahit bisa diintepretasikan mirip dengan keadaan sekarang. Berdasarkan kualifikasi iklim, menurut Koppen daerah sekitar Trowulan beriklim hujan tropika (tipe A). Syarat tipe iklim A adalah sebagai berikut :
1.temperatur udara bulan terdingin >18°,
2.curah hujan rata-rata tahunan adalah :
a.lebih besar 20 t, apabila kebanyakan hujan jatuh pada musim dingin,
b.lebih besar 20 (t + 7), apabila hujan jatuh sepanjang tahun,
c.lebih besar 20 (t + 14), apabila hujan jatuh kebanyakan pada musim panas; dalam hal ini t adalah temperatur rata-rata tahunan13
Tipe iklim A menurut Koppen tersebut dapat di bedakan menjadi :
a.Af: apabila jumlah hujan rata-rata bulan terkering >60 mm,
b.Am: apabila jumlah hujan bulan basah dapat mengimbangi kekeringan hujan pada bulan kering,
c.Aw: apabila jumlah hujan bulan basah tidak dapat mengimbangi kekeringan hujan pada bulan kering14.
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim di atas maka daerah Trowulan dan sekitarnya termasuk tipe Aw. Daerah yang bertipe iklim Aw mempunyai musim kemarau yang panjang. Oleh karena itu bisa diperkirakan bahwa temuan arkeologis yang berkaitan dengan air berhubungan dengam iklim di Trowulan. Di Trowulan terdapat tinggalan tinggalan kepurbakalaan yang berkaitan dengan air yaitu 6 buah waduk, 3 kolam buatan, dan sejumlah saluran air15. Tiga kolam buatan tersebut adalah Segaran, Balong Dowo, dan Balong Bunder. Penelitian terbaru menyebutkan jumlah waduk di daerah Trowulan sekitar 20 buah yang tersebar di dataran sebelah utara Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Kraton, Temon, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Brangkal di sebelah timur dan Kali Gunting di sebelah barat. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan16.
Tipe iklim di daerah hulu-hulu sungai yang mengalir melalui daerah Trowulan, yaitu yang terdapat di sebelah selatannya, memiliki tipe iklim Cw (lihat pada gambar 3). Ciri-ciri iklim C adalah temperatur rata-rata bulan terdingin lebih besar dari -3°, tetapi lebih kecil dari 18°, dan rata-rata temperatur bulan terpanas lebih besar dari 10°. Tipe iklim Cw mempunyai musim kering dalam musim dingin tengah tahun, yang pada bulan tersebut hujan paling terkecil sepersepuluh dari hujan bulan panas terbasah. Tipe iklim di sebelah selatan daerah Trowulan yang merupakan pegunungan tersebut mempunyai curah hujan relatif lebih tinggi. Hal ini bahwa daerah pegunungan tersebut memberi imbuhan air yang banyak ke daerah bawah. Oleh karena daearh pegunungan di sebelah selatan tersebut pada umumnya berlereng curam, maka air hujan banyak menjadi aliran permukaan. Oleh sebab itu apabila tidak ada tandon air di bawah kemungkinan air kurang mencukupi sepanjang tahun17.


Bangunan Air Masa Majapahit

Melihat keadaan alam pada masa Majapahit dan masalah kekeringan air maka bisa diinterpretasikan bahwa pembangunan kolam-kolam dan waduk-waduk buatan bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan air. Penduduk Majapahit sangat membutuhkan air karena Majapahit merupakan kerajaan agraris. Pertanian merupakan penopang ekonomi kerajaan. Oleh karena itu jika tidak ada air bisa dimungkinkan tidak ada kehidupan.
Bicara tentang bangunan air di Majapahit tidak terlepas dari Sungai Brantas. Sungai inilah yang menjadi ”senjata andalan” Raden Wijaya dalam membangun kerajaan Majapahit18. Raden Wijaya ketika mengungsi ke Madura tentunya keluar masuk desa-desa yang sekitarnya masih penuh dengan rawa-rawa. Kemudian setelah wilayah tersebut dihadiahkan oleh raja Jayaktwang kepadanya lalu dikeringkan. Untuk pekerjaan raksasa itu Raden Wijaya mendatangkan tenaga dari Tumapel dan Madura19. Dengan adanya Sungai Brantas ini kerajaan Majapahit bisa berhubungan dengan dunia luar, terutama dengan pelabuhannya yang terkenal yaitu Hujung galuh (Surabaya)20. Selain Sungai Brantas, Gunung Penanggungan juga mempunyai peran penting. Air yang mengalir dari gunung ini juga memberi kehidupan pada penduduk Majapahit. Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, Gunung Penanggungan juga di anggap gunung suci. Oleh karena itulah banyak peninggalan-peninggalan arkeologis yang tersebar di Gunung Penanggungan.
Pembangunan bangunan-bangunan air masa Majapahit mengikuti kondisi geografis wilayah Majapahit. Di sekitar-sekitar sungai dan pegunungan di bangun kanal-bangunan air air yang saling berhubungan. Untuk mengatasi masalah kekeringan dibangunlah kolam buatan, sumur buatan, dan waduk buatan.
Pada tahun 1973 pemotretan dilakukan di Trowulan dengan memakai alat multispektral foto dan fales colour infra red. Pemotretan ini berhasil menangkap jaringan air. Lebar jaringan air antara 20-30 m dengan kedalaman sekitar 4 m21. Kemudian dilakukan penelitian lebih lanjut dan menghasilkan interpretasi bahwa ibukota Majapahit dikelilingi oleh jaringan jalur air yang lebar dan dalam serta mempunyai jalan keluar ke arah barat menuju ke Sungai Brantas22. Interpretasi udara yang pankhromatik, ditemukan pula jalur-jalur lurus yang saling tegak di antara reruntuhan bangunan Segaran, Sumur Upas, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Wringin Lawang, dsb. Kemudian dengan teknik geolistrik menjadi lebih jelas. Jalur-jalur lurus yang semula diduga jaringan jalan raya berupa pengerasan tanah ternyata salah. Isinya justru lumpur basah. Adapun bangunan di sekitarnya sekarang berupa sisa-sisa bata yang digali oleh penduduk untuk bahan bangunan baru23.
Solusi masalah kekeringan di Majapahit adalah dengan pembangunan waduk buatan, sumur buatan, dan kolam buatan. Waduk Baureo adalah waduk yang terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai. Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno, Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno, Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu, dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir24.
Di daerah-daerah dekat sungai yang meluap di musim hujan dan surut di musim kemarau, penduduk biasa membuat suatu tempat penampungan air yang dinamakan belik untuk persedian di musim kemarau. Belik adalah suatu galian di tepi sungai yang lebarnya kurang dari setengah meter dan dalamnya tidak melebihi satu meter25.
Di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder dan Balong Dowo. Kolam Segaran26 memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.27
Bangunan-bangunan air yang berupa waduk, sumur, dan kolam tersebut dihubungkan oleh kanal-kanal air. Foto udara yang dibuat pada tahun 1970an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini28.
Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam empat meter dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul. Kanal-kanal itu ada yang ujungnya berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting, dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekedar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil29.
Kanal, waduk dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit30. Di wilayah Trowulan gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan ukurannya cukup besar, memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno.
Epilog

Keterangan tentang keadaan alam dan bangunan-bangunan air memang tidak ada dalam sumber tertulis (prasasti dan kitab). Hal ini bisa dibantu dengan menggunakan analisis Geografi. Dengan analisis secara geografis bisa mengetahui tentang kondisi alam pada masa lampau.
Analisa geografis menyebutkan bahwa kondisi alam Majapahit bisa di interpretsikan dengan keadaan yang sekarang. Trowulan sebagai kota Majapahit terletak di dataran aluvial. Oleh karena itulah tanah di wilayah ini sangat subur dan baik untuk pertanian. Hal ini di dukung juga oleh aliran-aliran air yang mengalir dari pegunungan di selatan Majapahit yaitu Anjasmoro, Arjuno, Welirang dan Penanggungan.
Pembangunan bangunan-bangunan air pada masa Majapahit juga di pengaruhi oleh iklim. Daerah Trowulan memiliki iklim Aw yang mempunyai musim kemarau yang panjang. Untuk mengatasi masalah kekeringan maka di buatlah waduk, sumur, dan kolam buatan. Di antara bangunan-bangunan ini terdapat kanal-kanal (saluran-saluran) yang saling berhubungan.
Pemerintah kerajaan membuat waduk-waduk, kolam-kolam, dan saluran air untuk persediaan di musim kemarau dari sungai-sungai besar yang letaknya beberapa km dari Trowulan, untuk kepentingan masyarakat dan perekonomian negara31.Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dana teknologi yang mereka miliki yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni32.
DAFTAR RUJUKAN

Sumber Buku :

Atmadi, Parmono. 1993. Bunga rampai Arsitektur Dan Pola Kota Keraton Majapahit, dalam Sartono Kartodirjo, dkk (editor), 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Daldjoeni, N. 1982. Geografi Kesejarahan II. Bandung: Alumni.

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: Lkis.

Bambang Sumadio, Sejarah Nasiona Indonesia Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal 423.

Subroto, Ph. 1993. Sektor Pertanian Sebagai Penyangga Kehidupan Perekonomian Majapahit, dalam Sartono Kartodirjo dkk (editor), 700 tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Sukardjo, Agung. Beberapa Catatan Tentang Temuan Sumur Kuna di Trowulan, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III Ciloto 23-28 Mei 1983.

Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit, dalam Sartono Kartodirjo, dkk (editor), 700 tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Pinardi, Slamet & Mambo, Winston S. D. Perdagangan Masa Majapahit, dalam 700 tahun Majapahit Suatu Bunga rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Timur.

Sumber Internet :

Arifin, Karina. 2008. Bangunan Air Dari Masa Majapahit, www.majapahit-kingdom.com, diakses pada 7 Oktober 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar