Minggu, 29 Juni 2008

Brondong OK punya

Liburan panjang... Enaknya ngapain??? Dengan kontemplasi tinggi tapa brata di tengah gunung Kawi, akhirnya aku dapat pencerahan, halah kayak apa aje!! Tapi emang dari pada nganggur, aku ikut SP (Semester Pendek) aja di kampus. Itung2 cari ilmu.
Kata teman-teman c kita angkatan 2005 yang ikut SP kayak anak kecil aja, tapi biarin wong juga kita cari ilmu, bener gk kawan!!!??
Baru masuk SP aja sudah ada tugas2 banyak. Mungkin resiko kale ya, gpp deh yang penting semangat gitu. Tugas ini adalah dari mata kuliah Sejarah Maritim, dosennya namanya P. Mashuri (sudah Pak, ada Mas nya lagi). Sebenarnya bukan tugas, tapi rekreasi sambil meneliti. Ya sama AJA. Bagiku ini merupakan keasyikan, sambil menyelam buang air dan buang gas....
Tempat meneliti kita disepakati di pantai Brondong, Paciran, Lamongan. Bayanganku, wah ini tempat asyik, jadi setelah meneliti nantinya aku mau "kecek" di air. Sudah lama aku tidak melihat laut. Kita sepakat berangkat jam 5 pagi pada 28 Juni 2008 berkumpul di depan LPM, tempat biasa orang kumpul-kumpul (bukan kumpul sapi, kambing atau kebo). Oh ya kelompokku ada 8 orang, yaitu aku, Ubed, Hunter, si pendiam tapi menyakitkan Hendri, duo Luk (Luk2 dan Lu2k), Gilang, dan Lusi. Yang nyopir kakanya Lusi, Mas Lukas.
di kamar kos aku sudah membayangkan pantai, laut, banyak ikan, pokoke indah deh. terlarut dalam bayang-bayang aku tertidur...........
Nyenyak sekali tidurku, la kok kebablasan.... Jam 5 aku baru bangun. Wah kalau tidak di mised call ama Lu2k aku gk bakal bangun ini. Wah langsung aja bangun gk perlu mandi, cuci muka, wudhu, Subuhan, langsung tancap gas ke Asramanya Hunter. EE la kok Hunter juga baru bangun, malah lama di kamar mandi, lagi boker sapi kalee lama banget...
Si Lu2k Mursidah, ibu negara, marah-marah pas nelpon aku. Suruh cepat katanya atau aku&Hunter dideportasi.
Ketika udah siap aku&raja boker (Hunter) dah menuju ke LPM ternyata kita dijemput. Enak neh, wis gk usah pakai lama... Eh ternyata Lu2k, Gilang, dan Hendri dah di LPM sejak jam 4 pagi,pas itu aku lagi mimpi indah berjalan di tepi pantai.
Nah apalagi ni si Ubed, dah rupanya kayak rambut semua, ehh di jemput malah narik selimut lagi. Langsung aja Hunter menendang "anunya" berteriak-teriaklah dia seperti singa...
Ubed: " Waduuuuhhhh nde remaahhhh!!!!"
Hunter:" Hei, ikut ke Lamongan gk??!!! Ayo cepet!!!"
dengan logat Madura Ubed langsung ke kamar mandi. Wuah ternyata gk hanya aku thok yang malas mandi....
selesai, siap, lengkap semua, ayo berangkat ke pantai........
Sepanjang perjalanan ngantuk semua.... tapi semua terbangun tatkala Ubed dengan logat Maduranya teriak-teriak nerima telpon...
Ubed:"WOi, nde remah, sengkok bedhehehehe dakdeinfdisiefndllzlds""""
Hunter: "Bed jangan ngomong jorok donk!!!!!!"
wah kata-katanya penuh reduplikasi," sengkok di bil-mobil, mau ke Lamongan, ntr aja mu-ketemu di pus kampus, ato di mah-rumahku. be'en dan kan-makan??Sengkok tak len-jelen lu dulu ya"... KAlau bicara kayak orang keselek cicak dan tokek......
Daerah Paciran ini memang pesisir, dari jalan saja sudah terlihat laut. Ternyata macet juga di Paciran, apalagi kalau lewat pasar..
Akhirnya pantai yang ditunggu-tunggu sampai juga. Wah laut....
Tapi la kok baunya amis banget, kayak bau ikan???? Wah ternyata ini Tempat Pelelangan ikan, pantas saja!!!!
Di sana kita disangka wartawan, la iya pada bawa tas, buku, dan kamera. Trus ada anak kecil yang minta di suting dan difoto...
Aku dan teman-teman jalan-jalan di TPI ini.... Banyak ikan, perahu...Aku mencari pantai yang biasanya kok gak ada, yang ada hanya pelabuhan dan tempat tambat perahu/kapal yang mau ngelelang ikan...
Oke lah gpp yang penting tujua kita disini adalah meneliti. tidak ada 1 langkah berjalan aku tercebur kolam limbah ikan.... Waduh amis banget kena celana lagi. Wah jadi ikan asin deh aku.... MAna temen2 cuma ketawa lagi, ditambah ada anak kecil yang tadi "hahahahaha.... wartawan kok kecemplung, ati2 mas di luar banyak kucing!!!"" Edan apa emangnya aku pindang!!!!!
Wauauauah pokoknya pantai Brondong, Lamongan OK punya>>>>>!!!!!!

Rabu, 25 Juni 2008

Tragedi Gurami Bakar

TRAGEDI GURAMI BAKAR

Sabtu pagi 21 Juni 2008 biasa aku bangun agak siang, la gumana gkm ada kuliah kok, nganggur, ya udah ngebo aja. Maklum lah semalam aku dan kawan-kawan lagi lihat Euro (padahal aku ketiduran pas nonton). Sambil nguap-nguap aku menuju ke kamar mandi, langsung deh aku mandi. Mataku mulai melek lebar-lebar ketika air mulai menyentuh badanku. Busyet hawa Malang semakin dingin saja.

Pagi ini rencananya teman-teman sekosan mau ngajak rekreasi dan tour ke Selecta. Ya walaupun tidak semua teman kosan ikut. Kita berangkat hanya anak enam, aku sendiri dengan pacar tersayangku, Syam dengan pacarnya juga, dan pasangan serasi terbaru tahun ini Yanwar (Si Coklat) dan Gesang (Si Stroberry). Gk tau Yanwar dan Gesang ini kok jadi mesra banget akhir-akhir ini. Setiap hari berdua terus, bahkan kalau bobok pun berdua… jadi iri aku melihatnya.

Oke kembali ke topic, ini merupakan liburan yang sangat mesra, menyenangkan, dan sekaligus menyeramkan… Gk salah juga aku ikut rombongan ini. Selain belum tahu Selecta (sebenarnya pernah sekali ketika aku bau kencur), cari kesibukan dan kita gk pernah main-main bersama.

Perjalanan lancar-lancar saja, peristiwa besar terjadi tatkala aku melintasi garis batas pembelian karcis. Aku dengan sengaja melewati garis batas itu dengan tidak membayar karcis. La gimana di depanku ada cewek berkendaraan Mio melaju kencang dengan amannya dan lancarnya tanpa membayar. Ya gw langsung tancap gas aja. Eee malah dua motor dibelakangku (Syam dan Pasangan Mesra) ikut-ikutan nyelonong. Dan akhirnya hujatan kata-kata Jawa Timuran yang paling halus keluar dari mulut Satpam yang jaga pos karcis

Karcisman: Daaa#####k heiii bayar!!!!

La sampai di depan pos yang kedua kita dicegat oleh Satpam lagi. Dia menanyakan karcis pada kita. La kita kagak punya donkkk. Akhirnya dengan wajah tanpa dosa kita meminta maaf dan membeli karcis di pos kedua itu…

Akhirnya bisa masuk juga. Kita jalan-jalan masuk ke dalam lihat-lihat bukit-bukit indah nan permai. Bagus banget deh pokoke. Syam dan pacarnya (sebut saja Tissa) sedang main india-indiaan di taman bunga. Wah mesra banget kayak Kuch-kuch hotahe aja…….

Bagaiamana dengan pasangan termesra kita??? Yanwar dan Gesang ternyata melintas ke perbukitan mencari tempat untuk berdua saja…….. sekilas informasi kawan, ternyata banyak tempat sepi dan romantis di Selecta. Silahkan kalau mau kesana dengan membawa pacarnya, baik yang sejenis maupun yang berlainan. hari semakin siang membuat kami lapar, akhirnya sepakat kami turun gunung seperti murid shaolin yang selesai belajar kung fu, mencari tempat makan yang enak. Tadi pas diperjalanan pacarku lihat sebuah warung yang kelihatannya enak dan dia mendapat rekomendasi dari teman-temannya kalau tempat ini enak. Tempat ini adalah Warung Bambu.

Sebenarnya Gesang sudah merasa tidak enak ketika kita merapat kesebuah tempat parkir yang hanya dipenuhi oleh mobil-mobil mewah. Motor kami diparkirkan ditempat yang nyempil dan sempit karena saking banyak mobil. Aku juga punya pikiran yang sama seperti Gesang, soalnya aku tidak membawa uang, tadi saja karcis dan lain sebagainya termasuk bensin dibayar dulu oleh pacarku (pacarku ini memang baik deh orangnya).

Masuk ke dalam semakin asyik, padahal kita nanti tidak tahu kalau ada sebuah tragedi. Warung bambu ini sangat asyik, bagus, dan ueeenaak tempatnya. Tempatnya sejuk karena bangunannya terbuat dari bambu dan dibawahnya ada kolam ikan koi. Ikannya banyak sekali. Setelah dapat tempat duduk mulai kita merundingkan harga. Kawan, ternyata harganya tidak pas dengan kantong kita. Apalagi kita sebagai anak kos, tentu daftar harga itu wuiiih lumayan mencekik leher.. Semua di atas 5000 rupiah, padahal dengan uang segitu aku udah makan nasi+lauk yang banyak dan dapat minum lagi.. La ini??? Tapi dengan cerdik pacarku mengusulkan trik, yaitu membeli satu porsi gurami baker dan 5 nasi putih dalam wakul, yang lain mesan es jeruk, soda, jahe, aku, Gesang dan Syam minum air putih saja.

Laammaa sekali pesanan kita datang. Aku sudah membayangkan sebuah gurami dengan ukuran besar terus di bagi enam orang. Melihat ikan-ikan yang banyak di kolam aku membayangkan kalau mereka di masak atau dibakar, pasti uenaak. Dan inilah yang ditunggu-tunggu, pesanan kita datang. Tak seperti kubayangkan ternayta ikannya tidak begitu besar dan panjang. Panjangnya sekitar 40 cm dan lebarnya 20 cm. Dan ini harus dibagi anak enam. Nasinya pun juga ya boleh dibilang sedikitlah. Wong biasanya aku dan teman-teman kosan kalau beli nasi, nasinya sangat banyak. Kita anak kos lebih mementingkan kuantitas daripada kuantitas.

Dengan terpaksa dan penuh penghayatan kami makan seadanya, dan ikan gurami yang tergeletak dengan luka bakar yang terlihat lezat habis dengan cepat dimakan oleh 6 manusia yang kelaparan. Semuanya kena bagiab tubuh yang banyak dagingnya kecuali Syam.

Syam: “Wis aku bagian kepalanya saja kan banyak dagingnya”

Analisis Syam ternyata salah, di bagian kepala gurami itu tidakada daging sama sekali, yang ada hanya tulang-tulang ikan. Dengan menyedihkan Syam mencungkil daging yang masih tersisa sedikit di kepala dan tulang-tulang (duri) gurami..

Kamu tau kawan kita habis Rp. 80.000,- Cuma makan segitu. Untung saja Syam bawa banyak uang, soalnya dia baru pulang ke rumah. Sudah dapt durinya thok, e disuruh bayarin, nasibmu Syam….

Tapi setidaknya ini merupakan pengalaman yang sangat menarik dan sekaligus menyeramkan. Hampir kita pulang dengan tidak membawa uang sepeserpun.

Sampai rumah kos, Syam berteriak teriak

Syam: “HAAI KEMBALIKAN UANGGGKUUU, GANTII RUGIII!!!!:”

Rabu, 18 Juni 2008

closed gaul

CLOSED GAUL

Surabaya I’m coming again. Kemarin sore aku tiba di Kota Panas Jatim Surabaya. Dari Malang yang duingin aku mencari “kehangatan” di Surabaya. Tidak seperti biasanya jalannya lancar-lancar aja. Tidak begitu ramai, karena memang aku berangkatnya sore. Tapi sampai di Surabaya tetap ramai sih. Tetap semangat aja, karena aku membawa “supporter” yang selalu memberiku semangat. Siapa lagi kalau bukan pacarku yang manis ;-).

Seperti biasanya Surabaya memang padat. Sore hari banyak orang pada pulang kerja. Sampai Surabaya aku cuapek banget dan terakumlasi dari cara menyetirku yang agak kalem dan pelan.

Rencanaku di Surabaya sih happy fun aja. Jalan-jalan ya ke Pantai Kenjeran lah atau apa. Jalan-jalan ke Maal (maklum orang desa). Tapi yang terjadi malah diluar dugaan. Ternyata Pakde ku yang di Surabaya opname. Jadi tidak bisa jalan-jalan. Aku dan pacarku hanya jalan-jalan di Royal saja. itupun butuh perjuangan hati dan energi, sebelumnya harus bertengkar dulu dengan sang kekasih, biasalah terjadi konflik seperti teori konfliknya Marx berbeda pendapat (kayaknya gak nyanbung).

Ada satu masalah yang sering dihadapi manusia, buang air besar. Masalah kedua adala kebiasaan untuk melakukannya. Ada orang yang biasa melakukan buang air besa ato disingkat B-OL, dilakukan di sungai, di tanah, di closed atau dijalanan (sembarang tempat). Permasalahan juga kebiasaan melakukan posisi yang enak untuk melakukan pembuangan limbah alami. Bisa dengan Jongkok atau dengan duduk.

Nah ini permasalahan ane, ane kagak bisa kalao buang hajat dengan duduk. Apalagi closed saudaraku berbentuk duduk. Waduh berabe neh, padahal perut mules banget. Ya sudah akhirnya dengan sangat terpaksa, closed duduk itu aku tumpangi dengan posisi jongkok. aaahhh yessss keluar semua isi perut berwarna kuning keclokatan. Lega bangeeet. Agaknya closet duduk bisa buat jongkok lho. Silakan aja kalau mau coba!!!!!!!

Selasa, 03 Juni 2008

Mencari Jejak Kerajaan Kanjuruhan

PENDAHULUAN

Malang, kota berhawa dingin di Propinsi Jawa timur bagian Selatan ini memang menyimpan sejuta pesona. Wilayah Malang ini dikelilingi oleh pegunungan. Oleh sebab itu Malang dikenal dengan sebutan Dataran Tinggi Malang[1]. Jika dilihat dari udara, kawasan Malang ini terlihat seperti mangkok seperti dalam film Ice Age II.

Dalam panggung sejarah Indonesia, Malang juga mempunyai nama dan peran penting. Dari jaman prasejarah kawasan Malang juga pernah dihuni oleh manusia purba. Buktinya adalah ditemukannya situs gua Pagak di daerah Pagak, Kecamatan Pagak[2]. Gua tersebut dapat dikategorikan sebagai goa paying dan di bagian sisi timurnya terdapat sumber mata air yang berupa sungai. Dalam situs gua ini ditemukan alat-alat dari tradisi mesolitik di mulut gua berupa serpihan-serpihan batuan gamping kersikan. Alat serpih yang berhasil dikumpulkan terdiri atas serpih besar dan serpih kecil. Alat-alat serpih tersebut berupa serpih bilah, serut, serut ujung dan coper dan semua dipersiapkan dari batu kersikan[3].

Pada jaman Sejarah, terutama masa Hindhu Budha, juga pernah melintasi Malang. Kalau periode ini memang sangat terkenal di kawasan Malang. Malang pernah menjadi awal kebangkitan kerajaan-kerajaan klasik seperti Kerajaan Mataram Pu Sindok, Kerajaan Kanjuruhan, Kerajaan Kadiri, Kerajaan Singhasari, dan tentu saja Kerajaan Majapahit. Bukti yang ditinggalan pada masa kerajaan ini adalah berupa situs bangunan candi, patirtan, dan prasasti juga banyak reruntuhan-reruntuhan bangunan.

Pada jaman Revolusi tentu saja kawasan Malang menjadi ajang perang gerilya bagi laskar-laskar dan pejuang republik. Hal ini bisa dimengerti karena memang kawasan Malang di kelilingi oleh pegunungan dan hutan yang lebat. Suatu kawasan yang memang sangat potensial untuk dijadikan markas dan senjata alam dalam melawan Agresi Militer Belanda.

Tulisan ini panulis batasi periodenya yaitu pada masa jaman Hindu Budha (sekitar abad 7 Masehi). Kajian yang penulis angkat adalah Kerajaan Kanjuruhan. Mengapa penulis tertarik pada kerajaan ini? Alasannya adalah Kerajaan Kanjuruhan mempunyai periode yang relative singkat. Dalam panggung Sejarah Indonesia nama Kerajaan Kanjuruhan sempat tercuat sebagai salah satu kerajaan Hindu tertua di Jawa yaitu pada tahun 760 M[4]. Tapi kerajaan ini kemudian hilang begitu saja dalam kancah Sejarah Indonesia. Ini yang menjadi misteri. Nama kerajaan ini sekarang menjadi nama Universitas yaitu Universitas Kanjuruhan.

Meskipun Kerajaan Kanjuruhan mempunyai waktu pendek, ternyata ada peninggalan benda-benda arkeologisnya. Jika dilihat, diraba, dan diterawang benda-benda tersebut memiliki umur yang sama (boleh dibilang relatif sama) dengan periode Kerajaan Kanjuruhan. Penulis mencoba mencari trace dari peninggalana Kerajaan Kanjuruhan

Sejarah Kerajaan Kanjuruhan

Informasi adanya suatu kerajaan di Malang yang bernama Kanjuruhan diperoleh dari Prasasti Dinoyo. Prasasti ini memuat penanggalan dalam candara sengkala yang berbunyi: nayana-vayu-rase yang bernilai 682 Caka atau 760 Masehi[5]. Prasasti ini ditemukan terpisah, bagian atas ditemukan di daerah Dinoyo dan bagian bawah di daerah Merjosari. Prasasti ini ditemukan oleh Laydie Melville pada tahun 1904. Kemudian berhasil diterjemahkan oleh Poerbatjaraka pada tahun 1976.

Boleh jadi penamaannya sebagai “Prasasti Dinoyo” itu adalah salah kaprah, yang disebabkan karena yang pertama kali diketemukan adalah sebagian dari tiga pecahan prasasti ini di daerah Dinoyo. Padahal dua pecahan lainnya ditemukan di Merjosari. Kedua, jika benar pendapat Casparis (1946) bahwa prasasti ini asalnya dari Desa Kejuron – perubahan dari toponimi “Kanjuruhan”, maka semestinya dinamai “Prasasti Kejuron” atau “Prasasti Kanjuruhan”. Ketiga, prasasti ini dikeluarkan oleh raja dari kerajaan Kanjuruhan[6].

Adapun transkrip dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Selama tahun caka berjalan 682

Ada seorang raja bijasana dan sangat sakti, sang Dewasimha namanya. Ia menjaga keratonnya yang berkilau-kilauan disucikan api Putikecwara (yakni sang Ciwa).

Anakda yalah seorang liswa namanya, yang juga terkenal dengan nama Sang Gajayana, setelah ramanda pulang kembali ke swarga, maka sang Liswa-lah yang menjaga keratonnya yang besar, bernama Kanjuruhan.

Sang Liswa melahirkan seorang putrid yang oleh ramanda sang raja diberi nama sang Uttejana, seorang putrid kerajaan yang hendak meneruskan kulawarga ramanda yang bijaksana itu.

Sang raja Gajayana, yang memberi ketentraman kepada sekalian para Brahmana dan dicintai oleh rakyatnya, yalah bakti kepada yang mulia sang Agastya. Dengan sekalian pembesar negeri dan penduduknya ia membuat tempat (candi) sangat bagus bagi sang maharesi (Agastya) untuk membinasakan penyakit yang menghilangkan kekuatan (semangat).

Setelah ia melihat arca Agastya yang dibuat dari kayu cendana oleh nenek moyangda, maka raja murah hati dan pencipta kemasyuran ini memerintah kepada pelukis yang pandai untuk membuat (arca Agastya) dari batu hitam yang elok, supaya ia selalu dapat melihatnya.

Atas perintah sang raja yang sangat teguh budinya ini, maka (arca) sang Agastya yang juga bernama Kubhayoni didirikan (dengan upacara dan selamatan besar) oleh para ahli regweda, para ahli weda lain-lainnya, para brahmana besar, para pandita yang terkemulia dan para penduduk negeri yang ahli kepandaian lain-lainnya, pada tahun 682 Caka, bulan Margacirsa, hari Jumat tanggal 1 paro petang?

Dihadiahkan pula oleh sang raja sebagian tanah dengan sapi yang gemuk-gemuk serta sejumlah kerbau, dengan beberapa orang budak lelaki dan perempuan dan segala keperluan hidup para pandita yang terkemuka, seperti sabun pemandian, bahan untuk selamatan dan sajen-sajen; juga sebuah rumah besar yang sangat penuh (perabotan) untuk penginapan para brahmana tetamu dengan disediakan pakaian, tempat tidur, pada jawawut dan lain-lain.

Manakala ada kulawarga (kerajaan) atau anak-raja dan sekalian para pembesar negeri bermaksud melanggar atau berbuat jahat, berdosa tidak mengindahkan (peraturan) hadiah sang raja ini, moga-moga mereka jatuh ke dalam neraka; janganlah mereka mendapat nasib yang mulia, baik dalam akhirat maupun dunia.

(Sebaliknya) mana kala kulawarga sang raja, yang girang akan terkembangnya hadiah itu, mengindahkannya dengan pikiran yang suci, melakukan penghormatan kepada brahmana dan berbuat ibadah, maka karena berkat selamatan kebaikan dan kemurahan itu haraplah mereka menjaga kerajaan yang tak bandingkan ini seperti sang raja menjaganya[7].

Informasi dari prasasti di atas menyebutkan nama Kerajaan Kanjuruhan dengan rajanya bernama Dewasimha yang mempunyai putra yang nantinya menggamntikan dirinya menjadi raja bernama Liswa bergelar Gajayana. Kemudian Gajayana mempunyai putri bernama Uttejana.

Selain silsilah keluarga raja di atas, prasasti Dinoyo juga memberikan informasi tentang pembangunan bangunan suci yang diperuntukkan kepada Resi Agstya. Inilah keunikan dari Kerajaan Kanjuruhan. Tidak seperti kerajaan Hindhu lainnya di Indonesia yang pada umumnya membuat bangunan suci (candi) untuk dewa Siwa, Wisnu, ataupun Brahma. Berdasarkan prasasti Dinoyo raja Gajayana menyembah Agastya dan menghormati Agstya sehingga mengubah arca Agastya dari kayu cendana menjadi batu hitam yang mengkilat. Kemudian Gajayana memerintahakan untuk membangun sebuah bangunan suci untuk Resi Agastya.

Menurut Poerbatjaraka dalam disertasinya (1926)[8], di India, Asia Tenggara ataupun di Nusantara, Agastya diposisikan secara istimewa. Oleh karena, secara mitologis Agastya digambarkan sebagai “culture hero” yang berperan dalam mengembangkan Siwaisme dari India barat laut ke selatan, yang untuk itu Agastya harus meminum air samodra hingga habis. Mitos tentang perluasan Hinduisme ke arah selatan dengan menyeberangi laut ini, menurut Poerbatjaraka dapat dijadikan petunjuk mengenai perluasan lebih lanjut agama Hindu (Brahmanisme) ke Nusantara. Dalam hal ini, Agastya telah menemukan jalan laut ke Nusantara. Sesungguhnya Agastya adalah salah seorang resi yang menjadi murid (sisya) dari Siwa. Diantara para murid Siwa, bahkan di antara tujuh resi utama (saptarsi) murid Siwa, Agastya adalah yang paling utama. Oleh karena keutamaannya ini, maka maharsi Agastya sering dikonsepsikan “wakil” Siwa di dunia. Bahkan, Agastya diidentikkan dengan Siwa, utamanya Siwa sebagai Mahaguru.

Bangunan suci atau candi untuk Agastya ini belum diketahui secara pasti. Beberapa sarjana menyamakan bangunan ini dengan Candi Badut yang in situ di desa Badut. Tapi ada suatu keanehan pada candi ini. Di dalam grba grha terdapat lingga dan yoni yang merupakan simbol Dewa Siwa. Lagi pula ciri candi seperti ini merupakan ciri candi kerajaan Hindhu yang merupakan pendharmaan seorang raja[9]. Dan juga arca Agastya ini diletakkan di relung utara candi yang sekarang arcanya sudah tidak in situ. Sebenarnya ada kemungkinan bangunan untuk Agastya ini berada di situs Karang Besuki yang letaknya tidak jauh dari Candi Badut. Situs ini berupa reuntuhan candi. Tapi sayang sekali tidak ada petunjuk untuk menjawab dimana bangunan untuk Agastya.

Riwayat Kerajaan Kanjuruhan ini mengalami pemutusan. Dalam sumber tertulis seperti prasasti Dinoyo tidak menyebutkan keberlanjutan Kerajaan Kanjuruhan pada masa Uttejana, putri dari Gajayana. Baru ada informasi tentang Kanjuruhan yaitu pada prasasti Watukura Dyah Balitung. Mungkin kemudian kerajaan Kanjuruhan yang beribukota di Malang ditaklukkan oleh Mataram di Jawa Tengah dan penguasanya di anggap sebagai raja bawahan dengan gelar Rakryan Kanuruhan. Gelar ini mulai muncul di dalam prasasti Watukura Dyah Balitung dan kedudukannya sangat penting pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga dan jaman Kadiri[10].

Situs Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan di Malang

Menurut Undang-undang No, 5 tahun 1992, situs merupakan wilayah atau daerah yang diduga mengandung benda cagar budaya. Situs ini bisa berupa artifak, epsefak, dan ekofak. Untuk mencari asal-usul suatu benda sejarah, bisa ditelusuri dari situs-situs tempat benda itu ditemukan. Siapa tahu akan banyak ditemukan data-data yang lebih akurat.

Setiap peradaban pasti meninggalkan benda-benda. Seperti kata Koentjaraningrat bahwa manusia selalu meninggalkan hasil kebudayaannya karena kebudayaan merupakan kumpulan ide-ide atau gagasan yang diperoleh dengan belajar kemudian di terapkan dalam masyarakat yang inilah akan menghasilkan benda budaya atau artifact[11].

Bagaimana dengan Peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan? Tentu saja walaupun mempunyai umur yang relatif sedikit, Kerajaan Kanjuruhan juga merupakan salah satu peradaban di Indonesia. Peninggalan dari Kerajaan ini meliputi candi dan situs reruntuhan. Selama ini yang ditemukan di Malang terutama daerah Dinoyo dan desa Kejuron (toponimi Kanjuruhan) yang terletak di lembah sungai Metro. Peninggalan itu berupa prasasti yang merupakan sumber tertulis[12], Candi Badut yang merupakan candi kerajaan, dan reruntuhan-reruntuhan candi di situs Karang Besuki di belakang kuburan. Benda-benda tersebut merupakan jejak peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan yang memiliki umur yang relatif sama.

Candi Badut merupakan tipe candi Jawa Tengahan yang berada di Jawa Timur[13]. Mengapa kok disebut begitu? Kemarin juga teman-teman dari Unair juga menanyakan hal tersebut. Candi Badut memiliki badan yang tambun atau disebut langgam Jawa Tengahan[14]. Berbeda dengan candi-candi di Jawa Timur yang berbadan langsing (langgam Jawa Timuran). Kemudian baturnya pendek tidak setinggi di candi-canri jawa timur[15]. Dari bahan bangunannya pun masih menggunakan batu andesit yang masih kasar. Hal ini karena dulu ketika dibangun, para kuli tidak menemukan batu andesit yang asli, akhirnya mereka menggunakan batu kali sebagai pelengkap. Batu kali itu diperoleh di sekitar sungai Metro.

Mengenai umur dari candi Badut bisa disamakan dengan penemuan prasasti Dinoyo karena prasasti ini juga ditemukan di area sekitar candi Badut. Jadi bisa diperkirakan berasal sekitar abad ke 8 Masehi. Dalam prasasti Dinoyo juga memberi informasi bahwa raja Gajayana membangun sebuah perkampungan di sekitar area Candi Badut, yang sekarang menjadi perumahan Tidar[16]. Pengumuran yang sama juga terdapat pada situs Karang Besuki. Situs yang berupa reruntuhan candi ini juga mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan candi Badut. Jadi bisa diperkirakan bahwa wilayah Keraton Kerajaan Kanjuruhan berada disekitar Dinoyo, desa Kejuron dan lembah sungai Metro.

Sebenarnya masih ada peninggalan yang lain untuk periode ini. Jika di gali lagi areal sekitar Candi Badut kemungkinan juga ada dan ditemukan. Hal ini sesuai dengan kitab silpasastra yang merupakan rujukan untuk membangun sebuah candi. Di depan candi seharusnya terdapat 4-6 buah gerbang bentar, kemudian ada satu gerbang paduraksa. Di depan candi induk juga terdapat dua candi Perwara[17]. Sayang sekali untuk melakukan penggalian (eskavasi) itu membutuhkan dana yang besar, lagi pula di sekitar areal candi sudah dibangun perumahan dan perkampungan penduduk. Tentu saja akan terjadi pralaya jika melakukan penggusuran.

Epiolog

Berdasarkan benda-benda arkeologis yang di tinggalkan yang memang jumlahnya sedikit bisa memberikan informasi tentang ada dan berdirinya Kerajaan Kanjuruhan. Situs-situs seperti Candi Badut dan reruntuhan candi di Karang Besuki ditambah dengan prasasti Dinoyo yang ditemukan di sekitar candi Badut menguatkan bukti bahwa di Malang berdiri salah kerajaan Hindhu tertua di Jawa Timur.

Berdasarkan temuan prasasti Watukura Dyah Balitung, Kerajaan Kanjuruhan hilang dan berganti menjadi wilayah watek dari kerajaan Jawa Tengah. Sehingga kemungkinan Kerajaan Kanjuruhan mendapat serangan dari kerajaan di Jawa Tengah dan statusnya berubah menjadi wilayah watek yang dipimpin oleh rakryan

Memang data-data tulis dan artifak belum cukup untuk mengungkap sejarah Kerajaan Kanjuruhan ini. Tapi mudah-mudahan ada usaha untuk menemukan bukti-bukti yang terbaru. Tapi lebih penting lagi adalah melestarikan benda cagar budaya, karena bila dirusak hilanglah informasi tentang asal usul atau identitas kita. Mari kita lesarikan Benda Cagar Budaya.


DAFTAR RUJUKAN

Boechari, 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

Dwi Cahyono. 2005. Kanjuruhan, Benang Merah Dari Kerajaan ke Universitas, orasi Ilmiah ulang tahun ke-30 Universitas Kanjuruhan. Malang : tanpa penerbit.

Dwi Cahyono. 2006. Dinamika Sejarah dan Sosial Malang. Public Policy Analysis and Community Development Studies (PLaCID’S) AVERROES bekerja sama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID).

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi. Jakarta; Rineka Cipta.

Poerbatjaraka. 1976. Riwayat Indonesia I. Yogyakarta: Yayasan Purbakala Yogyakarta.

Soejono, RP. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

Soekmono. 1977. Candi, Fungsi, dan Artinya. Semarang: IKIP Press.

Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2. Jakarta: Kanisius.

Suprapta, Blasius. 2007. Kawasan Dataran TInggi Malang Dari Masa Prasejarah hingga Hindhu-Budha, makalah yang di sampaikan pada kegiatan Subject Content SMA Negeri 10 Malang.



[1] Blasius Suprapta, Kawasan Dataran TInggi Malang Dari Masa Prasejarah hingga Hindhu-Budha, makalah yang di sampaikan pada kegiatan Subject Content SMA Negeri 10 Malang ,2007, hal 2

[2] Ibid, hal 4.

[3] Mengenai alat-alat sepih bilah ini dan juga alat-alat yang digunakan oleh manusia prasejarah bisa dilihat pada RP. Soejono, Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).

[4] Keterangan tentang Kerajaan Kanjuruhan ini berdasarkan inskripsi dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M. Lihat dalam Boechari, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).

[5] Blasius Suprapta, Op Cit, hal 10.

[6] Dwi Cahyono, Kanjuruhan, Benang Merah Dari Kerajaan ke Universitas, orasi Ilmiah ulang tahun ke-30 Universitas Kanjuruhan. (Malang : tanpa penerbit, 2005), hal 18

[7] Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia I, (Yogyakarta: Yayasan Purbakala Yogyakarta, 1976), hal. 92-97).

[8] dalam Dwi Cahyono,Op cit, hal 9.

[9] Soekmono, Candi, Fungsi, dan Artinya, (Semarang: IKIP Press, 1977).

[10] Bochari,Op Cit, hal 108-109.

[11] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta; Rineka Cipta, 2000).

[12] Pada jaman kerajaan orang yang menulis pada prasasti adalah citralekha.

[13] Menurt Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kanisius, 1973)

[14] Ibid, hal 86.

[15] Sebagai perbandingan bisa dilihat pada situs-situs candi di Trowulan.

[16] Dwi Cahyono, Dinamika Sejarah dan Sosial Malang (Public Policy Analysis and Community Development Studies (PLaCID’S) AVERROES bekerja sama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), 2006) hal 14.

[17] Reruntuhan candi perwara di Candi Badut masih ada dan berada di kompleks Candi Badut.

hari ketiga di Surabaya

Day 3rd

S

emalam begadang dengan Soleh membuat mataku berat terbuka di pagi hari. Jam 5.00 aku bangun, segera ambil air wudhu kemudian sholat Subuh. Pada saat zikir selesai sholat aku masih terngiang-ngiang pembicaraan dengan Soleh. Hatiku berdebar ketika teringat kata-kata Soleh tentang ajaran kebatinan yang mengatakan bahwa jika kita hening, maka kita dan Allah semakin dekat. Inilah yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Selain itu aku jadi mengerti dan paham kepribadian orang-orang jalanan (sopir dan kernet angkot) sehingga membuatku lebih hati-hati jika berhadapan dengan mereka.

Seperti biasa aku antri mandi lagi, tapi tidak seantri hari pertama dan kedua karena para wanita sudah mandi ketika masih pagi-pagi buta. Sambi menunggu waktu berangkat teman-teman mengemasi barang-barang. Hari ini rencananya kami akan pulang ke Malang. Hal yang aku tunggu sejak hari pertama di Surabaya. Pagi-pagi aku sudah membayangkan sejuknya kota Malang yang dikelilingi oleh pegunungan. Hal yang paradoks dengan keadaan di Surabaya.

Di hari ketiga ini rencananya kami mengadakan kunjungan di tiga tempat. Yang pertama kami akan pergi menuju ujung utara Surabaya yaitu di Tanjung Perak tepatnya di Pelabuhan Indonesia III, kemudian ke Surabaya Selatan tepatnya di daerah Rungkut yaitu ke perpustakaan Medayu Agung, dan kunjungan terakhir ke Museum Kapal Selam. Ketiga tempat ini akan menjadi kunjungan terakhir kami selama di Surabaya.

Barang-barang teman-teman diangkut dan dikemas dalam bagasi Mobil, sebagian di dalam. Selsai acara packingnya kami siap untuk berangkat. Sebelumnya kami berpamitan pada pemilik penginapan dan membayar sisa uang sewa yang jauh hari sebelumnya sudah diberi uang muka. Perjalanan dan petualangan terakhir di Surabaya dilanjutkan kembali. Pertama kami menjeput dua dosen kami terlebih dahulu.

Perjalanan menuju Tanjung Perak hari ini sangat berbeda dengan perjalanan kemarin. Kali ini walupun jalan di Surabaya ramai dan macet, perjalanan tidak setegang dua hari sebelumnya. Tapi tetap saja gaya menyetir mobil si sopir masih kasar. Jalur menuju ke Tanjung Perak diantara teman-teman ada yang tahu, jadi tidak muter-muter seperti kemarin.

Cukup jauh perjalanan dari Ketintang (alamat penginapan kami) ke Tanjung Perak. Aku jadi teringat ketika masih berada di Bangkalan, Madura. Jalur menuju ke Pelabuhan sama seperti jalur yang kami lewati. Jam 08.00 kami sampai di depan gedung utama Pelabuhan Indonesia III.

Pelabuhan Indonesia III ini merupakan perusahaan yang melayani berlabuhnya kapal baik asing maupun domestik. Selain itu juga melayani tambat dan bongkar muat barang (container)[1]. Sebenarnya Pelabuhan Indonesia III (nantinya disingkat Pelindo III) merupakan salah satu dari empat Perusahaan Pelabuhan Indonesia. Jadi di Indonesia menyediakan empat pelabuhan untuk melayani bongkar muat barang ekspor dan Impor. Nama-nama perusahaan itu adalah Pelabuhan Indonesia I, Pelabuhan Indonesia II, Pelabuhan Indonesia III, dan Pelabuhan Indonesia IV.

Setelah ijin, rombongan kami dipersilahkan masuk ke ruang perpustakaan. Ternyata setelah masuk ruangan perpustakaan, besarnya tidak begitu luas. Mungkin besarnya sama seperti ruang baca di Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Seperti kunjungan ke instansi sebelumnya, kegiatan kami adalah berdiskusi dengan salah seorang manajer di Pelindo III, namanya Pak Iwan. Wah orangnya sangat rapi sekali. Dari gaya bicaranya terlihat kalau beliau sangat prefeksionis. Pembicaraan Pak Iwan ini berkutat tentang masalah politik di Indonesia. Bahkan masalah pendidikan dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi juga tidak luput dari jangkauan pembicaraannya. Malahan beliau mengusulkan pada kami, bahwa seorang mahasiswa apalagi mahasiswa Jurusan Sejarah, harus mampunyai buku harian untuk mencatat kejadian yang dialami. Selain itu juga harus bisa menguasai teknologi, terutama internet. Menrut beliau lagi kami harus mempunyai blog atau web sendiri untuk berinteraksi dengan orang di seluruh dunia. Aku sudah tidak asing lagi dengan dua hal di atas. Dari pertama aku menjadi mahasiswa baru, aku sudah mempunyai diary dan juga mempunyai blog sendiri[2].

Pak Iwan juga memberi informasi tentang Pelindo III. Menurut beliau Pelindo III ini dulunya hanya untuk menambatkan kapal untuk bongkar dan muat barang. Sekarang kegiatannya meningkat dengan adanya sistem kontainerisasi. Jadi kapal tidak hanya melakukan bongkar muat saja, tapi juga melakukan penimbangan dan penyimpanan[3]. Karena itulah di Pelindo III ada fasilitas untuk memudahkan kapal untuk berlabuh. Fasilitas itu antara lain; Fasilitas Pelabuhan, Fasilitas Terminal, Fasilitas Penumpukan, dan Fasilitas Jasa Kepanduan[4].

Kegiatan diskusi masih berlanjut pada kepelabuhan. Ada yang menarik perhatianku dalam kegiatan ini, yaitu konsumsi yang dihidangkan. Salah seorang pegawai membagikan kotak bertuliskan donuts kepada kami. Dari katanya (donuts) aku sudah mengira, pasti ini dari Dunkin Donut’s. Tapi ketika kotak aku buka, ternyata isinya roti isi. Wah, tertipu aku, tapi tidak apa-apa rotinya juga enak. Diskusi selesai ditandai dengan penyerahan souvenir berupa buku-buku dan majalah tentang Pelindo III kepda kami. Kemudian dilanjutkan dengan melihat kegiatan di pelabuhan, diantar oleh Pak Iwan.

Kami menuju ke TPS (aku lupa singkatannya). Di gedung ini terdapat menara yang bisa melihat hampir seluruh Pelindo III. Letaknya di lantai 8, kami kesana naik lift. Dan benar saja, aku merasa seperti di mercusuar. Kami tiba di suatu ruangan operator yang sayang sekali sekarang sudah tidak dipakai lagi. Aku melihat kotak-kotak yang sebenarnya berukuran besar tapi dari ruangan ini kelihatan kecil. Terlihat beberapa kontainer ditimbang dan ditumpuk-tumpuk. Mobil dan truk yang berlalu-lalang seperti mainan mobil-mobilan remote control. Begitu juga dengan kapal-kapal besar yang sedang berlabuh, semuanya terlihat dengan jelas.

Hari semakin siang dan semakin panas, waktunya kembali melanjutkan perjalanan. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Iwan dan pegawai Pelindo yang lain yang telah membantu kami.

***

Daerah pelabuhan yang panas. Ketika mobil kami masih berjalan di wilayah pelabuhan, aku melihat tiga buah drum berukuran raksasa bertuliskan Pertamina. Di depan drum-drum ini berjajar truk-truk tangki. Ternyata salah satu penyebab lamanya pasokan BBM ke daerah-daerah adalah antrian truk-truk yang menunggu tangkinya di isi oleh drum besar itu.

Keadaan di dalam mobil semakin sumpek saja. Barang-barang kami yang tidak muat dimasukkan dalam bagasi mobil diletakkan di dalam mobil bersama dengan penumpang. Otomatis di dalam mobil penuh dan sesak oleh manusia yang menamakan dirinya mahasiswa dan barang bawaannya. Aku berdoa saja semoga kami kuat dalam keadaan ini dan selamat sampai di Malang.

Tujuan kami berikutnya adalah Perpustakaan Medayu Agung yang berlokasi di daerah Rungkut, Surabaya Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Mula-mula perjalanan lancar. Tapi sampai di Jl. A. Yani, mobil kami muter-muter lagi. Mencari lokasi Perpustakaan Medayu Agung yang terletak di Perumahan Kosagra Jl. Medayu Selatan IV/ 42-44. Kunjungan ke Perpustakaan Medayu Agung ini adalah usul dari Riris. Katanya koleksi buku, majalah, maupun koran baik baru maupun lama ada semua di Perpustakaan Medayu Agung.

Ketegangan yang tadi sementara waktu hilang kini datang kembali. Dalam hawa Surabaya yang panas sopir dan kedua kernetnya mencari alamat Perpustakaan Medayu Agung. Ketika bertanya orang, ternyata orang-orang tidak tahu daerah Medayu, dan ternyata juga Medaya merupakan singkatan dari Medoan Ayu. Riris yang mengusulkan kepada kami untuk mengunjungi Perpustakaan Medayu Agung, juga tidak tahu rute jalannya. Alasan pembelaannya adalah karena Riris hanya sekali ke perpustakaan itu dan dia dibonceng oleh saudara sepupunya. Riris pun jadi “sensi” dan kelihatan emosi, ini terlihat dari wajahnya yang memerah.

Tanya Satpam, katanya masih terus. Tanya orang terus putar belik lagi, sampai-sampai mobil kami didatangi seorang Polisi karena melanggar tanda lalu-lintas yang dilarang putar balik, tapi untung saja Polisi tadi hanya memperingatkan. Akhirnya kami lega setelah ada seorang Satpam yang bersedia mengantar kami dengan menggunakan sepeda motor sampai ke Perumahan Kosagra, tempat dimana Perpustakaan Medayu Agung berada. Kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Pak Satpam yang tadi mengantar kami. Sampailah kami di Perpustakaan Medayu Agung.

Jam 11.35 kami tiba di Perpustakaan Medayu Agung. Tidak seperti bayanganku, ternyata Perpustakaan Medayu Agung tidak sebesar Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur atau Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang. Perpustakaan ini terdapat di sebuah rumah yang di dalamnya di atur dan di renovasi seperti perpustkaan. Kami disambut oleh Pak Oei Hiem Hwie, seorang Tionghoa pemilik Perpustakaan Medayu Agung. Kami dipersilahkan masuk. Kedua dosen kami duduk di kursi dan berbincang dengan Pak Oei. Sedangkan kami para mahasiswa duduk di bawah dengan alas tikar saja.

Menurut Pak Oei, kumpulan buku, majalah, dan koran yang ada di Perpustakaan Medayu Agung adalah koleksi pribadinya. Jadi sudah jelas kalau Pak Oei ini seorang kutu buku tulen. Beliau menceritakan pengalaman dan kisah hidup dengan semangat. Pak Oei dulu pernah menjadi wartawan lepas. Banyak rekan-rekan Pak Oei memberikan buku, koran, majalah kepadanya. Bahkan Sejarawan dari Amerika, Benedict Anderson juga ikut menyumbang buku kepada Pak Oei. Bukan itu saja “kehebatannya”, masterpeace karya dari Alm. Pramudya Ananta Tur juga ada di perpustakaan ini.

Pak Oei juga melakukan penyelamatan beberapa buku, koran, dan majalah yang dilarang beredar pada tahun 1965 dan masa Orde Baru. Meskipun dengan berkorban harta dan hampit nyawa, Pak Oei tetap berjuang agar buku-bukunya tidak dimusnahkan.

Luar biasa Pak Oei ini. Tapi ada satu hal yang aku tidak setuju dengan Pak Oei. Yaitu ketika ada utusan dari Australia yang menginginkan buku-buku tentang Sejarah Indonesia yang asli. Pak Oei jelas eman, beliau mengusulkan agar foto copiannya saja. utusan itu tetap ngeyel[5] minta yang asli. Akhirnya diberikanlah buku yang asli kepada utusan dari Australia itu dengan uang ganti yang tidak sedikit tentunya. Aku tidak setuju karena jika ada utusan atau orang dari negara lain menginginkan buku sejarah tentang keadaan Indonesia yang asli, pasti ada maksud apa-apa. Aku malah trauma ketika Belanda yang menjajah Indonesia dengan menggunakan sejarah dan budaya sebagai salah satu senjata ampuh. Aku takut jika Australia melakukan tindakan yang demikian. Baunya sudah tercium ketika ada gerakan PRRI/Permesta, kasus Timor Timur. Tapi semoga ini hanya negative thingkingku saja dan tidak terjadi.

Setiap ruangan di rumah Pak Oei ini digunakan untuk menyimpan buku-buku. Jadi ruangan-ruangan tersebut dibagi secara tematis sesuai dengan koleksi buku. Ada ruangan khusus koleksi buku dari jaman Hindia Belanda, kemudia ada ruang khusus buku tentang Sukarno. Di lantai dua terdapat koleksi koran dan majalah. Wah pokoknya banyak deh. Karena itu, usaha Pak Oei dalam membuat perpustakan ini menghasilkan berbagai award. Aku hitung, mungkin ada tiga penghargaan, yang salah satunya dari Presiden RI.

Setelah puas melihat koleksi pribadi dari Pak Oei, kami pamit dan mengucapkan banyak terima kasih. Segera kami pamit. Sebelum melakukan kunjungan terakhir yaitu ke Monumen Kapal Selam, kami istirahat di masjid dekat rumah Pak Oei, sekalian makan siang.

Ketika aku berjalan menuju masjid, aku sempat geli melihat ketiga orang jalanan senang difoto oleh Ubed. Apalagi ketika difoto memakai jas almamater kami. Suenengnya bukan kepalang. Itulah mereka……

***

Selesai Ishoma (istirahat, sholat, dan makan) perjalanan dilanjutkan kembali. Tujuan kami berikutnya adalah tujuan terakhir kami selama tiga hari di Surabaya, sekaligus sebagai penutup petualangan kami selama tiga hari di Surabaya. Tujuan berikutnya adalah Monumen Kapal Selam. Dari Rungkut, kami kembali lagi ke kota, karena lokasi Monumen Kapal Selam berada di tengah kota Surabaya.

Perjalanan menuju Monumen Kapal Selam lancar-lancar saja, tidak ada kendala. Hanya mungkin masih tanya-tanya orang, tapi itupun sedikit dilakukan.

Akhirnya kami tiba di Monumen Kapal Selam pada jam 14.20. Mobil diparkir setelah membayar parkir dan diberi karcis parkir, kami langsung menuju ke lokasi. Shinta memesan tiket untuk kami semua sebelum masuk. Sebenarnya rencana kami ke Monumen Kapal Selam ini hari Rabu (7 Mei 2008) kemarin. Karena ada perubahan jadwal acara karena berbagai hal, kunjungan diadakan pada hari Kamis. Eman lho, padahal kemarin pihak manajemen Monumen Kapal Selam sudah siap menyambut kami dan tentunya sudah ada konsumsi. Tapi tidak apa-apalah.

Aku melihat sebuah benda besar menyerupai ikan paus tapi berkulit besi, terlentang panjang. Baru aku melihat kapal selam sebagai monumen. Kapal selam ini bernomor 401 dan mempunyai nama “Pasopati”. Ketika masuk kedalam, sudah terpasang AC di dalam tubuh ikan paus besi ini. Kami menelusuri lorong-lorong kapal. Setiap sekat dibatasi tembok besi dan ada lubang sebagai penghubung antara sekat satu dengan sekat yang lain. Ada juga sekat untuk tidur awak kapal. Tidak bisa kubayangkan, apa enak tidur di dalam kapal selam yang berisik karena mesin, apalagi jarak antara kasur dan tabung mesin hanya sekitar 30-50 cm. Kami terus menelusuri lorong kapal hingga menuju pintu keluar.

Turun dari kapal aku, Hunter, Khairuddin, Mia, Faiz, Lukluk, dan Luluk (Ibu Negara) membeli es degan dulu di depan kepala si ikan paus besi. Hawa panas Surabaya ini kita hilangkan sementara dengan meneguk segelas es degan. Setelah minum es degan kita menyusul teman-teman yang lain untuk melihat film diorama tentang asal usul ikan paus besi ini.

Di belakang ekor ikan paus besi ini ada sebuah ruangan bioskop mini yang memang khusus dibuat untuk melihat film diorama asal-usul Monumen Kapal Selam. Berdasarkan film yang kami lihat, kapal selam Pasopati ini dibeli dari Rusia. Indonesia mempunyai tiga kapal selam, sekarang tinggal dua karena yang satu harus pensiun dan menjadi monumen. Kapal selam Pasopati ini dulu pernah digunakan dalam merusak pertahanan tentara Belanda di Irian Barat. Pada waktu itu adalah peristiwa merebut Irian Barat dari Belanda.

Film berdurasi 30 menit itu juga mempertontonkan kehebatan kapal selam milik Indonesia (termasuk Pasopati) dan kehebatan tempur kapal perang milik TNI AL. aku berharap semoga saja kehebatan TNI AL kita terus berlanjut, karena sering wilayah perairan kita di lalui oleh kapal-kapal asing tanpa ijin. Bahkan ada ancaman dari pasukan Diraja Malaysia. Mau tidak mau TNI AL sebagai penjaga perairan Nusantara harus siap menghadapi pengganggu yang mengancam perairan Indonesia.

Selesai melihat film kami melanjutkan perjalanan kami menuju ke tempat asal, Malang oke punya. Akhirnya petualangan kami selama tiga hari di Surabaya berakhir. Petualangan yang menegangkan ini sangat eman (sayang sekali) jika tidak diabadikan. Karena itu dalam hati aku bertekad untuk membuat tulisan tentang petualangan dan pengalaman kami selama di Surabaya.

Ada suatu peristiwa sebelum mobil meninggalkan area Monumen Kapal Selam. Karcis parkir mobil yang di bawa Shinta hilang. Waduh cilaka ini. Aku melihat wajah Taufik si sopir langsung merah. “Wah payah-payah!!!”, katanya. Seluruh penumpang bingung. Pada akhirnya karcis yang hilang tadi diganti dengan membayar uang sejumlah Rp. 50.000 oleh sopir. Sempat tegang aku tadi, kok bisa hilang karcisnya?

***

Sebelum mobil bekerja lagi untuk mengantar kami pulang, kami sepakat untuk melihat luberan Lumpur Lapindo di Porong. Aku sebenarnya tidak sepakat, karena aku sudah ingin pulang, tapi karena kalah suara aku menurut saja. Setelah penumpang masuk semua kami berangkat menuju Malang yang nanti mampir sebentar di Porong.

Melihat lumpur di Porong menjadi rekreasi bagi kami. Selama di Surabaya kami tidak melakukan rekreasi. Memang KKL kami berbeda dengan KKL teman-teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah. Teman-teman Prodi Pendidikan Sejarah pergi ke Pulau Dewata Bali untuk melakukan KKL Terintegrasi. Sudah jelas mereka banyak melakukan rekreasi. Sedangkan kami, mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah mengalami petualangan yang luar biasa selama tiga hari di Surabaya. Hampir selama tiga hari itu kami tidak melakukan rekreasi. Karena itulah Lumpur Lapindo menjadi pemuas rekreasi bagi kami.

Jam 16.35 kami sampai di tanggul penahan lumpur. Aku heran kenapa orang-orang banyak melihat lumpur? Padahal baunya luar biasa membuat hidung sakit. Ternyata banyak juga orang-orang yang melihat lumpur, bahkan ada juga yang rombongan.

Ada kejadian lucu di sana. Ada satu rombongan yang ingin melihat lumpur. Salah satu rombongan itu menerobos jembatan tanpa membayar pada orang-orang yang menjaga jembatan itu. Dulu memang katanya kalau melihat lumpur gratis, sekarang membayar. Kalau rombongan kami tadi sudah membayar. Kontan saja terjadi dorong-dorongan dengan emosi antara salah seorang pengunjung dengan salah seorang penjaga jembatan.

Sangat mengerikan. Aku melihat endapan lumpur yang menenggelamkan rumah penduduk. Aku hanya melihat rangka bata dan atap dari beberapa rumah yang terendam. Ketika aku melempar batu ke arah lumpur, keadaan lumpur masih gembur dan basah. Asap masih keluar dari pusat sumber keluarnya lumpur. Sudah dua tahun penanganan pada lumpur ini, hasilnya masih tetap saja. Kenapa semburan lumpur ini tidak bisa dihentikan?? Tanggul terus diperkuat, truk-truk -bermuatan tanah terus didatangkan. Lama-kelamaan tanggul ini akan menjadi sebuah gunung dengan semburan lumpurnya menjadi kawahmya.

Aku lega ketika mobil mulai meninggalkan tanggul lumpur di Porong. Kemacetan juga tidak terlalu padat. Kami berangkat lagi pulang ke Malang. Pulang meninggalkan berton-ton tanah yang membendung melubernya lumpur.

Mobil terus berjalan mendekati wilayah yang hawanya terasa dingin. Terlihat pegunungan yang melingkar. Terlihat juga Gunung Anjasmoro yang menjulang tinggi. Dengan perasaan lega kami berkata, “Malang, I’m back!!!”. Raut wajah kami kembali menunjukkan keceriaan seperti tentara yang pulang membawa kemenangan. Ketika sampai di Lawang Shinta minta turun di situ, karena memang rumahnya di Lawang. Waktu turun Shinta dan Hunter membayar ganti rugi uang Rp. 50.000 kepada sopir karena telah menghilangkan karcis, tapi dengan syarat teman-teman harus diantarakan sampai ke kosnya masing-masing. Si sopir setuju.

Kami semua di antar oleh sopir sampai di depan kos masing-masing, atau minimal di depan gang. Satu persatu teman-teman diturunkan di depan rumah kos masing-masing. Aku juga turun di depan Sumbersari gang V karena sepeda motorku aku titipkan di kosnya Luluk sang Ibu Negara. Setelah mengambil sepeda motor aku langsung pulang ke kos di MT Haryono II no. 520.

Jam 20.00 aku sampai di kamarku istanaku. Lelah sekali setelah mengalami tiga hari berpetualang di Surabaya. Pengalaman seru ini akan aku ingat.

***

Lampiran Ekspresi Foto (all photo by: Agung’s Collection)

Foto di ambil pada 8 Mei 2008.

Ø Pelabuhan Indonesia III








Gb. 28. Serius amat Din!!



Gb. 29. Pak Iwan memberikan buku kepada Pak Mashuri. Di belakang Pak Joko mengambil foto mereka berdua (dari belakang).




Gb. 30. Peti Kemas dilihat dari menara pengawas di gedung TPS.




Ø Perpustakaan Medayu Agung












Gb. 31. Pak Oei bercerita denga penuh semangat.


Gb. 32. Ruang koleksi langka, berisi buku-buku jaman Pemerintahan Hindia Belanda.


Gb. 33. Ruang Koleksi Khusus, berisi buku tentang Sukarno.





Gb. 34. Koleksi foto Surabaya tempo dulu.





Gb. 35. Koleksi foto Sukarno.



Ø Monumen Kapal Selam






Gb. 36. Kapal Selam Pasopati (gambar ini diambil dari www.google.com diapdate pada 17 Mei 2008)



Gb. 37. Salah satu sekat di dalam Kapal Selam Pasopati.




Referensi Pendukung

Hadi, H. Asmara dkk. 2005. Jejak Strategis Pelabuhan III, Menggapai Kelas Dunia. Surabaya: PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia III.

Koentjaraningrat. 1993. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.R.P.

Mulder, Niels. 2007. Mistisisme Jawa Ideologi Di Indonesia. Yogyakarta: Lkis.

Soekmono. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 3. Yogyakarta: Kanisius.

Subekti, Bambang dkk. 2003. Tanjung Perak. Surabaya: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia III.

Suwarno, Wiji. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan; Sebuah Pendekatan Praktis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Suyono, RP. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, masa Prasejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

William, Frederick H. 1989. Pandangan Dan Gejolak Masyarakat Kota Dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia.

Wursanto. 1995. Kearsipan I. Yogyakarta: Kanisius.

Tjandrasasmita. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Masa Islam. Jakarta: Balai Pustaka.

Zaviera, Ferdinand. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Yogyakarta: Prismasophie.

Badan Pengelolaan Teknologi Komunikasi dan Informasi Online, diupdate pada 17 Mei 2008.


TENTANG PENULIS

Agung Ari Widodo, lahir di Sidoarjo pada 31 Maret 1987. Pernah mengalami tiga kali pindah rumah dan lingkungan, pertama di Sidoarjo, Bangkalan (Madura), dan sekarang domisili di Kertosono (Nganjuk). SD di SDN Kebaron 1 Tulangan, SDN Paseseh 1 Tanjung Bumi, dan SDN Pejagan 2 Bangkalan. SMP di SMPN 1 Bangkalan Madura dan SMPN 1 Kertosono. SMA di SMAN 1 Kertosono.

Sekarang masih berjuang untuk menyelesaikan studi S1 di Universitas Negeri Malang Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Program Studi Ilmu Sejarah. Disamping kuliah kegiatan yang lain adalah bisnis jualan pulsa elektrik dan menulis (belum menghasilkan karya tulis yang diterbitkan). Hobby yang terbaru adalah membaca novel bertema kehidupan terutama Tetralogi Laskar Pelangi dan mencoba menulis. Hobby yang lain berkelana untuk mencari refreshing.



[1] Lihat dalam Bambang Subekti, dkk, Tanjung Perak, (Surabaya: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia III, 2003).

[2] Silahkan jika ingin membuka blog-ku. Alamatnya di www.sikilbosok.blogger.com. Maaf kalau nama blog agak sedikit menjengkelkan.

[3] Untuk menambah kelengkapan informasi tentang Pelindo III dapat dibaca di H. Asmara Hadi, dkk, Jejak Strategis Pelabuhan III, Menggapai Kelas Dunia, (Surabaya: PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia III, 2005).

[4] Bambang Subekti, dkk, Op cit, hal 16-27.

[5] Keras kepala