Kamis, 29 Mei 2008

Day 2nd


Setelah semalam melakukan perang antar dunia dengan nyamuk, akhirnya pagi hari peperangan dihentikan sejenak. Pagi-pagi aku jam 5.00 sudah bangun, segera aku melakukan sholat subuh kemudian mandi. Mandi pun aku harus antri lagi, busyet para wanita kalau mandi lama sekali. Setelah lama menunggu antri mandi akhirnya aku mandi juga. Selesai mandi ganti pakaian tidak lupa almamater, kemudian kami sarapan bersama. Aku, Hunter, Khoiruddin, Khotim, dan orang-orang jalanan sarapan di tempat kami tidur semalam.

Kamar kami para laki-laki memang istimewa, letaknya disamping rumah kos penginapan kami. Jadi bangunan ini merupakan pavilion yang sengaja dibangun dipisah dari bangunan utama. Hanya tembok yang menghalangi. Ruangan sebesar 4mx4m ini menjadi kamp para laki-laki. Entah apa pertimbangan teman-teman kami yang menempatkan laki-laki di pavilion itu. Mungkin karena kami para laki-laki terbiasa mbambung1 jadi bisa tidur dimana saja.

Walaupun semalam di area penginapan kami diguyur hujan deras, hawa panas tetap saja menyelimuti. Tapi pagi hari sebelum berangkat hawa sangat sejuk, aku melihat pohon jambu, mangga sangat ceria memperlihatkan daunnya yang hijau. Jalan gangnya bersih, belum ada Homo sapiens yang membuang limbahnya. Kami sudah berkumpul di depan penginapan, siap untuk berpetualang lagi. Sambil menunggu sopir dan kedua kernetnya mempersiapkan mobil kami melakukan beberapa kegiatan, ada yang telepon pacarnya, ada yang ngerumpi (bisanya ibu-ibu dengan dipimpin oleh Ibu Negara), ada juga yang foto-foto.

Kendaraan besi roda empat berwarna biru jenis elf sudah siap untuk bekerja lagi. Rombongan kami bersiap menuju instansi berikutnya. Sebelumnya kami menjemput kedua dosen kami di penginapan Green House. Pagi ini kedua dosen kami terlihat ceria, mungkin kemarin beliau-beliau tidur dengan nyenyak sekali tanpa melakukan perang antar dunia dengan serangga penghisap darah seperti apa yang kami alami di penginapan istimewa kami.

Tujuan kami berikutnya adalah Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur. Sebelum berangkat tadi Ubed sudah mempunyai bekal peta lokasi/rute menuju Badan Perpustakaan. Ada hal yang menggelikan ketika dalam perjalanan. Ketika itu kernet kami bertanya kepada tukang becak dimana letak Jawa Pos. Mendengar itu kontan dalam hati aku tertawa karena aku melihat Graha Pena yang merupakan kantor Jawa Pos tepat di belakang mobil kami, mungkin jaraknya 5-7 meter. Kontan juga para tukang becak juga senyum-senyum, wong Jawa Pos sudah ada di depan mata. Kedua dosen kami juga tertawa melihat sopir dan kedua kernetnya yang mereka juga tertawa sendiri.

Seperti pada hari pertama, kami muter-muter lagi mencari alamat dari Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur yang alamatnya di Jl. Menur Pumpungan No. 32. Sekali lagi hawa sangat panas di Surabaya padahal masih kisaran jam 8. Jalan A. Yani sangat padat oleh manusia-manusia yang mencari kehidupan. Asap kendaraan, suara kendaraan, semuanya komplit untuk julukan kota metropolitan kedua. Tanya sana Tanya sini, Tanya Satpam masih juga tersesat. Surabaya seperti hutan belantara Kalimantan yang berliku-liku, sekali tersesat maka semakin kita tidak tahu jalan. Yang jadi penasaranku kenapa tidak tanya pada Polisi saja, Polisi yang tahu jalan tentunya. Aku jadi geli melihat sopir dan kedua kernetnya sangat takut ketika melihat sesosok manusia berseragam lengkap dengan peluit di jalan. Padahal kita kan semua sama, termasuk Homo sapiens juga. Mobil terus melaju, mencari tempat tujuan, seperti kapalnya Cristhoper Colombus yang mencari daratan. Aku semakin ingin pulang saja, panas sekali hawanya.

Setelah satu jam muter-muter akhirnya kami sampai di Jl. Menur Pumpungan No 32. Sebuah kompleks bangunan yang di pagarnya tertulis Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur membuatku dan teman-teman sedikit lega. Akhirnya jam tanganku menunjukkan pukul 9.15 kita sudah sampai di tujuan.

Hunter dan Shinta memohon ijin masuk, kemudian kami ikut masuk setelah diijinkan. Sama seperti di Unair, rombongan kami dipersilahkan masuk di sebuah ruangan yang biasa dipakai rapat. Di dalamnya sudah disediakan kotak-kotak yang berisi lemper setelah aku membuka isinya. Kemudian ada dua pegawai teknisi yang mempersiapkan laptop dan LCD. Mereka sibuk sendiri memasang kedua benda tersebut.

Setelah semua siap, acara dimulai ketika dua manusia pria hadir. Pria pertama bertampang agak seram dengan kumis yang seperti jagang vespa, apalagi suaranya yang serak berat seperti robot yang diservis karena kehabisan baterai. Orang ini bernama Hasto Hendarto. Pria yang satu lagi agak pendiam, wajahnya tenang tapi menyimpan misi dan ambisi, namanya seperti nama dalam pewayangan yaitu Abimanyu putra Arjuna. Pak Abimanyu ini merupakan Kepala Bidang Layanan Perpustakaan.

Diskusi dimulai. Pembicaraan kami disekitar minat baca masyarakat yang kurang. Ya itu bisa dimaklumi dan bagiku sangat ironis. Masyarakat di Negara berkembang memang tidak memprioritaskan membaca sebagai kegiatan utama, tetapi mereka terlebih dahulu mencari kebutuhan sandang dan pangan. Hal ini sangat berbeda dengan di negara maju. Masyarakat di negara maju ketersediaan sandang dan pangan sudah maksimal, jadi yang mereka cari selanjutnya adalah wawasan intelektual untuk membangun peradaban, sehingga membaca merupakan prioritas utama2.

Pihak perpustakaan sudah berusaha untuk meningkatkan minat membaca masyarakat. Usaha-usaha itu antara lain, mengadakan perpustakaan keliling, menyumbang buku ke perpustakaan di desa-desa dan Sekolah Dasar, mengadakan lomba membaca dan menceritakan isi dari cerita yang dibaca, dsb. Tapi kenyataannya tetap saja mental orang Indonesia adalah perut, ngerasani orang, dan percaya pada hal yang gaib3, kata Bapak bersuara robot (Hasto Hendarto).

Menilik sejarah dari Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur, instasi ini dulunya adalah badan milik negara, kemudian menjadi badan kedinasan wilayah berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 1989. Kemudian menjadi Perpustakaan Nasional di Daerah berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1997. Sekarang karena ada otonomi daerah akhirnya berdasarkan UU No. 44 Tahun 2007 instansi ini menjadi Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur4.

Mengenai koleksi di perpustakaan ini meliputi buku dan Koran. Untuk koleksi koran lama kami tidak diperbolehkan untuk meminjam. Koleksi buku di perpustakaan ini juga banyak. Buku-buku di letakkan di rak-rak. Tidak seperti di perpustakaan UM yang mempunyai 3 lantai, Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur ini hanya mempunyai 1 lantai untuk penyimpanan buku. Walaupun hanya satu lantai, koleksi buku-buku di perpustakaan ini jumlah dan kelengkapannya tidak kalah dengan perpustakaan yang lain. Aku juga sempat membaca buku karya Harvey, Permesta, Pemberontakan Setengah Hati. Tapi karena waktu berkunjung sudah habis, aku hanya membaca sedikit.

Akhirnya setelah bersalaman dengan Pak Abimanyu kami pamit. Aku tidak sempat melihat pemberian vandel. Tapi tidak apa-apalah yang penting aku sudah berkunjung ke perpustakaan ini.

***

Perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini perjalanan agak lancar dan agak santai. Tidak setegang seperti sebelumnya. Tahu kenapa kawan? Ternayata ada temanku bernama Lukluk mengetahui jalan menuju Jl. Pemuda No. 7 Surabaya, tujuan kami berikutnya adalah Perpustakaan Gubernur Jawa Timur. Letak perpustakaan ini disebelah Tugu Pahlawan.

Lukluk memberi arahan kepada sopir jalan menuju ke Tugu Pahlawan. Tapi sayangnya dia tidak mau duduk di samping sopir, sehingga dia harus agak berteriak jika memberi arahan. Awalnya aku berpikir, kenapa Lukluk ini tidak mau duduk di depan? Apa karena malu, atau takut atau kenapa?5.

Mobil terus berjalan. Ketika sampai di salah satu traffic light di Surabaya aku melihat sebuah benda menjulang tinggi mengerucut sampai ke atas, mirip bangunan menhir pada masa megalitikum. Inilah Tugu Pahlawan. Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan heroic arek-arek Surabaya dalam berperang melawan tentara Inggris dan NICA. Walaupun terkena hawa panas yang luar biasa di Surabaya, tugu itu tetap berdiri dengan gagahnya. Sekali lagi aku membayangkan betapa luar biasa seru dan mengerikan pertempuran 10 November 1945 itu. Tentu saja pertempuran ini sangat hebat jika dibandingkan pertempuran antar dunia antara aku dengan nyamuk.

Jam 13.10 kami tiba di kantor Gubernur Jawa Timur. Keadaan kantor agak sepi, sangat paradoks dengan keadaan diluar yang ramai terpampang spanduk calon-calon Gubernur Jawa Timur yang ikut dalam Pilgub (Pemilihan Gubernur) Jawa Timur. Sebelum masuk ke dalam perputakaan Gubernur kami menyempatkan diri untuk sholat Dzuhur dan makan siang di musholla disamping gedung.

Agaknya ada pembangunan di area Gedung Gubernur Jatim ini, jika di atap ada suatu kubah, pastilah akan dibangun sebuah masjid. Tiba aku segera mengambil bungkusan makan. Tadi pagi aku tidak sarapan karena ada masalah dengan perutku. Tapi tidak sarapan bukan hal yang tepat untuk mengobati sakit perut, malah akan semakin parah6. Dengan mengucapkan Bismillah aku pun makan dengan lahap.

Selesai makan aku mengambil air wudhu, kemudian melakukan sholat Dzuhur yang aku jamak sekalian dengan sholat Asar. Selesai sholat aku istirahat bersama teman-teman. Ada pemandangan yang umum di musholla ini, ada beberapa PNS yang tidak bekerja tapi tidur di musholla, aku sempat memfotonya. Ironis juga kenapa Pegawai Negeri kita tidak bekerja dengan rajin untuk negaranya.

Setelah mendapat ijin dari pihak kantor, kami pun naik ke atas (gedung). Sebelum naik ke atas, aku, Hunter, Ubed, dan Khoiruddin nyangkut di mobil dulu, kita ngopi dulu dengan sopir yang sedang ngumpul-ngumpul dengan sopir yang lain. Kemudian kami berempat ikut naik ke atas. Perpustakaan Gubernur ada di lantai tiga. Di dalamya tidak ada yang menarik, hanya terdapat buku-buku tentang sejarah dan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi Jawa Timur. Ada juga banyak Staatblad. Rupanya di perpustakaan ini banyak tersimpan buku-buku jaman Hindia Belanda. Praktis kegiatan kami hanya mencari dan membaca beberapa buku di sana.

Karena sudah dirasa cukup kami pun pamit dan menyerahkan vandel kepada ketua pengurus bagian perpustakaan.

***

Hari masih siang, jam tanganku menunjukkan pukul 14.50. Pak Joko mengusulkan kepada kami untuk melanjutkan perjalanan lagi daripada nganggur dan buang-buang waktu. Kami agak berdebat dengan Pak Joko, terutama Shinta yang ingin pulang ke penginapan istimewa. Teman-temanku yang tidak berjilbab juga menolak untuk pergi ke Makam Sunan Ampel, tapi mereka diyakinkan oleh Pak Joko. Kalau aku sih sependapat dengan Pak Joko, dari pada nganggur lebih baik lanjutkan perjalanan saja. Akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah Makam Sunan Ampel.

Kali ini Lukluk duduk di depan, teman-teman agak setengah memaksa agar Lukluk duduk di depan karena dia yang tahu jalan menuju Makam Sunan Ampel. Perjalanan kami lumayan tenang dan santai, permasalahan pada rute jalan sudah teratasi dengan hadirnya Lukluk sebagai navigator. Sekedar bercerita, dalam sebuah mobil angkutan umum yang kami tumpangi, antara kernet dan sopir adalah satu kesatuan. Sopir dan kernet saling membantu dalam menjalankan mobil. Ini seperti pilot dan co pilot dalam mengemudikan pesawat terbang. Jadi kendaraan yang kami tumpangi mempunyai koordinasi yang sama seperti pesawat F14.

Dengan lihai Lukluk menunjukkan jalan. Dan dengan santai kami pun sampai di kompleks Makam Sunan Ampel. Kompleks ini berada di pinggir jalan dan di tengah-tengah perkampungan. Letak ini mirip seperti di Makam Sunan Bonang di Tuban.

Sebelum masuk di masjidnya kami menelusuri tempat para pedagang. Banyak dijual aneka barang-barang dan peralatan untuk orang muslim. Bahkan ada juga parfum, tapi baunya aku sangat tidak suka karena sangat menyengat. Gerbang paduraksa menunjukkan bahwa kami tiba di masjid Ampel.

Arsitektur masjid Ampel ini merupakan salah satu jenis dari masjid jaman Islam kuno. Bangunannya seperti arsitektur masjid Demak. Yang khas dari masjid lawas atau kuno adalah beratap tumpang dan memiliki empat soko guru yang menyangga atap tumpang7. Yang menarik adalah tambahan bangunan berupa tiang-tiang Gothik dan menara.

Seperti denah kompleks makam Islam kuno pada umumnya, di depan masjid (sebelah barat) pasti terdapat makam. Di masjid Ampel juga seperti itu. Di depan Masjid Ampel terdapat Makam Sunan Ampel, keluarga dan kerabat-kerabatnya. Bukan hanya itu keunikan dari Kompleks Makam Sunan Ampel, ada legenda sembilan makam Mbah…(aku lupa namanya) dan ada lima gapura paduraksa. Menurut informasi dari Badan Pengelolaan Teknologi Informasi dan komunikasi Surabaya, kelima gapura ini dibangun oleh masyarakat dengan tujuan memudahkan pengunjung yang ziarah ke Makam. Kelima gapura ini melambangkan lima rukun Islam8.

Sayang sekali pengunjung dilarang memfoto area kompleks pemakaman. Aslinya boleh, tapi sembunyi-sembunyi. Untuk mendapatkan gambar di area pemakaman kami meminjam kalender bergambar kompleks Makam Sunan Ampel. Jadi Hunter memegangi kalender itu kemudian aku dan beberapa teman mengambil foto dari gambar-gambar tersebut. Aku melihat Hunter seperti orang berjualan sambil membawa barang dagangan dan menyandarkan barang dagangan di tubuh depannya.

Masih di kompleks Makam Sunan Ampel. Sebelum pulang kami sempat membicarakan nasib kami di Surabaya dengan kedua dosen kami. Pembicaraan mengenai transportasi kami. Tadi sempat tersiar kabar bahwa sopirnya minta tambahan uang. Tentu saja ini diluar kontrak tertulis. Hal ini sudah aku duga, pasti mereka minta tambahan uang, biasa taktik orang jalanan. Tapi Pak Joko mengusulkan pada kami agar bicara dulu dengan pihak sopir. Satu hal lagi, kata Pak Joko, ketika akan bicara dengan sopir jangan menggunakan nada emosi dan berdebat, bicara dengan baik-baik saja. Kemudian kami juga sepakat untuk memangkas KKL ini menjadi tiga hari saja, yang menurut rencana awal empat hari batal. Jadi besok (Kamis) kami pulang ke Malang.

Selesai di kompleks Makam Sunan Ampel kami kembali ke penginapan. Sang navigator ,Lukluk, kembali duduk di depan untuk menunjukkan jalan. Kemacetan terjadi lagi dan ini merupakan hal yang biasa untuk kota sekelas Surabaya. Mobil kami melewati pasar ikan, kontan saja bau amis menyebar ke dalam ruangan mobil.

Mobil terus melaju dengan aman menuju ke penginapan kedua dosen kami di Green House, kemudian menuju ke Jl. Pagesangan, penginapan istimewa kami. Disinilah terjadi ketegangan lagi. Si sopir ternyata jika malam matanya rabun. Jadi dia memakai kacamata untuk membantu penglihatan di malam hari. Yang jadi persoalan adalah ketika dalam perjalanan menuju ke penginapan si sopir malah kebablasan. Rute jalan tidak sama seperti yang tadi pagi dan kemarin kami lalui. Jadi muter-muter lagi, Tanya sana Tanya sini. Hari sudah malam tepatnya Maghrib, kami masih di jalan. Khairuddin yang duduk di depan juga kebingungan mau tanya orang, dia kemarin yang naik vespa dengan Ubed juga tersesat, tapi sampai di penginapan. Mobil meraung-raung tanda sopirnya emosi. Mobil kami melewati gang demi gang. Dan alhamdulillah akhirnya sampailah kami pada sebuah gang tempat penginapan istimewa kami.

Penumpang langsung turun dan segera melakukan mandi dan tentu saja harus antri. Aku juga langsung turun, bernafas sejenak. Kemudian Hunter mengajakku keluar, alasannya dia mau nelpon temannya di Malang. Tapi ternyata Hunter mengajakku jalan-jalan karena dia stress dan lapar. Kasihan Hunter, dia sebagai Ketua Pelaksana memang pantas bingung demi keselamatan anak buahnya. Kita jalan-jalan menelusuri jalan gang dan sampai di jalan raya. Di seberang jalan ada warung pecel lele, aku mengajak Hunter makan di warung itu. Aku kira pecel lele itu lele dengan bumbu pecel, ternyata aku salah. Dan ternyata yang namanya pecel itu lalapan lele yang biasa aku beli dengan sambal terasi. Walaupun harganya lumayan mahal, tapi tidak apa-apalah aku dan Hunter tetap makan karena memang kita lapar. Setelah makan kita kembali ke penginapan. pada saat kamar mandi kosong aku langsung mandi. Selesai aku sholat jamak Maghrib dan Isya’.

Setelah semuanya sudah mandi, sholat, dan makan, beberapa teman mengajak sopir untuk berbicara soal uang transport. Mereka berkumpul di teras depan penginapan. ada Ubed, Shinta, Mimin, Hunter, dan sopirnya. Pembicaraan santai saja sambil minum kopi. Aku yang santai di depan kamar para laki-laki diajak Hunter untuk ikut diskusi.

Pembicaraan di mulai, wah kalau sudah menyangkut uang lebih baik aku diam. Ubed membuka diskusi kami dan melobi si sopir. Karena KKL kami di Surabaya hanya tiga hari, Ubed meminta potongan harga sewa mobil. Tentu saja si sopir yang tidak bisa melafalkan “r” ini menolak. Pihak kami pun juga sudah menduga. Karena tidak menerima potongan, delegasi kami yang dipimpin Ubed juga tidak menambah uang sewa, dan ini disetujui oleh si sopir. Akhirnya uang sewa mobil diserahkan semua kepada sopir.

Selasai masalahnya akhirnya diskusi bubar, kita membicarakan hal yang lain. Taufik sopir kami ini kalau berbicara lucu,”aku sudah perlnah ke Jakarlta dan Bogorl sopir bis Lorlena”, dengan menggebu-gebu dia cerita ya walaupun kami tahu kalau itu hanya cerita karangan orang jalanan. Masih saja si sopir cerita tentang pengalamannya dengan lafal “r” yang dilesapkan.

Malam semakin larut, Mimin dan Shinta sudah tidak kuat lagi menahan lelah dan kantuk, mereka berdua pun pergi tidur. Tinggal aku, Ubed, Hunter, dan dua orang jalanan (Taufik dan Soleh). Ubed pun juga KO dia tertidur. Tinggal aku dan Hunter. Nah dari sini pembicaraan kami berkisar pada mistis dan gaib. Si sopir bilang kalau dia punya pegangan, dalam hati aku tertawa masa jaman sudah computer masih saja pakai pegangan. Katanya si sopir Hunter juga punya pegangan. Hunter juga senyum-senyum saja,wong dia juga tidak merasa punya pegangan. Kalau aku masih polos katanya Taufik (sopir). Pembicaraan seputar masalah gaib. Ternyata orang jalanan kalau di ajak bicara dan nadanya agak meninggikan derajat mereka, mereka senang sekali9.

Malam semakin larut. Hunter kembali ke kamar merekap judul buku pemberian dari Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur. Si Taufik sopir juga mau tidur karena besok harus menyetir lagi. Praktis tinggal aku dan Soleh, kernetnya Taufik. Pembicaraan aku dan Soleh masih seputar mistik. dan ternyata kita cocok dalam membicarakan Kejawen10. Pengetahuan Soleh tentang Kejawen lumayan menguasai. Dia pernah belajar ilmu kebatinan pada seorang Kyai di Malang. Doa-doanya pun juga banyak yang hafal. Aku sengaja mengorek informasi dari Soleh ini, pengalaman apa yang dia alami hingga menjadi kernet. Sengaja aku melakukan penelitian dengan metode wawancara langsung seperti petunjuk yang ada dalam buku Metode Penelitian Masyarakat karya Koentjaraningrat11.

Ternyata si Soleh ini mempunyai pengalaman yang luar biasa. Dia pernah bekerja sebagai koki pembuat roti di Bali dan mempunyai penghasilan lumayan banyak. Tapi karena di tipu oleh majikannya dia rugi besar dan kembali ke Malang. Di Malang pun Soleh juga membuat usaha roti. Semakin besar usahanya pada waktu itu. Tapi akhirnya bangkrut juga karena uangnya dihabiskan oleh istrinya. Akhirnya sampai sekarang demi menghidupi istri dan anaknya yang masih berumur 8 bulan, Soleh menjadi kernet mobil angkutan.

Mengenai masalah kejawen, Soleh sudah meninggalkan ajaran itu. Entah kenapa ketika berbicara denganku tentang ini dia teringat semua. Sudah takdir katanya. Aku malah di ajari kejawen, seperti, puasa hari kelahiran, zikir sampai tengah malam, mandi kembang, dsb. Aku juga di ajari doa-doa sebelum melakukan pekerjaan. Kata-kata dalam doa itu adalah akulturasi antara kata dari Arab dan Jawa.

Heran aku, dengan jujur Soleh menceritakan pengalaman hidupnya. Apakah ini yang dinamakan pernyataan dari alam bawah sadar seperti kata Sigmund Freud12, bahwa jika dalam kondisi tenang seseorang akan menceritakan pengalaman hidupnya dengan jujur. Dari diskusi dengan Soleh ini aku jadi semakin mengerti bahwa walaupun dia orang jalanan, tapi masih memiliki kebaikan dan kejujuran dalam hati nuraninya13. Dari sini aku mendapatkan pengalaman yang baru. Sekedar tahu saja, Soleh adalah orang ketiga yang memberi aku wawasan tentang kejamnya dunia. Lain waktu saja aku ceritakan kedua orang itu.

Malam semakin larut, aku sudah tidak kuat lagi menahan ngantuk. Soleh juga mengerti keadaanku dan menyuruhku tidur. Dan akhirnya aku tidur dan melakukan perang antar dunia dengan nyamuk, tapi kali ini aku agak cuek karena aku sangat ngantuk sekali

***

Lampiran Ekspresi Foto (all photo by: Agung Collection)

Diambil pada Rabu 7 Mei 2008


  • Suasana pagi hari di penginapan istimewa.


Gb. 11. Jalan gang depan penginapan

Gb. 12. Kamar para laki-laki

Gb. 13. Aktivitas di pagi hari sebelum berangkat























  • Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur.

Gb. 14. Pak Mashuri dan Pak Joko sedang berdiskusi di ruang rapat.

Gb. 15. Diskusi dengan manusia bersuara robot (Hasto Hendarto disebelah kiri) dan Pak Abimanyu.












Gb. 16. Bu’ kedinginan ya??

Gb. 17. Mas jangan ngantuk, masih banyak kerjaan lho…








  • Perpustakaan Gubernur Jawa Timur

Gb. 18. Mas tidur aja, emang gak kerja???





Gb. 19. Aku sedang membaca buku (Keren abiz kan…).







Gb. 20. Pak Joko Sayono memberikan vandel kepada pengurus perpustakaan Gubernur Jatim.













  • Kompleks Makam Sunan Ampel

Gb. 21. Suasana di kompleks Makam Sunan Ampel

Gb. 22. Salah satu gapura di kompleks Makam Sunan Ampel.

Gb.23. Hunter manjadi model dengan memamerkan kalender.

Gb. 24. Masjid Ampel nampak dari Selatan



1 menggelandang

2 Pengembangan minat baca di perpustakaan bisa dilihat dalam Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan; Sebuah Pendekatan Praktis (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) hal. 31-37.

3 Hal ini seperti gambaran dari tokoh Mahar dalam Novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hinata. Tokoh Mahar ini awalnya sangat fanatik pada hal-hal yang berhubungan dengan mistik, tapi pada akhirnya dia sadar. Novel ini sangat bagus, rugi jika tidak membacanya.

4 Diskusi dengan Hasto Hendarto.

5 Melihat Lukluk aku jadi punya pesan moral nomer dua, jika mempunyai gagasan atau ide secepatnya diutarakan.

6 Pelajaran moral ketiga, sebelum bekerja sarapanlah terlebih dahulu bagi yang punya masalah dengan perut

7 Lihat dalam Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1988).

8 Diambil dari Badan Pengelolaan Teknologi Komunikasi dan Informasi Online, diupdate pada 17 Mei 2008.

9 Pelajaran moral keempat, jika berbicara dengan orang jalanan, gunakan kata-kata yang memuji mereka agar orang-orang jalanan itu senang dan mau membantu kita.

10 Tentang Kejawen ini bisa dilihat dalam Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi Di Indonesia, (Yogyakarta: Lkis, 2007).

11 Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1993)

12 Lihat Ferdinand Zaviera, Teori Kepribadian Sigmund Freud, (Yogyakarta: Prismasophie, 2007).

13 Pelajaran moral kelima, kita akan santai berhadapan denga orang jalanan jika mengetahui sisi kepribadiannya yang baik.

3 hari mencari jalan

KATA PENGANTAR


Dalam perkuliahan di Jurusan Sejarah, mahasiswa diberi kajian kuliah lapangan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Karena itulah Jurusan Sejarah membuat kebijakan untuk diadakannya Kuliah Kerja Lapangan pada mata kuliah tertentu. Mata kuliah yang dimaksud adalah mata kuliah yang mempunyai beban jam studi lebih satu dari jumlah beban SKS tiap mata kuliah. Contohnya seperti mata kuliah Sejarah Indonesia Lama yang mempunyai 3 SKS/4 JS, maksudnya adalah bahwa mata kuliah Sejarah Indonesia Lama mempunyai beban 3 SKS dan mempunyai jam studi 4 jam. Sebenarnya dalam perkuliahan Sejarah Indonesia Lama ini hanya 3 jam sedangkan 1 jamnya untuk kuliah di Lapangan1.

Dalam kurikulum Jurusan Sejarah juga ada mata kuliah KKL (Kuliah Kerja Lapangan) Terintegrasi. Maksudnya adalah mata kuliah yang wajib diikuti oleh mahasiswa Jurusan Sejarah yang tujuannya mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari perkuliahan. Dalam KKL Terintegrasi ini mahasiswa melakukan tour ataupun kunjungan ke berbagai daerah atau instasi. Disana mahasiswa akan belajar mengaplikasikan ilmunya atau sekurangnya memperoleh informasi dan sumber untuk persiapan penulisan skripsi.

Untuk mahasiswa Jurusan Sejarah, Program Studi Ilmu Sejarah mengadakan Kuliah Kerja Lapangan Terintegrasi ke Surabaya pada 6-8 Mei 2008 kemarin. Sedangkan rekan-rekan mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Sejarah mengadakan KKL ke Bali. Pada laporan perjalanan ini yang penulis deskripsikan adalah catatan perjalanan dari Surabaya karena penulis adalah mahasiswa dari Prodi Ilmu Sejarah.

KKL Terintegrasi (selanjutnya menggunakan istilah KKL) ke Surabaya ini merupakan yang terbaik, yang paling menegangkan, dan yang paling menarik dari KKL (kecil) yang pernah dilakukan. Terjadi beberapa peristiwa enmalig atau bahkan “berbau” funny dalam perjalanan ini. Semua itu penulis catat dalam sebuah buku saku yang selalu penulis bawa selama perjalanan ke Surabaya.

Pak Joko Sayono selama kuliah pernah berkata “Setangkai Pena, Selembar Kertas, dan Seuntai Kata-kata”, kalimat ini yang menjadi inspirasi penulis untuk membuat laporan perjalanan ini. Karena itulah penulis mencoba menceritakan ada apa saja dalam perjalanan kita (para mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah) dalam format berupa catatan perjalanan. Mungkin ada sedikit/banyak kata atau kalimat yang mengandung sastra untuk memberi variasi penulisan laporan. Tentu saja penulis tahu bahwa sejarah bukan sastra, karena itu untuk menampilkan sisi obyektif dari tulisan ini penulis menampilkan beberapa foto yang diambil dari berbagai tempat yang kami kunjungi. Penulis membagi tulisan ini menjadi tiga bab berdasarkan hitungan hari perjalanan di Surabaya. Dan penulis menggunakan kata “aku” sebagai sudut pandang orang pertama

Penulisan catatan perjalanan ini mungkin banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menyusun kata, dan juga bias dibilang sangat subyektif. Maka dari itu penulis perlu mendapat kritikan dan saran dari pambaca, rekan-rekan mahasiswa, dan dosen pembimbing KKL Terintegrasi. Semoga karya ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi kita semua.



Malang, 15 Mei 2008


Penulis

Day 1st


Pagi hari yang dingin, sebelum subuh aku melakukan kegiatan yang jarang dilakukan, yaitu mandi. Hawa sangat dingin, tapi harus dilaksanakan karena jika tidak pasti akan mengalami ngantuk berat dan mengurangi tampilan (fisik). Hawa dingin seperti es kutub yang sengaja dipindah di bak mandi terpaksa aku tahan demi mendapatkan penampilan dan bau harum yang oke. Selesai mandi, kemudian melakukan sholat Subuh, selanjutnya berangkat ke Kampus Universitas Negeri Malang, kampus yang menjadi tempat perjuangan nasibku.

Pada H-1 kita sepakat untuk berkumpul di depan LPM pada Selasa 6 Mei 2008 jam 5 pagi. Tapi aku tidak ikut berkumpul dulu karena harus mengambil konsumsi bersama dengan “Ibu Negara” julukan Luluk teman seofferingku. Sepeda motorku juga aku titipkan di rumah kos yang seperti istana negaranya “Ibu Negara”. Muter-muter sebentar dengan Luluk untuk mengambil konsumsi setelah itu aku dan Luluk ikut berkumpul di LPM.

Sebenarnya kisah perjalanan “menegangkan” kami berawal di pagi hari di depan LPM. Kita sudah berkumpul, bahkan Pak Mashuri sudah datang awal sekali sebelum kami, mungkin pagi-pagi buta setelah adzan Subuh beliau datang. Kami seperti pengungsi dari Gunung Kelud yang menghindari letusan lava. Tas besar-besar, konsumsi makan, vandel terkumpul seperti Kyokenmondinger2 di depan LPM. Kegiatan pertama kami adalah menunggu dengan gelisah mobil yang akan membawa kami ke Surabaya.

Sungguh diluar rencana yang pernah diutarakan pada H-1, sampai pukul 06.40 mobilnya belum datang. Kami sudah mati kutu menunggu wahana ini. Akhirnya kami sepakat untuk sarapan yang tadi aku dan Luluk ambil. Pada waktu makan aku malihat Hunter yang memang ketua panitia KKL ini sedang gelisah. Tak tawari makan pun dia tidak mau. Bolak-balik dia mengayunkan benda bertombol angka ke telinga. Aku baru melihat Hunter mengalami bingung yang luar biasa. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya sebingung itu. Hunter memang sesungguhnya adalah pria yang santai. aku bertanya kepadanya, siapa yang dia telepon? Dia menelepon Shinta, sekretarisnya yang pada waktu itu mau mengurusi transportasi. Bolak-balok nelpon tidak diangkat. Semakin bingunglah si Hunter, seperti orang yang berburu tapi tidak menemui hewan buruan.

Akhirnya tepat jam 7.00 mobilnya datang. Kedatangan tipe Elf ber warna biru tua yang biasa melintas di Arjosari (Malang)-Bungurasih (Surabaya) ini seperti anugrah yang menghidupi semangat teman-teman yang tadi bosan menunggu. Katanya Shinta, mobil ini lama datang karena masih mengurus surat izin melintas ke kota Surabaya. Ini sudah aku duga, karena di semester 3 aku pernah menjadi ketua panitia KKL Kecil ke Kediri. Dan kami pada waktu itu juga menyewa mobil trayek seperti ini. Sama juga ketika itu datangnya terlambat dengan alasan mengurus surat izin ke Dinas Perhubungan Malang. Akhirnya setelah berdoa bersama, kita berangkat melakukan perjalanan ke Surabaya.

***

Awalnya perjalanan lancar-lancar saja ketika masih di wilayah Malang (utara). Kernet sopir juga masih bisa teriak, “Prei Kiriii!!!3. Tapi ketika kita sampai di Bangil, mulai terjadi kemacetan. Hal ini memang sudah menjadi tradisi di daerah Bangil sampai Porong, Sidoarjo, tapi sejak melubernya semburan gas dan Lumpur dari “kesalahan” Lapindo dalam mengebor tanah, menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang memprihatinkan. Salah satu korbannya adalah kami, Rombongan KKL Terintegrasi. Mobil kami terjebak dalam kemacetan yang luar biasa. Kondisi panas,keadaan kami di dalam mobil seperti terjebak dalam oven untuk menanak sosis, gerah sekali, mau bergerak tidak bisa karena sudah penuh dengan Homo sapiens. Bahkan Pak Joko yang duduk di depan merasakan sangat panas4. Apalagi sopirnya mengajak satu orang lagi. Mobil hanya bisa berjalan perlahan-lahan. Pemandangan di luar hanya ada mobil, sepeda motor, truck, bus, yang berbaris seperti bebek. Yang ada hanya macet, macet, dan macet.

Sudah hampir 1,5 jam kita terjebak dalam kemacetan. Situasi kembali plong ketika kita sudah sampai di kota Delta Sungai, Sidoarjo. Hawa gerah dan panas mulai hilang, ingin rasanya seperti sponsor sprite yang setelah minum sprite bisa mencebur dalam tanah yang berubah menjadi air, SENSASI PLONG. Jalan lumayan padat, karena memang jam kerja. Tapi lancar.

Situasi kembali panas ketika sampai pada kota Surabaya (selatan). Kota yang pada 10 November 1945 menjadi ajang pertempuran seru antara pejuang, laskar, dan Tentara Indonesia dengan tentara Inggris dan NICA ini sangat padat. Aku malah teringat pada peristiwa itu. Bagaimana keadaan Surabaya pada waktu itu sangat panas karena mesiu dan mortir, digempur dari darat, laut, dan Udara. Sungguh luar biasa perjuangan Arek-Arek Surabaya pada waktu itu5. Tapi sayang perjuangan itu terlihat paradoks dengan situasi dan kondisi Surabaya yang sekarang.

Melintas di Jl. A. Yani keadaan masih macet. Kernet yang tadi diajak sopirnya berteriak-teriak “Awas Sikilee!!!6. Sungguh padat lalu lintas di sana. Sebutan kota metropolis ke-2 setelah Jakarta agaknya memang pantas untuk Surabaya. Kepadatannya, panasnya, rumah-rumah dan gedung-gedung yang saling berebut tanah. Itulah Surabaya, kota pesisir yang pada abad 17 pernah di serang yang kemudian pernah di kuasai oleh Sultan Agung dengan strategi membendung Sungai Mas dan memberi kotoran agar Pasukan Adipati Surabaya kekuatannya melemah7.

Perjalanan yang sangat lama, karena macet sehingga kita sampai pada tujuan pertama, yaitu di Badan Arsip Propinsi Jawa Timur di Jl. Jagir No 350, Wonokromo jam 10.15. Kita disambut dengan sederhana oleh Bapak Syawal yang sudah kukenal Karena aku dan Hunter pernah survey ke Badan Arsip Jawa Timur, kemudian setelah laporan kita berkumpul di ruang baca. Acara diskusi dibuka oleh Pak Rahmat Hidayat.

Badan Arsip Jawa Timur ini menyimpan beraneka macam arsip, tentu saja yang berjenis arsip statis8. Arsip-arsip tersebut tersimpan di depo arsip yang gedungnya terletak di samping kantor badan arsip. Dalam depo ini tersimpan arsip-arsip baik dari jaman Pemerintahan Hindia Belanda sampai Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Jadi jika dirunut dalam tahun menurut Bu. Ismi adalah paling tertua tahun 1869 sampai 1949. Masih arsip-arsip yang tersimpan dalam depo, di sini terdapat rak-rak tempat peletakan arsip. Arsip dalam rak-rak tersebut berisi arsip dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti, Nganjuk, Blitar, Sidoarjo, dsb. Jadi jika kelak aku nanti akan menulis skripsi tentang Kertosono (Nganjuk) arisp pertama yang aku lihat adalah arsip Residentie Kediri, kemudian arsip daerah Nganjuk. Di dalam depo arsip juga terdapat kotak-kotak besar seperti koper yang berukuran super-super jumbo, mungkin ukurannya 3mx3m (seperti kamar kosku). Isi dari kotak ini adalah arsip-arsip yang umurnya tertua diantara arsip yang lain (dari jaman Pemerintahan Hindia Belanda).

Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam gedung depo arsip. Kita bisa masuk Karena “rayuan” dari dosen pembimbing kita, apalagi Pak Mashuri, wah beliau ini yang paling “lihai” jika merayu. Ditambah lagi rombongan kami membawa nama instansi yaitu UM (Universitas Negeri Malang). Jika hanya pengunjung biasa hanya diperbolehkan melihat katalog yang disediakan dikantor (ruang baca/perpustakaan), jika ingin meminta arsip, akan diambilkan oleh petugas dari dari depo arsip. Jadi kami termasuk orang yang beruntung bisa masuk ke dalam secrhet room di Balai Arsip Propinsi Jawa Timur.

Kembali di ruang baca/perpustakaan. Di sana disediakan beberapa buku baik tentang sejarah maupun pengetahuan umum dan katalog. Juga terdapat layanan internet. Aku sempat memetakan informasi dari ruang ini walaupun Cuma sedikit. Untuk katalog terdapat:

  1. Staatblad Van Nederlansch Indie over het jaar 1869.

  2. Staatblad Van Nederlansch Indie over het jaar 1879.

  3. Provinciaal Blad.

  4. Verslag 1 Nederlansch Indie.

  5. Verslag 2 Nederlansch Indie.

  6. Lanbouw

  7. Begrooting Van Nederlansch Indie.

  8. Inventaris Arsip Kartografi.

  9. Palang Merah Indonesia terbitan tahun 2006.

Selain katalog di atas juga terdapat Verslag van Overgave (laporan serah terima jabatan) yang dibukukan. Juga ada arsip yang berupa microfilm, rekaman kaset dan rekaman visual. Hal ini merupakan usaha pengalihmediaan arsip supaya bisa tahan lama dan praktis.

Sayang sekali kami hanya sampai jam 12.00 jadi tidak puas hanya dengan berkunjung. Tapi setidaknya kami sudah tahu prosedur untuk mencari arsip jika salah satu atau salah dua dari kami berkunjung ke Badan Arsip Jawa Timur lagi dengan tujuan mencari sumber sejarah yang berupa arsip.

Setelah memberikan vandel, foto-foto, dan berpamitan kami melanjutkan perjalanan lagi menuju instansi berikutnya yaitu Universitas Airlangga (UNAIR).

***

Sebelum berangkat aku tadi sempat cemas. Ketika kami diskusi di ruang baca Badan Arsip Jawa Timur terdengar suara mobil kami meraung-raung seperti singa yang kakinya tertusuk ranting pohon. Ternyata mobil kami mempunyai masalah dengan kawat gasnya yang hamper putus. Tapi untunglah bisa diperbaiki, jadi kami bisa melanjutkan perjalanan.

Panas sekali cuaca di Surabaya, bisa membuat orang emosi jika terkena masalah. Itulah yang terjadi pada rombongan kami. Ternyata sopir kami tidak tahu jalan di Surabaya, kalau sampai Wonokromo tentu saja sudah tahu, tapi di kota mereka (sopir dan kedua kernetnya) tidak tahu jalan. Padahal ketika Ubed dan Shinta membuat kontrak, sopirnya bilang bahwa Surabaya adalah trayenya, tapi apa buktinya, He lied9. Suasana tegang kembali menyelimuti. Dengan emosi sopir dan kernet bertanya pada tukang becak, Satpam, dan beberapa orang. Jadinya kami muter-muter jalan di Surabaya. Seperti yang aku alami dengan Hunter ketika survey, kita sempat muter-muter tidak tahu jalan. Bahkan Tanya Polisi, Polisinya malah tidak tahu.. Ubed dan Khoiruddin yang naik vespa di depan mobil kami juga muter-muter, vespanya malah seperti bajaj bagiku. Sopirnya malah bicara yang kurang jelas, maklum dia tidak bisa bilang “r”, jadi pada waktu ngomong ke kernetnya,”Leh, llrrlluuul belok killri apa kanan!!!”, “Ayoo Tanya ollrang lagi!!!”. Waduh malah seperti orang belajar ngomong.

Satu hal yang menarik dan lucu, sopir dan kedua kernet kami ternyata sangat takut pada Polisi. Jika ada Polisi jaga di Pos, candela mobil di sebelahnya sopir langsung ditutup. Wah aku jadi agak besar kepala, apakah ayahku yang juga Polisi sebegitu ditakuti oleh sopir angkot?.

Suasana semakin panas saja seperti pertandingan Bulutangkis yang kedua pemain berkejaran angka. Aku lihat teman-teman memasang wajah tegang, apalagi dengan gaya nyetirnya sopir kami yang kasar, kontan kami seringkali berguncang ketika mobil mengerem. Kedua dosen pembimbing kami Cuma geleng-geleng kepala. Sempat aku bertanya pada Hunter, apa yang dia pikirkan sekarang, jawabnya simple, “Gua pengen di Malang sekarang.”.

Mobil masih melaju muter-muter. Tapi dengan doa dan usaha yang keras tentunya akhirnya kami sampai di Universitas Airlangga Jl.Airlangga No.4-6, Surabaya. Aku langsung menghela nafas dan berucap syukur, tapi cobaan masih berlanjut.

Jam tangan di lenganku menunjuk pukul 12.43. Kami berkumpul di ruang rapat Jurusan Sejarah Unair. Kami di sana di sambut dengan mengenyangkan. Di ruangan itu berkumpul beberapa dosen dan beberapa mahasiswa, dan juga Ketua Jurusan Sejarah, serta Dekan Fakultas Sastra yang sekarang di Unair Fakultas Sastra berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Setelah berkenalan sejenak, kami dipersilahkan makan nasi kotak yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Aku agak sedikit jengkel pada nasi kotakku, tempat nasi terbalik yang seharusnya ada dibagian bawah kotak, punyaku di bagian atas, jadi sulit untuk makan. Aku juga melihat Ubed yang makan tanpa sendok, seperti orang desa saja. selesai makan kami istirahat dan sholat Dhuhur. Kami di antar oleh Mas Latif dan dua juniornya menuju musholla. Kedua junior Mas Latif ini agak kurang enak kalau di ajak ngobrol. Eman lho padahal yang perempuan berjilbab lumayan manis dan yang laki-laki tingginya seperti aku dan kurus.

Selesai sholat Dhuhur kami kembali lagi ke ruangan Jurusan Sejarah untuk melanjutkan diskusi. Diskusi sangat menarik, kami saling bertukar pikiran tentang kurikulum. Jadi ada perbandingan antara Jurusan Sejarah UM dengan Jurusan Sejarah Unair. Ada semacam spesialisasi ilmu dalam Jurusan Sejarah Unair ini. Mereka membuat kurikulum yang berorientasi pada Sejarah Perkotaan. Dosen-dosennya pun juga mempunyai latar belakang ilmu tentang Sejarah Kota10. Mayoritas dosennya berasal dari UGM (Universitas Gajah Mada).

Spesialisasi pada Sejarah Kota bisa dilihat dari kurikulum mata kuliah di Jurusan Sejarah Unair. Mahasiswa diberi mata kuliah yang berhubungan dengan Sejarah Kota, seperti, Sejarah Perkotaan, Anthropologi Perkotaan, Sosiologi Perkotaan, Psikologi Perkotaan, Sejarah Jatim 1 dan 2, dan mata kuliah yang lain yang berhubungan dengan Sejarah Kota. Menurut Ketua Jurusan Sejarah (waduh aku lupa namanya) spesialisasi ilmu ini adalah belum pernah di lakukan Universitas yang lain, seperti misalnya UI (Universitasn Indonesia) spesialisasinya pada Sejarah Politik, UGM spesialisasinya pada Sejarah Desa, Undip (Universitas Diponegoro) spesialisasinya pada Sejarah Maritim, dsb.

Bagaimana dengan universitas kami? Sempat aku berpikir bahwa Universitas Negeri Malang (UM) tidak mempunyai spesialisasi. Hal ini bisa dilihat di kurikulum mata kuliah dan latar belakang dosen pembimbing. Dosen-dosen di UM mempunyai latar belakang pengetahuan yang beragam. Pak. Haryono Kajur kami memiliki latar belakang Sejarah Politik Kotemporer, Pak Joko Sayono latar belakangnya Sejarah Sosial Keagamaan, Pak Mashuri latar belakangnya Sejarah Politik Revolusi Kemerdekaan RI. Pak Dewa Agung juga Sejarah Politik. Kurikulum mata kuliah di Jurusan Sejarah UM pun kalau menurutka juga tidak spesialisasi, hanya di bedakan antara kajian untuk Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah. Tapi itu tidak menjadi masalah bagiku, bagi rombongan kami. Pada saat pembuatan skripsi akan nampak dimana teman-teman akan sadar posisi kalau kata Pak Dr. Haryono.

Walaupun begitu sebenarnya Jurusan Sejarah UM mempunyai spesialisasi di bidang Sejarah Kebudayaan. Jika kami ngomong tentang candi, situs, arca, prasejarah, kita tidak kalah dan sangat menguasai. Buktinya adalah ketika aku diminta tolong oleh teman-teman dari Surabaya yaitu dari Unair dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya) untuk menjelaskan tentang histories dari Candi Badut kemarin Sabtu 17 Mei 2008. Terlihat ketika mereka melihat Candi Badut mereka belum paham betul tentang teori bangunan candi. Karena itulah untuk memperkuat keilmuan kami dalam bidang Sejarah Kebudayaan, dalam kurikulum mata kuliah kami dibekali mata kuliah Geohistori.

Satu lagi yang bagiku menarik perhatian, yaitu tentang keterlibatan mahasiswa dalam penelitian atau proyek dari para dosen. Walaupun ada mahasiswa yang masih belum mempunyai pengalaman dalam meneliti, mereka ikut dilibatkan dalam proyek. Dari sini mereka bisa tahu dan mengerti tata cara meneliti secara langsung. Semoga di UM juga begitu, karena selama aku kuliah di UM belum pernah aku melihat dosen mengajak mahasiswa aktif dalam membantu proyek atau penelitiannya. Mungkin yang diajak mahasiswa tertentu saja, yang alasannya aktivis lah, IP di atas rata-rata lah dan apa lah. Maka dari itu mari kita saling bahu membahu dalam mewujudkan Ilmu pengetahuan di bidang Sejarah yang The Best.

Di Unair juga ada koleksi benda-benda purbakala di museum mininya. Tapi benda-bedan tersebut hanya kisaran dari jaman Hindia Belanda. Kalau arca-arca dan batu-batu mereka tidak punya.

***

Akhirnya setelah menyerahkan vandel dan mengucapkan salam perpisahan, rombongan kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah pulang ke penginapan. Masih saja muter-muter. Kami mencari penginapan kedua dosen kami yaitu Green House di Ketintang. Malah kami kesasar di Telkom, ngapain kami ke Telkom, perasaan kami semua tidak membawa telepon rumah?? Tapi akhirnya kami sampai di Green House sebelum Maghrib. Hotelnya lumayan bagus dan bersih itulah penginapan dari kedua dosen kami.

Berhenti sejenak untuk melepas ketegangan. Aku lihat Hunter berdiskusi dengan sopir dan kedua kernetnya. Aku pun juga mendekat. Sopir mengusulkan pada kami untuk tujuan selanjutnya adalah yang paling jauh dulu baru yang terdekat terus pulang ke Malang. Aku sudah muak dengan orang-orang jalanan ini, mereka sak penake dewe11 mengatur kami, padahal seharusnya kami yang mengatur mereka. Tapi Hunter, Ketua Pelaksana kami melakukan pendekatan-pendekatan seperti melakukan penelitian kualitatif.

Perjalanan dilanjutkan kembali, kami dibantu oleh saudara sepupu Mimin (panggilan Umi Fitria) untuk menunjukkan jalan ke penginapan kami. Mobil terus berjalan, wah jauh sekali penginapan kami dengan penginapan dosen!! Ternyata penginapan kami masuk ke perkampungan penduduk, masuk gang. Alamatnya kalau tidak salah di Jl. Pagesangan nomernya aku lupa.

Ketika mobil berhenti aku menoleh ke arah kanan, inikah penginapan kami? Bayanganku tidak seperti itu, penginapan ini ternyata rumah kos tapi tak ada bedanya dengan rumah biasa. Kamar bagi laki-laki pun sangat istimewa. Di sana tidak ada kasur Cuma karpet dan kasur gulung yang sudah cemet. Aku sangat berterima kasih pada teman-teman yang sudah mencarikan penginapan istimewa ini. Setidaknya mereka berupaya untuk mencari penginapan yang murah. Aku sempat jengkel juga. Aku dan Hunter sudah mengelilingi Malang untuk mencari Travel yang sekiranya murah, tapi ternyata ada teman kami (aku tidak menyebut merek) yang bersikukuh menyewa kendaraan angkutan umum yang lebih murah dan penginapan yang juga lebih murah. Ya tidak apa-apalah mereka juga telah berjuang mencari dan teman-teman yang lain pun banyak yang setuju dan menurut saja.

Jam 18.30 kami tiba di penginapan. Kegiatan pertama yang akan aku laksanakan adalah mandi. Tapi waduh, ternyata yang mandi antri banget. Akhirnya aku mengalah, baru jam 8.00 aku mandi. Airnya tidak sedingin di Malang, terkesan hangat. Mungkin karena tercemar lingkungan yang sudah terkena polusi.

Lelah sekali aku, setelah makan dari jatah konsumsi ingin rasanya tidur di kasur kamar kosku. Sebelum tidur aku membantu Hunter merekap judul buku dan majalah yang tadi diberi oleh Badan Arsip Propinsi dan Unair sebagai kenang-kenangan. Lumayan banyak buku yang kita dapat, nanti belum yang instansi selanjutnya.

Selesai merekap buku aku mau tidur. Sempat terganggu aku oleh ulah para orang jalanan yang ramai sendiri. Tapi aku cuek saja, aku tidur. Ternyata gangguannya belum berakhir. Musuh selanjutnya yang datang adalah para serangga penghisap darah, nyamuk. Mereka seperti pesawat F18 yang terbang kesana kemari, meraung-meraung di atas daun telinga dan siap mengebom apa saja yang berbentuk kulit. Nyamuk-nyamuk itu siap menusukkan mulut pedangnya tanpa pandang bulu. Tidak heran keesokan harinya muka para laki-laki menjadi berbintik, karena semalam berperang dengan nyamuk seperti peristiwa pengeboman Pearl Harbour oleh pasukan Jepang.

***

Lampiran Ekspresi Foto

(All Photo By: Agung collection)

Diambil pada 6 Mei 2008.


  • Badan Arsip Propinsi Jawa Timur.

Gb 1. Pak Rahmad membuka acara diskusi.

Gb. 2. Bu. Ismi Memberikan Informasi.

Gb. 2. Pak Mashuri dengan senyum dan rayuan khasnya.

Gb 3. Pak Joko Sayono dengan asistennya.

Gb. 3. Rak penyimpanan Arsip.

Gb. 4. Kotak besar tempat penyimpanan Arsip tertua (Foto, Agung Collection).


Gb. 5. Mas jangan ngantuk, habis bergadang ya…

Gb 6. Penyerahan Vandel oleh Pak Mashuri kepada Pak Syawal.











Gb.7. Pak Joko, teman-teman dan wahana yang membawa kami.













  • Universitas Airlangga


1 Tentunya bukan 1 jam saja, tapi selama satu haru penuh mengadakan kuliah kerja lapangan. 1 jam tersebut hanya simbolis dari satu hari.

2 Mengenai Kyokenmondinger bisa dibaca dalam R.P. Suyono, Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, masa Prasejarah Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).

3 Kata ini biasa diucapakan kernet mobil angkutan umum. Kata ini diucapkan ketika mobil akan menyalip dan keadaan jalan samping mobil yang kosong atau tidak ada kendaraan lain.

4 Pembimbing KKL Terintegrasi kami ke Surabaya adalah Bapak Drs. Mahuri, M.Hum dan Bapak Drs. Joko Sayono, M.Pd, M.Hum.

5 Untuk bisa mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai situasi dan kondisi Surabaya bisa dilihat dalam Frederick H, William.,Pandangan Dan Gejolak Masyarakat Kota Dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta: Gramedia, 1989).

6 Awas kakinya, perlu diketahui bahwa nama sopir kami adalah Taufik, kedua keretnya bernama Soleh (tua) dan Irul (muda dan gak plontos).

7 Keterangan mengenai serangan ke Surabaya ini bisa dilihat dalam Serat Trunojoyo, dan Babad Sultan Agung, juga bisa dilihat dalam Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Masa Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993).

8 Berdasarkan jenisnya arsip dibedakan menjadi arsip statis dan arsip dinamis. Untuk lebih jelasnya lihat Wursanto, Kearsipan I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 29.

9 Pelajaran Moral Pertama: jangan percaya pada omongan sopir angkot.

10 Hal ini biasanya bisa dilihat dari karya tulis (Tesis maupun Desertasi) dari dosen.

11 Semaunya sendiri