Sabtu, 05 April 2008

nganjuk

NGANJUK
PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN INDONESIA
1947-19491
Oleh:
Agung Ari Widodo
(305262479251)2
Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti
(Dewa 19)
Abstrak
Salah satu bentuk perlawanan fisik dalam mempertahankan sesuatu adalah dalam bentuk perang. Perang dilakukan ketika diplomasi gagal. Rakyat Indonesia yang tidak mau tunduk terhadap penjajah melakukan perlawanan. Kemerdekaan Indonesia merupakan titik puncak perjuangan bangsa Indonesia. Proklmasi yang dikumandangkan oleh Soekarno merupakan awal dari proses menata kembali kehidupan bangsa Indonesia yang berantakan akibat dari imperialis. Ketika Pasukan Sekutu dan NICA datang ke Indonesia, menimbulkan banyak ketegangan. NICA yang notabene Belanda ingin kembali menguasai Indonesia. Satu-persatu wilayah Indonesia dikuasai Belanda yang memenangkan perundingan. Elit negara, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir ditangkap. Dalam hal ini TNI yang baru terbentuk tidak tinggal diam. Mereka melakukan strategi gerilya dalam menghadapi tentara Belanda. Di berbagai daerah di Indonesia mengalami pergolakan dalam revolusi fisik ini, termasuk di daerah Nganjuk. Daerah Nganjuk yang dikelilingi oleh perbukitan memudahkan para pejuang untuk melakukan perang gerilya. Dengan dibentuknya Batalyon Sriti, pejuang-pejuang Indonesia di Nganjuk bisa melakukan konsolidasi.
Sekitar Proklamasi dan Pembentukan Tentara Indonesia
Setelah Jepang beretekuk lutut kepada pihak sekutu pada 14 Agustus 1945, maka selesailah Perang Dunia II. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Jadi antara 14 sampai 17 Agustus terdapatlah kekosongan kekuasaan di Indonesia secara formal, walaupun secara faktual, Jepang masih memegang kekuasaan.3 Ini sesuai dengan perintah Sekutu kepadanya, untuk menjaga ketertiban di Indonesia sambil menunggu datangnya pasukan Sekutu ke daerah ini. Pada saat-saat “kekosongan kekuasaan“ inilah terjadi kegiatan-kegiatan yang luar biasa di Indonesia untuk mengadakan suatu maklumat kemerdekaan. Hal ini mutlak penting, sebab dengan demikian Indonesia berarti bangkit berdiri mengurus dirinya sendiri, yang sudah tentu bertentangan dengan konsep sekutu dan khususnya Belanda yang bersiap-siap untuk datang kembali ke Indonesia (Dekker, 1997: 100).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, langkah selanjutnya yang dilakukan negara yang masih muda ini adalah membuat aparatur negara, yaitu: Memilih Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, membuat UUD, dan mendirikan Komite Nasional Indonesia (KNI). Kemudian KNI mempertimbangkan apakah perlu mendirikan Tentara Republik Indonesia atau tidak. Dari pertimbangan-pertimbangan itu, akhirnya diputuskan untuk membentuk suatu badan resmi, yaitu BKR (Badan Keamanan Rakyat). Badan ini bukan tentara resmi negara republik Indonesia, melainkan hanya sebuah badan/tentara semi militer yang bertujuan menjamin ketentraman umum (Adeng, 1995: 25).4 Dengan dibentuknya tentara semi militer, maka sifatnya akan lebih fleksibel, seolah-olah bisa diperbantukan ke pasukan Sekutu, untuk dijadikan sebagai pasukan membantu Sekutu dalam upayanya untuk melucuti tentara Jepang. Juga pasukan yang dipakai untuk menjaga keamanan negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu.
BKR dibentuk pada 22 Agustus 1945, dan baru setelah tanggal 30 Agustus secara resmi disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui KNI berbagai pelosok tanah air. Pembentukan BKR di daerah-daerah didasarkan dan menurut susunan administrasi pemerintahan sipil saat itu yakni propinsi, karesidenan, kabupaten/kotamadya, kawedanan, kecamatan dan seterusnya sampai dengan Rt. Kepala Badan Keamanan Rakyat dari pusat sampai daerah menjadi anggota pengurus harian BPKKP. Untuk menjadi kepala BKR harus menjalankan pekerjaannya dengan sukarela (Adeng, 1995: 26). BKR ini terdiri atas pemuda-pemuda bekas PETA, HEIHO, KNIL (yang berjiwa RI).
Banyaklah senjata Jepang yang dapat direbut oleh laskar-laskar ini.5 Bentuk “Keamanan Rakyat“ sebagai suatu “Badan“ dirasakan kurang efektif. Sebagai suatu negara yang merdeka, Republik Indonesia memerlukan penjagaan keamanan yang kuat. Demikianlah kemudian pada 5 Oktober 1945, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR)6. Mayor (KNIL) Oerip Soemohardjo diberi tugas oleh pemerintah untuk membentuk tentara ini. Kemudian pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Sebagai Menteri Keamanan Rakyat, diangkatlah Soepriyadi (6-10-1945), bekas pemimpin pemberontakan Peta di Blitar di masa Jepang (tetapi tidak pernah hadir untuk memegang jabatan itu) (Dekker, 1997: 119).
Markas tertinggi TKR ada di Yogyakarta. Pada bulan November 1945 diadakanlah Konferensi TKR, Kolonel Soedirman sebagai Panglima Besar. Pada 18 Desember 1945, ia diangkat sebagai Panglima Besar, dengan pangkat Letnan Jenderal, dan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Stafnya.7
Pada 26 Januari 1946, diubahlah TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui dekrit Presiden. Ditegaskan pula dalam Dekrit Presiden itu, bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi Militer Negara RI. Susunannya akan ditujukan kepada bentuk ketentaraan yang sempurna. Pada Mei 1947, diputuskan dengan Penetapan Presiden untuk mempersatukan TRI dengan laskar-laskar rakyat agar menjadi satu organisasi tentara, dan pada 3 Juni 1947 diubahlah TRI menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Dekker, 1997: 120).
Agresi Militer I Belanda (1947)
Setelah perjanjian Linggarjati (15 November 1946) resmi tercapai, sebab sudah disahkannya oleh masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat dari yang berselisih itu, Belanda masih berusaha terus-menerus melaksanakan politiknya yang mengahantam Republik Indonesia.8
Menurut Dekker (1997: 157), pada suatu saat Belanda mengeluarkan suatu interpretasi atas bunyi Perjanjian Linggarjati itu, yang sangat sukar diterima oleh Republik Indonesia.9 Dalam Dekker (1997: 157) interpretasinya adalah:
Sebelum Negara Indonesia Serikat Terbentuk nanti pada 1 Januari 1949, harus dibentuk pemerintahan peralihan di Indoensia yang dikepalai oleh Wakil Tinggi Mahkota. Interpretasinya ini ditulis dalam suatu nota yang kemudian disampaikan kepada RI pada 27 Mei 1947. Nota ini ditolak sebab RI berpendapat bahwa isi nota itu tidak sesuai dengan jiwa Perjanjian Linggajati.
Sementara itu terjadilah krisis kabinet di Yogyakarta dengan jatuhnya Kabinet Sjahrir dan kemudian dibentuknya Kabinet Amir Sjarifoeddin pada 3 Juli 1947. Partai Sosialis yang sedang berkuasa mengalami keretakan di dalam dirinya, yang beberapa lama kemudian Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia yang memisahkan diri dari kelompok Amir. Kesempatan ini dipergunakan oleh Van Mook. Pertama, RI menolak notanya yang menurut pendapatnya adalah sesuai dengan perrjanjian Linggarjati dan kedua, krisis Kabinet di Yogyakarta baru saja teratasi, jadi belum kuat keadaannya. Ia mengumumkan sikapnya pada 20 Juli 1947, bahwa Belanda tidak mau berunding dengan RI dan menyatakan tidak terikat lagi dengan Perjanjian Linggajati itu.
Demikianlah pada tanggal 21 Juli 1947 (tepatnya 20 Juli 1947 pukul 24.00) Belanda (kombinasi tokoh van Mook – Jenderal Spoor) melakukan agresi militernya. Agresi ini dikenal dengan nama Agresi Militer I. Belanda sendiri menyebut agresi itu aksi polisionil, dengan alasan bahwa seluruh Indonesia ini adalah wilayah kekuasaannya yang utuh, setelah ia menyatakan diri tidak terikat lagi oleh Perjanjian Linggajati tersebut (Dekker, 1997: 157).
Agresi itu dilancarkan di Jawa dan Sumatera, yang menurut perjanjian Linggajati, de facto diakui sebagai wilayah Republik Indonesia. Menurut Anwar (dalam Dekker, 1997: 158), tujuan agresi itu ialah menduduki kota-kota besar dan daerah-daerah penting di pulau tersebut yang secara ekonomis penting artinya bagi keuangan Belanda. Disamping itu untuk mempersempit wilayah RI yang riil. Demikianlah Agresi Militer I ini yang dilancarkan pada bulan Juli 1947, Belanda berhasil menduduki daerah-daerah penting Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah sebelah utara, sebagian Jawa Timur, Madura, sebagian Sumatera Timur.
Serangan-serangan ini mendapat perlawanan yang gigih dari TNI dan rakyat. Pendudukan daerah-daerah yang tertentu sebagai hasil dari Agresi Belanda itu, oleh Belanda dijadikan basis tawar-menawar, bila nanti diadakan perundingan dengan RI (Dekker, 1997: 158).
Agresi Militer II Belanda (1949)
Upaya diplomasi dilakukan pihak Republik Indonesia untuk menghentikan pertikaian dengan Belanda. Amerika Serikat kemudian menjanjikan adanya tempat perundingan di suatu tempat yang bebas, sesuai dengan kehendak Pemerintah Indonesia, yang bebas dari pendudukan Belanda maupun RI. Tempat ini adalah sebuah kapal, yang bernama Renville (sehingga nantinya persetujuan yang dibuat di atas kapal ini dinamakan Persetujuan Renville tanggal 17 Januari 1948) (Dekker, 1997: 162).
Isi perjanjian Renville adalah:
12 pasal Asas Politik
6 pasal Asas-asas tambahan dari tanggal 19 Januari 1948.
Isi Pokok dari 12 asas-asas politik itu, pada hakekatnya sama dengan Perjanjian Linggajati. Hanya saja wilayah kekuasaan pemerintah RI tidak lagi diakui de facto seluruh Jawa, Madura, dan Sumatera (di Jawa tinggal separuh, di Sumatera 4/5 bagian, akibat Agresi Militer I).
Isi pokok 6 tambahan yang diajukan KTN, untuk dasar perundingan nanti di dalam penyelesaian politik. Contohnya tentang kedaulatan atas seluruh Hindia Belanda akan berada di tangan Kerajaan Belanda sampai batas waktu tertentu. Setelah itu, kedaulatan diserahkan kepada Negara Indonesia Serikat. RI sendiri akan berstatus sebagai negara bagian (Dekker, 1997: 163). Persetujuan ini ditandatangani oleh Amir Sjarifoedin dari Pihak RI dan Abdulkadir Widjojoatmojo dari pihak Belanda.10
Persetujuan Renville membawa banyak kesulitan, terutama bagi Pemerintah Republik Indonesia. Demikian pula TNI yang pada dasarnya tidak menyetujui persetujuan itu. Mereka harus meninggalkan daerah-daerah strategis yang dikuasainya yang kini harus dikosongkan karena termasuk kekuasaan Belanda, terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Persetujuan Renville membawa banyak kerugian bagi Republik Indonesia, terutama dalam hal pengosongan daerah-daerah kantong. Belanda banyak mendapatkan banyak keuntungan dari atas daerah-daerah strategis, kemudian mulai menciptakan negara-negara bagian.
Pada hari Minggu, 19 Desember, diserbunyalah Yogyakarta. Seluruh kekuasaan Belanda dikerahkan untuk serbuan yang besar ini. Mula-mula rakyat Yogyakarta tidak curiga atas adanya kapal terbang yang meraung-raung di angkasa. Ini memang beralasan, karena ada berita kalau hari itu akan ada latihan perang-perangan yang dilakukan oleh TNI sendiri. Tetapi ketika pesawat-pesawat itu melakukan tembakan-tembakan gencar dan kemudian terdengar tembakan senjata otomatis dari lapangan terbang Maguwo, maka sadarlah rakyat bahwa mereka sedang diserbu musuh secara mendadak. Kota Yogyakarta praktis tidak dapat dipertahankan. Sebelum pemimpin RI tertawan, maka diberilah kuasa kepada Sjafroeddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan darurat Republik Indonesia.
Mengenai masalah militer, TNI sama sekali tidak menyerah kepada Belanda dan perlawanan dilakukan secara gerilya. Memang semula Belanda minta kepada Presiden Soekarno untuk mengeluarkan perintah kepada TNI agar menghentikan perlawanan. Permintaan itu ditolaknya, karena dalam posisi ditawan musuh, Presiden tidak berhak mengeluarkan perintah kepada TNI. Dengan lain perkataan, dapat disebutkan bahwa tidak ada pihak-pihak yang menyerah kepada Belanda, walaupun Presiden dan Wakil Presiden RI berhasil ditawan.
Perjuangan Rakyat Nganjuk Terhadap Agresi Militer Belanda
Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk merupakan salah satu dari 37 Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang berada di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Berdaasarkan hasil penggalian dan penelitian lapangan, museum, perpustakaan dan Arsip Nasional ternyata Nganjuk telah dikenal sebagai daerah perjuangan bangsa yang sangat menentukan dalam perkembangan nasional selanjutnya.
Pada awal abad X, setelah berakhirnya masa pemerintahan Raja Wawa dari Kerajaan Hindu Mataram di Jawa Tengah, Pu Sindok telah memindahkan kekuasaan kerajaan Mataram kuno tersebut ke Jawa Timur dan mendirikan dinasti baru yang bernama Dinasti Isyana. Nama Isyana diambil dari gelar resmi Raja Sindok yaitu Pu Sindok Sri Isyana Wikramma Dharmmotunggadewa. Wilayah kerajaan Pu Sindok tidak begitu luas dengan daerah-daerah batas yang disebutkan seperti Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur, Surabaya di utara dan Malang di Selatan. Pemindahan kekuasaan dan pusat pemerintahan ke Jawa Timur di atas dilakukan berhubung keadaan kerajaan yang semakin suran dan dirasa kurang aman dan setelah sebelumnya Pu Sindok memperoleh kemenangan yang gilang gemilang melawan tentara musuh dari kerajaan Sriwijaya di suatu wilayah yang bernama “ANJUK LADANG“ (Boechari, 1984: 157-158).
Sebagai rasa syukur dan untuk memperingati suatu peristiwa bersejarah dalam perjuangan melawan musuh tersebut di atas kemudian Pu Sindok mengeluarkan maklumat untuk mendirikan sebuah Candi (Jayamerta) dan sebuah monumen (tugu) kemenangan (Jayastamba) disuatu tempat yang bernama Anjuk Ladang, tepatnya di desa Candi sebelah utara (Candi Lor). Dalam prasasti Anjuk Ladang tersebut dapat terbaca suatu penanggalan yaitu 10 April 937 M, dimana selanjutnya diputuskan menjadi Hari Jadi Nganjuk, dan kemudian ditetapkan manjadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk (Harimintadji dkk, 1994: 17).
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, ada peristiwa tentang perpindahan pusat pemerintahan dari Brebek ke Nganjuk. Perpindahan pusat pemerintahan ini dilakukan oleh KRT. Sosrokoesoemo III (1878-1901). Berdasarkan Encyclopaedie van Nederlandch Indie’s Grovenhoge: Mertimes Nijhoff, 1919, halaman 274-275), terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa ibukota Berbek adalah wilayah yang terisolir, karena ini tentunya sulit untuk berkembang, kebetulan pada waktu itu sedang dilaksanakan pembangunan jalur kereta api jurusan Surabaya-Solo, sehingga ibukota kabupaten dipindahkan ke Nganjuk yang dekat dengan jalur kereta api, strategis, dan lebih mudah dalam perhubungan dan komunikasi dengan lihak luar (Harimintadji dkk, 1991: 64)11.
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa Republik Indonesia memiliki tentara secara resmi baru pada bulan Oktober 1945, dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tentang pembentukan TKR tanggal 5 Oktober 1945. Sebelumnya rakyat masih tergabung dalam badan-badan, kesatuan-kesatuan dan laskar-laskar perjuangan yang bersifat spontanitas.
Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kediri terbentuk pada 22 Agustus 194512, yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda militan mantan anggota PETA, HEIHO, KNIL, KEISATSUTAI, SEINANDAN,dan KEIBODAN yang dikomandani oleh Frislan Soeratmodjo. Kemudian berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, maka BKR ini diubah menjadi TKR. Untuk kabupaten Kediri menjadi Batalyon TKR Kediri (Batalyon III) dengan komandan Mayor Frishlan Soerjatmodjo (Harimintadji dkk, 1994: 91).
Pada tanggal 17 Desember 1948 ditetapkan Yon 22 di bawah Komando Brigade II Divisi I Jawa Timur. Kemudian untuk menghindari overlapping tugas dn mobilitas antar Batalyon di lingkungan Brigade II, maka tiap kesatuan batalyon diberi tambahan nama burung. Untuk Batalyon 22 menjadi Batalyon 22/Sriti. Hasil konsolidasi Yon 22/Sriti ini Kapten Kasihin menjadi Danki II yang mendapat tugas di Pare, Bodas, dan sekitarnya (Harimintadji, dkk, 1994: 92). Pada saat Kompi II bertugas di daerah Kandangan, Pare, dan Bodas, pasukan Belanda menerjunkan pasukan parasutnya di ladang sawah sekitar desa Mertojoyo (sebelah utara Purwoasri). Posisi Kompi II digempur oleh Belanda dari udara dan darat, sehingga pertempuran sengit terjadi antar kedua belah pihak tidak dapat dihindarkan lagi dan dalam pertempuran ini Letda Oermarwira Dan Seksi I gugur.
Pada konsolidasi berikutnya Danyon 22 Sriti dipegang oleh Mayor Soerachman. Setelah Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, di daerah operasi Yon 22 Sriti dipindahkan dari sebelah timur Sungai Brantas ke sebelah barat Sungai Brantas antara Kediri-Nganjuk, dengan pembagian tugas sebagai berikut:
Komando Yon 22/Sriti di Cengkok dan sekitarnya.
Kompi I Imam supardi di Prambon dan sekitarnya.
Kompi II Kasihin di Kedungombo dan Pace.
Kompi III Kasdi Prajitno di Grogol dan sekitarnya.
Kompi IV Siwo Handojo di Warujayeng dan sekitarnya.
Pemindahan daerah operasi pertahanan ini dilakukan untuk mengimbangi dan menghadapi pos-pos Belanda yang berada di Kertosono, Kota Nganjuk, Pace, Nggrogol, Merican, Prambon, dan Warujayeng (Harimintadji, dkk, 1994: 92).
Untuk saling mengenali daerah tugasnya, maka di bawah Yon 22/Sriti Mayor Soerachman seluruh pasukan Yon 22/Sriti mengadakan penjelajahan Mobille Batalyon Verband dengan rute Cengkok, Grogol, Tarokan, Pace, Berbek, Guyangan, Sidokare, sampai Ngluyu. Dari Ngluyu kemudian berbalik ke Gondanggowar, Sukomoro, dan kemudian menempati pos-posnya masing-masing.
Setelah KMB ditandatangani 27 Desember 1949 berarti Belanda mengakui kedaulatan RI secara penuh, oleh karenanya semua daerah yang semula diduduki Belanda harus diserahkan kembali ke pihak Indonesia13. Khusus daerah yang berada di bawah operasi Yon 22/Sriti mendapat penyerahan daerah sebagai berikut:
Kompi I mengambil alih pos Belanda yang ada di Kertosono.
Kompi II mengambil alih pos Belanda yang ada di kota Nganjuk.
Kompi III mengambil alih pos yang ada di Gringging dan Grogol.
Kompi IV mengambil alih pos Belanda yang ada di Prambon dan Warujayeng.
Komando Yon 22/Sriti selanjutnya berkedudukan di Kertosono.
Perjuangan di Kedungombo
Nasution, dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 9 Perang Gerilya Semesta II, mengemukakan:
Dalam menyusun pemerintahan gerilya, pemerintah desa dijadikan sebagai dasar kekuasaan pemerintahan militer paling bawah. Kepala lurahnya diperbantukan beberapa kader pemuda yang dipilih oleh lurah dan latih oleh tentara. Mereka disebut kader teritorial desa. Mereka ini menjadi pambantu lurah yang terpenting dalam urusan keamanan dan pertahanan. Kemudian dibentuk semacam home guard bagi Pak Lurah. Mereka ini diberi tugas penjagaan dan bila diperlukan oleh tentara, bertugas sebagai tundan, sebagai penunjuk jalan, sebagai ordonans, sebagai pembanti prajurit, bahkan ikut aktif bergerilya (1979: 350).
Dalam bukunya Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa Di Daerah Bandung dan Sekitarnya tahun 1945-1949 Adeng mengemukakan:
Tanggung jawab pemimpin gerilya sangat berat dalam memelihara semangat para pejuang dan rakyat, ideologi perjuangan harus tertanam kuat-kuat pada hati sanubari mereka, sehingga perang gerilya dapat berjalan dengan baik. Kadangkala musuh melakukan perang psikologi, disitu pihak musuh menawarkan kesenangan kepada para pemimpin, di satu pihak ia melakukan intimidasi terhadap rakyat dengan kekerasan. Hal ini merupakan wujud perang paling berbahaya bagi keutuhan pasukan gerilya dengan rakyat, dapat memisahkan para pejuang dari rakyat, dan terjaga dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong-royong dan konsep tepa selira selalu dikedepankan dalam kehidupannya (2006: 38).
Seperti diungkapkan di atas bahwa pada Agresi Militer II daerah operasi militer Yon 22/Sriti dialihkan ke sebelah barat S. Brantas. Salah satu daerah yang menjadi pilihan strategi ialah desa Kedungombo di bawah Kompi II pimpinan Kapten Kasihin.
Dalam perkembangan selanjutnya desa Kedungombo dijadikan basis militer para pejuang RI dari berbagai kesatuan. Sebab ternyata yang menempati desa Kedungombo tidak hanya para prajurit dari Yon 22/Sriti saja, tetapi dari banyak kesatuan yang berasal dari daerah lain. Seperti CPM, Yon 38 Resimen 34 Surabaya (Marirnir), Barisan M, Barisan Rahasia (BARA), dan Batalyon Pancawati (tidak menetap) (Harimintadji dkk, 1994: 93). Di desa Kedungombo ini dan oleh karenanya menempati rumah-rumah penduduk setempat yang memungkinkan mereka tempati sebagai markas perjuangan.
Menurut Harimintadji (1994: 93), para pejuang yang saat itu berada di desa Kendungombo :
Mayor Cholil Tahir, Staf Komando Distrik (KDM) menempati rumah Ibu Soeprapto.
Mayor dr. Ibnu Mahoen; di rumah Bapak Djojosoemarto.
Letnan Martedjo; Dan Seksi I Ki 4 Yon 22/Sriti di rumah Bapak Dajat.
Mayor Marinir Boedijono Yon 37 Resimen 34 Surabaya di rumah Bp. H. Nurhasin.
Letnan Saleh (CPM); di rumah Bp. Djojomihardjo.
Letnan Iskandar Amir dan Letnan Kusnu (Barisan Rahasia) di rumah Ibu Soeprapto.
Kapten Khambali (CPM) di rumah Bp. Djojorono.
Pamoeji (TRIP) di rumah Bp. Abdullah.
Kapten Soebito (KDM) di rumah Bp. Darsojo.
Kapten Kasihin, Letnan Siswohandojo dan Letnan Joesoef di rumah Bp. Poerwodihardjo.
Kesatuan Barisan M di rumah Bp. Moeljoredjo.
Para Pejabat Pemerintahan juga berada di desa Kedungombo :
Bupati Nganjuk Mr. Gondowardjoyod dan Patih Djojokoesoemo di rumah Bp. H. Nur.
Wedana Anam di rumah Bp. Dipo.
Camat Afandi di rumah Bp. Djojosoemarto.
Dijadikannya desa Kedungombo sebagai markas oleh Yon 22/Sriti Kompi II, berarti desa ini memiliki arti strategis militer sendiri jika dibandingkan dengan desa lain. Sebab secara geografis jika dikaitkan dengan posisi pos-pos Militer Belanda dan posisi Kompi Yon 22/Sriti letak desa Kedungombo berada di tengah-tengahnya, lebih terlindung dan baik untuk kepentingan perhubungan dan koordinasi relative lebih mudah dan cepat.
Bisanya selama perang gerilya perbekalan sangat sulit untuk dikirim dari markas ke tempat perjuangan, di desa Kedungombo tidak pernah dikirimi perbekalan. Oleh semua itu semua dicukupi oleh penduduk setempat, termasuk bahan makanan dan pakaian. Sedangkan untuk amunisi dan bahan peledak tetap dikirim dari kesatuan. Disinilah peranan penduduk sangat menentukan dalam perjuangan bangsa, mereka tidak hanya menyediakan tempat dan makanan, tetapi juga menjadi pelaku langsung dalam setiap perjuangan. Hal ini dibuktikan bahwa yang gugur dalam pertempuran di Kedungombo tidak hanya yang tercatat sebagai tentara resmi tetapi juga penduduk sipil setempat.14.
Gugurnya Kapten Kasihin, Tokoh Perjuangan di desa Kedungombo Kec Tanjung Anom, Kab. Nganjuk
Kira-kira pukul 09.00 WIB Kapten Kasihin bersama pengawalnya yang bernama Susah berjalan dari selatan (Tawangrejo) menuju kea rah utara. Baru berjalan beberapa ratus meter mendapat laporan dari seorang mata-mata Republik, bahwa Belanda sudah berada di Balai Desa (Berjarak ± 600 m dari tempatnya). Mendapat laporan demikian Kasihin tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke arah utara. Beberapa menit kemudian terdengar beberapa kali tembakan di pertigaan gang utara SDN Kedungombo I dan ternyata Kapten Kasihin terkena tembakan. Walupun sudah tertembak ia berusaha lari ke arah timur sejauh ± 1 km dan masuk ke dalam rumah seorang penduduk di Tawangsari (Rumah Bp. Rasio). Di rumah ini Kapten Kasihin mendapat perawatan tuan rumah sekitar 45 menit, sebelum Belanda menemukannya. Belanda yang menemukannya. Belanda yang ada orang yang mengetahui ada orang tertembak terus mengejarnya dan akhirnya menemukan Kapten Kasihin terbaring di dipan. Oleh Belanda Kapten Kasihin ditirunkan di lantai dan kemudian dibunuh di tempat itu juga, ± pukul 09.30 WIB.
Menurut penuturan Ibu Parmi (Istri Rasio) yang waktu itu di rumah hanya bersama 2 anaknya yang masih kecil (satu masih digendong), bahwa Kapten Kasihin sebelum diketemukan tentara Belanda sempat minta minum. Saat akan diberi minum, Kasihin mengucapkan kata-kata terakhir......,nggih ngeteniki le bu nglabuhi negari (ya begini bu membela negara) (Harimintadji, dkk, 1994: 94).
Setelah dibunuh Kapten Kasihin ditinggalkan begitu saja oleh Belanda (menurut Ibu Parmi ketika Belanda mengetahui bahwa yang dibunuh berpangkat Kapten, mereka kemudian hormat kepada jenazah Kapten Kasihin. Tanda kepangakatan dilepas dan dibawanya). Jenazah Kapten Kasihin kemudian oleh para pejuang bersama rakyat dibawa ke rumah Kepala Desa untuk diberi penghormatan dan setelah itu dimakamkan di makam desa Kedungombo di dekat makam Kopral Banggo yang sudah lebih dulu gugur di desa Josaren Kec. Tanjung Anom.
Selain Kapten Kasihin yang gugur selama perjuangan di desa Kedungombo dan sekitarnya adalah sebagai berikut:
Unsur Tentara:
Sersan Kuslan Ki IV/Sriti di desa Josaren.
Sersan Amir Ki IV/Sriti di desa Kedungombo.
Kopral Tawar di desa Josaren.
Kopral Banggo di desa Josaren.
Theles dari staf Pertahanan Sipil (SPR) di desa Josaren.
Penduduk Sipil:
Supar, penduduk desa Kedungombo.
Sokip, penduduk desa Kedungombo.
Dua orang dari Balongpacul (tidak diketahui namanya)
Yang luka dan ditawan oleh Belanda:
Sersan Kastur
Kopral Suwito
Prajurit Kusno ditawan dan dibawa ke Nganjuk oleh Belanda.
Untuk mengenang perjuangan dari Kapten Kasihin, di tengah alun-alun kota Nganjuk dibangun patung monumen Kapten Kasihin berseragam lengkap dengan pedangnya.
Epilog
Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 merupakan puncak dari perjuangan Bangsa Indonesia. Tapi perjuangan Bangsa yang masih muda ini baru saja dimulai. Kemerdekaan Indonesia harus mendapat pengakuan secara Internasional. Tetapi pihak Belanda tidak mau menerima pengakuan Republik Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tindakan Belanda dengan melancarkan Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1949).
Pihak Indonesia tidak tinggal diam. Mereka melakukan perjuangan diplomasi dan perjuangan fisik dengan kontak senjata. Perundingan-perundingan dilakukan, tetapi selalu menimbulkan jalan buntu. Perjanjian Linggajati (15 November 1946) dan Perjanjian Renville (17 Januari 1948) banyak merugikan Republik Indonesia karena wilayah Indonesia semakin menyempit. Dalam hal ini TNI tidak tinggal diam. Mereka melakukan strategi perang gerilya untuk menghadapi Tentara Belanda yang akan mengoyak tubuh ibu pertiwi Indonesia
Banyak terjadi pergolakan fisik (kontak senjata) antara pihak Indonesia dengan Belanda di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Pejuang-pejuang Republik dengan gigih melakukan perlawanan walaupun nyawa taruhannya. Seperti perjuangan yang dilakukan Kapten Kasihin di desa Kedungombo. Semangat Kasihin setidaknya harus kita tiru dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Kita sebagai pelajar/mahasiswa dituntut untuk melakukan perubahan pada negeri yang terkoyak oleh system ekonomi yang “rapuh”.
Tetap jaga keutuhan negeri kita tercinta Indonesia ini. Jangan biarkan Hedonis dan paham kemewahan mempengaruhi kita. Kita harus bisa membalik, bahwa kita yang bisa mempengaruhi Hedonisme. Mulailah dari awal dengan mengatur diri sendiri.
Daftar Rujukan
Adeng, dkk. 1995. Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah Bandung dan Sekitarnya tahun 1945-1949. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Direktorat Sejarah dan Nilai Dokumentasi Sejarah Nasional.
Boechari. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Dekker, Nyoman. 1997. Sejarah Pergerakan dan Revolusi Sosial. Malang: IKIP Malang.
Frederick, William H. 1989. Pandangan dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia.
Harimintadji, dkk. 1994. Nganjuk dan Sejarahnya. Jakarta: Pustaka Kartini.
Napsriatun. 2004. Perpindahan Pusat Pemerintahan Dari Berbek ke Nganjuk Tahun 1880. Malang: Skripsi tidak diterbitkan
Nasutiom, AH. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid II Diplomasi atau Bertempur. Bandung: Angkasa.
Nasution, AH. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid IX Perang Gerilya Semesra II. Bandung: Angkasa.
Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
1 Artikel Sejarah untuk tugas akhir mata kuliah Sejarah Lokal yang dibimbing oleh Bapak Drs. Marsudi, M. Hum.
2 Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
3 Istilah “kekosongan kekuasaan“ sekiranya kurang tepat penyebutannya karena pada waktu itu di tahun 1945 pemerintahan Jepang masih berkuasa di Indonesia secara de facto. Tapi secara de jure Indonesia dibawah kekuasaan Sekutu. (Catatan perkuliahan Sejarah Indonesia Modern, dosen pembimbing; Drs. Dewa Agung G.A., M.Hum)
4 Lihat juga Nasution, A.H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2 Diplomasi atau Bertempur. Bandung: Angkasa. Hal: 210.
5 Perebutan Senjata diiringi oleh peperangan antara Pihak Indonesia (Pemuda). Tidak hanya dengan pihak Jepang, perang dilakukan terhadap sekutu juga. Seperti peperangan yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945 (lihat Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka, hlm 101 dan 110). Masalah tentang tragedi Surabaya dibahas oleh Frederick, William H. 1989. Pandangan Dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia.
6 Alasan lain dari pembentukan TKR adalah Pernyataan Oerip Soemohardjo “aneh negara zonder tentara“. Tanggal 5 Oktober 1945 secara nasional dianggap sebagai hari jadi Tentara Nasional Indoenesia atau ABRI.
7 Kenaikan pangkat dari Kolonel langsung ke Letnan Jenderal menurut penulis, sangat cepat. Apakah penaikan pangkat ini berdasarkan pengalaman orangnya atau hanya sebagai formalitas syarat untuk menjadi Panglima Besar dan Kepala Staf.
8 Isi Pokok perjanjian Linggajati antara lain sebagai berikut:
Pemerintah Belanda mengakui Pemerintah RI de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Daerah-daerah yang diduduki Belanda dengan berangsur-angsur dan kerjasama di antara kedua belah pihak, akan dimasukkan ke daerah RI selambat-lambatnya 1 Januari 1949.
Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda akan bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat. Negara Indonesia Serikat itu akan terdiri atas RI, Kalimantan dan Timur besar. Pembentukannya supaya sebelum 1 Januari 1949.
Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI akan bekerja sama untuk membentuk Uni Nederland-Indonesia dengan Ratu Belanda sebagai kepala Uni. (Dekker, 1997: 147-148, Ricklefs, 1991: 337).
9 Dalam Hal ini Ricklefs (1991: 337) juga berrpendapat bahwa persetujuan perdamaian (Perjanjian Linggajati hanya akan berlangsung singkat. Kedua belah pihak saling tidak mempercayai dan pengesahan persetujuan itu di kedua negara menimbulkan pertikaian-pertikaian politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi yang dibuat.
10 Di dalam perundingan ini Belanda mempergunakan orang Indonesia yang duduk sebagai wakil-wakilnya, dengan maksud mengelabuhi mata dunia, agar ada kesan, bahwa orang-orang Indonesia masih cinta kepada Belanda.
11 Perpindahan Kekuasaan dari Berbek ke Nganjuk secara intensif diteliti oleh Napsriatun dalam Skripsinya (Napsriatun. 2004. Perpindahan Pusat Pemerintahan Dari Berbek ke Nganjuk Tahun 1880. Malang: Skripsi tidak diterbitkan).
12 Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kabupaten Nganjuk masuk dalam wilayah Karesidenan Kediri. Sampai sekarang Nganjuk masih dalam wilayah karesidenan Kediri, juga Tulungagung, Trenggalek dan Blitar.
13 KMB diadakan di Denhaag, belanda. Delegasi Indoesia diwakili oleh Moh. Hatta sebagai Ketua, BFO dengan Sultan Hamid sebagai ketua, kerajaan Belanda dengan J.H.van Maarseven sebagai ketua. UNCI sebagai wakil Dewan Keamanan PBB, bertugas sebagai perantara kalau konferensi menghadapi kesulitan dengan Marle Cochran sebagai ketuanya. Kesulitan dalam KMB ini adalah tentang masalah Irian Barat dan masalah keuangan. Belanda menuntut Indonesia untuk mengakui utang Belanda (Dekker, 1997: 188).
14 Bandingkan dengan Adeng dkk, sebuah penelitian tentang peran desa-desa di daerah Bandung (Adeng, dkk. 1995. Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa Di Daerah Bandung dan Sekitarnya tahun 1945-1949. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar