Selasa, 03 Juni 2008

Mencari Jejak Kerajaan Kanjuruhan

PENDAHULUAN

Malang, kota berhawa dingin di Propinsi Jawa timur bagian Selatan ini memang menyimpan sejuta pesona. Wilayah Malang ini dikelilingi oleh pegunungan. Oleh sebab itu Malang dikenal dengan sebutan Dataran Tinggi Malang[1]. Jika dilihat dari udara, kawasan Malang ini terlihat seperti mangkok seperti dalam film Ice Age II.

Dalam panggung sejarah Indonesia, Malang juga mempunyai nama dan peran penting. Dari jaman prasejarah kawasan Malang juga pernah dihuni oleh manusia purba. Buktinya adalah ditemukannya situs gua Pagak di daerah Pagak, Kecamatan Pagak[2]. Gua tersebut dapat dikategorikan sebagai goa paying dan di bagian sisi timurnya terdapat sumber mata air yang berupa sungai. Dalam situs gua ini ditemukan alat-alat dari tradisi mesolitik di mulut gua berupa serpihan-serpihan batuan gamping kersikan. Alat serpih yang berhasil dikumpulkan terdiri atas serpih besar dan serpih kecil. Alat-alat serpih tersebut berupa serpih bilah, serut, serut ujung dan coper dan semua dipersiapkan dari batu kersikan[3].

Pada jaman Sejarah, terutama masa Hindhu Budha, juga pernah melintasi Malang. Kalau periode ini memang sangat terkenal di kawasan Malang. Malang pernah menjadi awal kebangkitan kerajaan-kerajaan klasik seperti Kerajaan Mataram Pu Sindok, Kerajaan Kanjuruhan, Kerajaan Kadiri, Kerajaan Singhasari, dan tentu saja Kerajaan Majapahit. Bukti yang ditinggalan pada masa kerajaan ini adalah berupa situs bangunan candi, patirtan, dan prasasti juga banyak reruntuhan-reruntuhan bangunan.

Pada jaman Revolusi tentu saja kawasan Malang menjadi ajang perang gerilya bagi laskar-laskar dan pejuang republik. Hal ini bisa dimengerti karena memang kawasan Malang di kelilingi oleh pegunungan dan hutan yang lebat. Suatu kawasan yang memang sangat potensial untuk dijadikan markas dan senjata alam dalam melawan Agresi Militer Belanda.

Tulisan ini panulis batasi periodenya yaitu pada masa jaman Hindu Budha (sekitar abad 7 Masehi). Kajian yang penulis angkat adalah Kerajaan Kanjuruhan. Mengapa penulis tertarik pada kerajaan ini? Alasannya adalah Kerajaan Kanjuruhan mempunyai periode yang relative singkat. Dalam panggung Sejarah Indonesia nama Kerajaan Kanjuruhan sempat tercuat sebagai salah satu kerajaan Hindu tertua di Jawa yaitu pada tahun 760 M[4]. Tapi kerajaan ini kemudian hilang begitu saja dalam kancah Sejarah Indonesia. Ini yang menjadi misteri. Nama kerajaan ini sekarang menjadi nama Universitas yaitu Universitas Kanjuruhan.

Meskipun Kerajaan Kanjuruhan mempunyai waktu pendek, ternyata ada peninggalan benda-benda arkeologisnya. Jika dilihat, diraba, dan diterawang benda-benda tersebut memiliki umur yang sama (boleh dibilang relatif sama) dengan periode Kerajaan Kanjuruhan. Penulis mencoba mencari trace dari peninggalana Kerajaan Kanjuruhan

Sejarah Kerajaan Kanjuruhan

Informasi adanya suatu kerajaan di Malang yang bernama Kanjuruhan diperoleh dari Prasasti Dinoyo. Prasasti ini memuat penanggalan dalam candara sengkala yang berbunyi: nayana-vayu-rase yang bernilai 682 Caka atau 760 Masehi[5]. Prasasti ini ditemukan terpisah, bagian atas ditemukan di daerah Dinoyo dan bagian bawah di daerah Merjosari. Prasasti ini ditemukan oleh Laydie Melville pada tahun 1904. Kemudian berhasil diterjemahkan oleh Poerbatjaraka pada tahun 1976.

Boleh jadi penamaannya sebagai “Prasasti Dinoyo” itu adalah salah kaprah, yang disebabkan karena yang pertama kali diketemukan adalah sebagian dari tiga pecahan prasasti ini di daerah Dinoyo. Padahal dua pecahan lainnya ditemukan di Merjosari. Kedua, jika benar pendapat Casparis (1946) bahwa prasasti ini asalnya dari Desa Kejuron – perubahan dari toponimi “Kanjuruhan”, maka semestinya dinamai “Prasasti Kejuron” atau “Prasasti Kanjuruhan”. Ketiga, prasasti ini dikeluarkan oleh raja dari kerajaan Kanjuruhan[6].

Adapun transkrip dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Selama tahun caka berjalan 682

Ada seorang raja bijasana dan sangat sakti, sang Dewasimha namanya. Ia menjaga keratonnya yang berkilau-kilauan disucikan api Putikecwara (yakni sang Ciwa).

Anakda yalah seorang liswa namanya, yang juga terkenal dengan nama Sang Gajayana, setelah ramanda pulang kembali ke swarga, maka sang Liswa-lah yang menjaga keratonnya yang besar, bernama Kanjuruhan.

Sang Liswa melahirkan seorang putrid yang oleh ramanda sang raja diberi nama sang Uttejana, seorang putrid kerajaan yang hendak meneruskan kulawarga ramanda yang bijaksana itu.

Sang raja Gajayana, yang memberi ketentraman kepada sekalian para Brahmana dan dicintai oleh rakyatnya, yalah bakti kepada yang mulia sang Agastya. Dengan sekalian pembesar negeri dan penduduknya ia membuat tempat (candi) sangat bagus bagi sang maharesi (Agastya) untuk membinasakan penyakit yang menghilangkan kekuatan (semangat).

Setelah ia melihat arca Agastya yang dibuat dari kayu cendana oleh nenek moyangda, maka raja murah hati dan pencipta kemasyuran ini memerintah kepada pelukis yang pandai untuk membuat (arca Agastya) dari batu hitam yang elok, supaya ia selalu dapat melihatnya.

Atas perintah sang raja yang sangat teguh budinya ini, maka (arca) sang Agastya yang juga bernama Kubhayoni didirikan (dengan upacara dan selamatan besar) oleh para ahli regweda, para ahli weda lain-lainnya, para brahmana besar, para pandita yang terkemulia dan para penduduk negeri yang ahli kepandaian lain-lainnya, pada tahun 682 Caka, bulan Margacirsa, hari Jumat tanggal 1 paro petang?

Dihadiahkan pula oleh sang raja sebagian tanah dengan sapi yang gemuk-gemuk serta sejumlah kerbau, dengan beberapa orang budak lelaki dan perempuan dan segala keperluan hidup para pandita yang terkemuka, seperti sabun pemandian, bahan untuk selamatan dan sajen-sajen; juga sebuah rumah besar yang sangat penuh (perabotan) untuk penginapan para brahmana tetamu dengan disediakan pakaian, tempat tidur, pada jawawut dan lain-lain.

Manakala ada kulawarga (kerajaan) atau anak-raja dan sekalian para pembesar negeri bermaksud melanggar atau berbuat jahat, berdosa tidak mengindahkan (peraturan) hadiah sang raja ini, moga-moga mereka jatuh ke dalam neraka; janganlah mereka mendapat nasib yang mulia, baik dalam akhirat maupun dunia.

(Sebaliknya) mana kala kulawarga sang raja, yang girang akan terkembangnya hadiah itu, mengindahkannya dengan pikiran yang suci, melakukan penghormatan kepada brahmana dan berbuat ibadah, maka karena berkat selamatan kebaikan dan kemurahan itu haraplah mereka menjaga kerajaan yang tak bandingkan ini seperti sang raja menjaganya[7].

Informasi dari prasasti di atas menyebutkan nama Kerajaan Kanjuruhan dengan rajanya bernama Dewasimha yang mempunyai putra yang nantinya menggamntikan dirinya menjadi raja bernama Liswa bergelar Gajayana. Kemudian Gajayana mempunyai putri bernama Uttejana.

Selain silsilah keluarga raja di atas, prasasti Dinoyo juga memberikan informasi tentang pembangunan bangunan suci yang diperuntukkan kepada Resi Agstya. Inilah keunikan dari Kerajaan Kanjuruhan. Tidak seperti kerajaan Hindhu lainnya di Indonesia yang pada umumnya membuat bangunan suci (candi) untuk dewa Siwa, Wisnu, ataupun Brahma. Berdasarkan prasasti Dinoyo raja Gajayana menyembah Agastya dan menghormati Agstya sehingga mengubah arca Agastya dari kayu cendana menjadi batu hitam yang mengkilat. Kemudian Gajayana memerintahakan untuk membangun sebuah bangunan suci untuk Resi Agastya.

Menurut Poerbatjaraka dalam disertasinya (1926)[8], di India, Asia Tenggara ataupun di Nusantara, Agastya diposisikan secara istimewa. Oleh karena, secara mitologis Agastya digambarkan sebagai “culture hero” yang berperan dalam mengembangkan Siwaisme dari India barat laut ke selatan, yang untuk itu Agastya harus meminum air samodra hingga habis. Mitos tentang perluasan Hinduisme ke arah selatan dengan menyeberangi laut ini, menurut Poerbatjaraka dapat dijadikan petunjuk mengenai perluasan lebih lanjut agama Hindu (Brahmanisme) ke Nusantara. Dalam hal ini, Agastya telah menemukan jalan laut ke Nusantara. Sesungguhnya Agastya adalah salah seorang resi yang menjadi murid (sisya) dari Siwa. Diantara para murid Siwa, bahkan di antara tujuh resi utama (saptarsi) murid Siwa, Agastya adalah yang paling utama. Oleh karena keutamaannya ini, maka maharsi Agastya sering dikonsepsikan “wakil” Siwa di dunia. Bahkan, Agastya diidentikkan dengan Siwa, utamanya Siwa sebagai Mahaguru.

Bangunan suci atau candi untuk Agastya ini belum diketahui secara pasti. Beberapa sarjana menyamakan bangunan ini dengan Candi Badut yang in situ di desa Badut. Tapi ada suatu keanehan pada candi ini. Di dalam grba grha terdapat lingga dan yoni yang merupakan simbol Dewa Siwa. Lagi pula ciri candi seperti ini merupakan ciri candi kerajaan Hindhu yang merupakan pendharmaan seorang raja[9]. Dan juga arca Agastya ini diletakkan di relung utara candi yang sekarang arcanya sudah tidak in situ. Sebenarnya ada kemungkinan bangunan untuk Agastya ini berada di situs Karang Besuki yang letaknya tidak jauh dari Candi Badut. Situs ini berupa reuntuhan candi. Tapi sayang sekali tidak ada petunjuk untuk menjawab dimana bangunan untuk Agastya.

Riwayat Kerajaan Kanjuruhan ini mengalami pemutusan. Dalam sumber tertulis seperti prasasti Dinoyo tidak menyebutkan keberlanjutan Kerajaan Kanjuruhan pada masa Uttejana, putri dari Gajayana. Baru ada informasi tentang Kanjuruhan yaitu pada prasasti Watukura Dyah Balitung. Mungkin kemudian kerajaan Kanjuruhan yang beribukota di Malang ditaklukkan oleh Mataram di Jawa Tengah dan penguasanya di anggap sebagai raja bawahan dengan gelar Rakryan Kanuruhan. Gelar ini mulai muncul di dalam prasasti Watukura Dyah Balitung dan kedudukannya sangat penting pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga dan jaman Kadiri[10].

Situs Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan di Malang

Menurut Undang-undang No, 5 tahun 1992, situs merupakan wilayah atau daerah yang diduga mengandung benda cagar budaya. Situs ini bisa berupa artifak, epsefak, dan ekofak. Untuk mencari asal-usul suatu benda sejarah, bisa ditelusuri dari situs-situs tempat benda itu ditemukan. Siapa tahu akan banyak ditemukan data-data yang lebih akurat.

Setiap peradaban pasti meninggalkan benda-benda. Seperti kata Koentjaraningrat bahwa manusia selalu meninggalkan hasil kebudayaannya karena kebudayaan merupakan kumpulan ide-ide atau gagasan yang diperoleh dengan belajar kemudian di terapkan dalam masyarakat yang inilah akan menghasilkan benda budaya atau artifact[11].

Bagaimana dengan Peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan? Tentu saja walaupun mempunyai umur yang relatif sedikit, Kerajaan Kanjuruhan juga merupakan salah satu peradaban di Indonesia. Peninggalan dari Kerajaan ini meliputi candi dan situs reruntuhan. Selama ini yang ditemukan di Malang terutama daerah Dinoyo dan desa Kejuron (toponimi Kanjuruhan) yang terletak di lembah sungai Metro. Peninggalan itu berupa prasasti yang merupakan sumber tertulis[12], Candi Badut yang merupakan candi kerajaan, dan reruntuhan-reruntuhan candi di situs Karang Besuki di belakang kuburan. Benda-benda tersebut merupakan jejak peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan yang memiliki umur yang relatif sama.

Candi Badut merupakan tipe candi Jawa Tengahan yang berada di Jawa Timur[13]. Mengapa kok disebut begitu? Kemarin juga teman-teman dari Unair juga menanyakan hal tersebut. Candi Badut memiliki badan yang tambun atau disebut langgam Jawa Tengahan[14]. Berbeda dengan candi-candi di Jawa Timur yang berbadan langsing (langgam Jawa Timuran). Kemudian baturnya pendek tidak setinggi di candi-canri jawa timur[15]. Dari bahan bangunannya pun masih menggunakan batu andesit yang masih kasar. Hal ini karena dulu ketika dibangun, para kuli tidak menemukan batu andesit yang asli, akhirnya mereka menggunakan batu kali sebagai pelengkap. Batu kali itu diperoleh di sekitar sungai Metro.

Mengenai umur dari candi Badut bisa disamakan dengan penemuan prasasti Dinoyo karena prasasti ini juga ditemukan di area sekitar candi Badut. Jadi bisa diperkirakan berasal sekitar abad ke 8 Masehi. Dalam prasasti Dinoyo juga memberi informasi bahwa raja Gajayana membangun sebuah perkampungan di sekitar area Candi Badut, yang sekarang menjadi perumahan Tidar[16]. Pengumuran yang sama juga terdapat pada situs Karang Besuki. Situs yang berupa reruntuhan candi ini juga mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan candi Badut. Jadi bisa diperkirakan bahwa wilayah Keraton Kerajaan Kanjuruhan berada disekitar Dinoyo, desa Kejuron dan lembah sungai Metro.

Sebenarnya masih ada peninggalan yang lain untuk periode ini. Jika di gali lagi areal sekitar Candi Badut kemungkinan juga ada dan ditemukan. Hal ini sesuai dengan kitab silpasastra yang merupakan rujukan untuk membangun sebuah candi. Di depan candi seharusnya terdapat 4-6 buah gerbang bentar, kemudian ada satu gerbang paduraksa. Di depan candi induk juga terdapat dua candi Perwara[17]. Sayang sekali untuk melakukan penggalian (eskavasi) itu membutuhkan dana yang besar, lagi pula di sekitar areal candi sudah dibangun perumahan dan perkampungan penduduk. Tentu saja akan terjadi pralaya jika melakukan penggusuran.

Epiolog

Berdasarkan benda-benda arkeologis yang di tinggalkan yang memang jumlahnya sedikit bisa memberikan informasi tentang ada dan berdirinya Kerajaan Kanjuruhan. Situs-situs seperti Candi Badut dan reruntuhan candi di Karang Besuki ditambah dengan prasasti Dinoyo yang ditemukan di sekitar candi Badut menguatkan bukti bahwa di Malang berdiri salah kerajaan Hindhu tertua di Jawa Timur.

Berdasarkan temuan prasasti Watukura Dyah Balitung, Kerajaan Kanjuruhan hilang dan berganti menjadi wilayah watek dari kerajaan Jawa Tengah. Sehingga kemungkinan Kerajaan Kanjuruhan mendapat serangan dari kerajaan di Jawa Tengah dan statusnya berubah menjadi wilayah watek yang dipimpin oleh rakryan

Memang data-data tulis dan artifak belum cukup untuk mengungkap sejarah Kerajaan Kanjuruhan ini. Tapi mudah-mudahan ada usaha untuk menemukan bukti-bukti yang terbaru. Tapi lebih penting lagi adalah melestarikan benda cagar budaya, karena bila dirusak hilanglah informasi tentang asal usul atau identitas kita. Mari kita lesarikan Benda Cagar Budaya.


DAFTAR RUJUKAN

Boechari, 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

Dwi Cahyono. 2005. Kanjuruhan, Benang Merah Dari Kerajaan ke Universitas, orasi Ilmiah ulang tahun ke-30 Universitas Kanjuruhan. Malang : tanpa penerbit.

Dwi Cahyono. 2006. Dinamika Sejarah dan Sosial Malang. Public Policy Analysis and Community Development Studies (PLaCID’S) AVERROES bekerja sama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID).

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi. Jakarta; Rineka Cipta.

Poerbatjaraka. 1976. Riwayat Indonesia I. Yogyakarta: Yayasan Purbakala Yogyakarta.

Soejono, RP. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

Soekmono. 1977. Candi, Fungsi, dan Artinya. Semarang: IKIP Press.

Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2. Jakarta: Kanisius.

Suprapta, Blasius. 2007. Kawasan Dataran TInggi Malang Dari Masa Prasejarah hingga Hindhu-Budha, makalah yang di sampaikan pada kegiatan Subject Content SMA Negeri 10 Malang.



[1] Blasius Suprapta, Kawasan Dataran TInggi Malang Dari Masa Prasejarah hingga Hindhu-Budha, makalah yang di sampaikan pada kegiatan Subject Content SMA Negeri 10 Malang ,2007, hal 2

[2] Ibid, hal 4.

[3] Mengenai alat-alat sepih bilah ini dan juga alat-alat yang digunakan oleh manusia prasejarah bisa dilihat pada RP. Soejono, Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).

[4] Keterangan tentang Kerajaan Kanjuruhan ini berdasarkan inskripsi dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M. Lihat dalam Boechari, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).

[5] Blasius Suprapta, Op Cit, hal 10.

[6] Dwi Cahyono, Kanjuruhan, Benang Merah Dari Kerajaan ke Universitas, orasi Ilmiah ulang tahun ke-30 Universitas Kanjuruhan. (Malang : tanpa penerbit, 2005), hal 18

[7] Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia I, (Yogyakarta: Yayasan Purbakala Yogyakarta, 1976), hal. 92-97).

[8] dalam Dwi Cahyono,Op cit, hal 9.

[9] Soekmono, Candi, Fungsi, dan Artinya, (Semarang: IKIP Press, 1977).

[10] Bochari,Op Cit, hal 108-109.

[11] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta; Rineka Cipta, 2000).

[12] Pada jaman kerajaan orang yang menulis pada prasasti adalah citralekha.

[13] Menurt Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kanisius, 1973)

[14] Ibid, hal 86.

[15] Sebagai perbandingan bisa dilihat pada situs-situs candi di Trowulan.

[16] Dwi Cahyono, Dinamika Sejarah dan Sosial Malang (Public Policy Analysis and Community Development Studies (PLaCID’S) AVERROES bekerja sama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), 2006) hal 14.

[17] Reruntuhan candi perwara di Candi Badut masih ada dan berada di kompleks Candi Badut.

1 komentar:

  1. Klu makam atau petilasan raja gajayana atau anaknya ko tdk dijelaskan ya...apa memang blm ada rujukan...trim

    BalasHapus

monggo kirim komentar