Rabu, 27 Mei 2009

BENDA CAGAR BUDAYA

BENDA CAGAR BUDAYA
Haruskah kita lindungi…?

Oleh:
Agung Ari Widodo

Baru-baru ini di situs kota kuno Trowulan digemparkan dengan pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit). Pembangunan proyek ini bisa mengakibatkan kerusakan pada situs-situs purbakala di sekitar Trowulan. Kontan saja para sejarawan dan arkeolog mengkritik pembangunan proyek besar ini.
Kalau boleh jujur, sebenarnya perusakan pada Benda Cagar Budaya (selanjutnya di singkat BCB) tidak hanya pada pembangunan PIM itu saja. Di mana-mana, di setiap daerah yang terdapat BCB atau situs sejarah rawan sekali mengalami perusakan. Ada saja yang diperbuat manusia-manusia jahil untuk merusak tatanan BCB, seperti misalnya, mencorat-coret dinding (batu) pada candi (seperti yang ada di Candi Badut), mengambil bagian dari bangunan BCB, menjual BCB atau malah merusaknya habis-habisan seperti kasus perusakan bekas penjara militer di kawasan Koblen, Surabaya (padahal bangunan itu dinyatakan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai BCB).
Pemerintah sudah mengeluarkan Undang-undang Perlindungan Benda Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 (nanti dilihat lagi) sebagai upaya melindungi BCB. Dalam UU tersebut sudah terlampir ancaman dan denda bagi orang yang merusak BCB. Tidak tanggung-tanggung mereka yang merusak, mengambil, atau menjual akan dikenakan denda Rp. 500.000.000,- dan akan dihukum penjara selama 5 tahun. Agaknya peraturan hukum ini masih lemah jika melihat kenyataan (fenomena) yang ada. Papan pengumuman yang bertuliskan larangan merusak BCB yang dipasang di sekitar BCB hanya berfungsi sebagai hiasan pelengkap saja, bahkan sampai karatan hingga tidak bisa dibaca.
Orang-orang “jail” sering melakukan perusakan pada BCB terutama bangunan atau situs-situs dari masa prasejarah maupun dari masa klasik (Hindu-Budha). Peninggalan bercorak Islam (kerajaan Islam kuno) jarang mengalami perusakan, demikian juga dengan bangunan Hindis (bangunan Eropa). Pertanyaannya kenapa? Agaknya permasalahan ini harus dilihat pada perjalanan sejarah Indonesia dan masyarakat pendukung kebudayaan.
Indonesia mengalami perubahan sejarah dari masa ke masa. Berdasarkan penemuan-penemuan BCB yang terselamatkan, perjalanan sejarah Indonesia diawali dari masa Prasejarah. Kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan klasik (Hindu-Budha), diteruskan pada masa kerajaan Islam, kemudian masa Hindia Belanda, dan terakhir masa Kemerdekaan. Tentu saja dari setiap periode ini terdapat tinggalan kebudayaan, dan masyarakat yang hidup di setiap periode tentu merupakan masyarakat pendukung kebudayaan. Masyarakat Prasejarah mendukung dan melindungi punden berundak, menhir, sarkofagus, alat-alat dari batu, tembikar, dan sebagainya. Mereka menganggap benda-benda tersebut memiliki kekuatan magis, hal ini tentu saja berkaitan dengan religi di setiap periode. Begitu juga dengan candi Hindu maupun Budha, dan masjid kuno pada masa Islam. Masyarakat pendukung ini menjadi hal penting dalam melindungi dan melestarikan peninggalan Budaya.
Bagaimana dengan masyarakat sekarang? Agaknya masyarakat sekarang sangat pragmatis dan tidak begitu memperdulikan BCB, terutama peninggalan masa Hindu-Budha. Masyarakat awam menganggap reruntuhan candi ataupun situs tidak memiliki nilai. Mereka menganggap itu hanya sebuah sisa batu saja, dan malah mengambil batu-batuan tersebut untuk tambahan pondasi rumah atau keperluan yang lain. Berbeda dengan situs masjid kuno dan bangunan-bangunan Hindis. Masyarakat masih mau merawat dan melestarikan karena masih bisa digunakan lagi yaitu untuk tempat ibadah dan tempat tinggal. Masyarakat tidak sepenuhnya mendukung pelestarian bangunan Hindu-Budha, hanya yang memiliki emosi keagamaan yang memanfaatkan situs-situs Hindu-Budha. Biasanya mereka melakukan ritual-ritual, misalnya nyepi, sendratari (Sendratari Ramayana di Prambanan), ataupun berdoa meminta rezeki.
BCB memiliki arti penting dalam Sejarah, Budaya, dan Ilmu Pengetahuan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, kata Soekarno. Perlu introspeksi diri, apakah kita ini bangsa yang besar? Walaupun Cuma seonggok batu atauu reruntuhan bangunan, ini merupakan identitas bangsa Indonesia. Kemegahan bangunan-bangunan kuno tersebut merupakan suatu seni arsitektur yang luar biasa di masa lampau. Sangatlah bijak jika dalam menata kehidupan yang sekarang kita menengok di masa lalu. Di Jakarta tidak akan banjir jika tatanan kota yang rapi dari masa Hindia Belanda tidak di acuhkan. Di Mojokerto tidak akan kekeringan jika kanal-kanal kuno (ancient canal) di kota Trowulan tetap dipertahankan sebagai sarana irigasi.
Memang perawatan BCB tidak membutuhkan biaya yang sedikit. Pemerintah harus mengeluarkan jutaan uang hanya untuk membersihkan situs. Pemerintah pun bisa menggali devisa dari BCB. Pemerintah bisa membuka BCB sebagai kawasan wisata, baik wisata religi maupun wisata pendidikan. Para mahasiswa dari jurusan Pariwisata dan dari jurusan Sejarah bisa membantu memberikan informasi tentang BCB. Dengan cara ini diharapkan batu, arca, dan situs-situs yang lain bisa “bicara” dan “berkomunikasi” dengan masyarakat melalui informasi yang diberikan para mahasiswa ataupun orang yang ahli di bidang sejarah dan arkeologi. Pemerintah juga hendaknya bekerja sama dengan para ahli sejarah dan arkeologi untuk membangun tempat wisata BCB. Hal ini perlu sekali dilakukan agar pembangunan nantinya tidak merusak tatanan situs yang ada seperti kasus pembangunan PIM di Trowulan, Mojokerto
Jika kita tahu dan paham akan nilai dari BCB, akan banyak keuntungan yang kita peroleh. Masyarakat hanya perlu informasi dan pemahaman untuk melindungi BCB. Setelah tahu dan paham arti penting dari BCB, masih perlukah kita melindungi BCB?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar