Kamis, 29 Mei 2008

Day 2nd


Setelah semalam melakukan perang antar dunia dengan nyamuk, akhirnya pagi hari peperangan dihentikan sejenak. Pagi-pagi aku jam 5.00 sudah bangun, segera aku melakukan sholat subuh kemudian mandi. Mandi pun aku harus antri lagi, busyet para wanita kalau mandi lama sekali. Setelah lama menunggu antri mandi akhirnya aku mandi juga. Selesai mandi ganti pakaian tidak lupa almamater, kemudian kami sarapan bersama. Aku, Hunter, Khoiruddin, Khotim, dan orang-orang jalanan sarapan di tempat kami tidur semalam.

Kamar kami para laki-laki memang istimewa, letaknya disamping rumah kos penginapan kami. Jadi bangunan ini merupakan pavilion yang sengaja dibangun dipisah dari bangunan utama. Hanya tembok yang menghalangi. Ruangan sebesar 4mx4m ini menjadi kamp para laki-laki. Entah apa pertimbangan teman-teman kami yang menempatkan laki-laki di pavilion itu. Mungkin karena kami para laki-laki terbiasa mbambung1 jadi bisa tidur dimana saja.

Walaupun semalam di area penginapan kami diguyur hujan deras, hawa panas tetap saja menyelimuti. Tapi pagi hari sebelum berangkat hawa sangat sejuk, aku melihat pohon jambu, mangga sangat ceria memperlihatkan daunnya yang hijau. Jalan gangnya bersih, belum ada Homo sapiens yang membuang limbahnya. Kami sudah berkumpul di depan penginapan, siap untuk berpetualang lagi. Sambil menunggu sopir dan kedua kernetnya mempersiapkan mobil kami melakukan beberapa kegiatan, ada yang telepon pacarnya, ada yang ngerumpi (bisanya ibu-ibu dengan dipimpin oleh Ibu Negara), ada juga yang foto-foto.

Kendaraan besi roda empat berwarna biru jenis elf sudah siap untuk bekerja lagi. Rombongan kami bersiap menuju instansi berikutnya. Sebelumnya kami menjemput kedua dosen kami di penginapan Green House. Pagi ini kedua dosen kami terlihat ceria, mungkin kemarin beliau-beliau tidur dengan nyenyak sekali tanpa melakukan perang antar dunia dengan serangga penghisap darah seperti apa yang kami alami di penginapan istimewa kami.

Tujuan kami berikutnya adalah Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur. Sebelum berangkat tadi Ubed sudah mempunyai bekal peta lokasi/rute menuju Badan Perpustakaan. Ada hal yang menggelikan ketika dalam perjalanan. Ketika itu kernet kami bertanya kepada tukang becak dimana letak Jawa Pos. Mendengar itu kontan dalam hati aku tertawa karena aku melihat Graha Pena yang merupakan kantor Jawa Pos tepat di belakang mobil kami, mungkin jaraknya 5-7 meter. Kontan juga para tukang becak juga senyum-senyum, wong Jawa Pos sudah ada di depan mata. Kedua dosen kami juga tertawa melihat sopir dan kedua kernetnya yang mereka juga tertawa sendiri.

Seperti pada hari pertama, kami muter-muter lagi mencari alamat dari Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur yang alamatnya di Jl. Menur Pumpungan No. 32. Sekali lagi hawa sangat panas di Surabaya padahal masih kisaran jam 8. Jalan A. Yani sangat padat oleh manusia-manusia yang mencari kehidupan. Asap kendaraan, suara kendaraan, semuanya komplit untuk julukan kota metropolitan kedua. Tanya sana Tanya sini, Tanya Satpam masih juga tersesat. Surabaya seperti hutan belantara Kalimantan yang berliku-liku, sekali tersesat maka semakin kita tidak tahu jalan. Yang jadi penasaranku kenapa tidak tanya pada Polisi saja, Polisi yang tahu jalan tentunya. Aku jadi geli melihat sopir dan kedua kernetnya sangat takut ketika melihat sesosok manusia berseragam lengkap dengan peluit di jalan. Padahal kita kan semua sama, termasuk Homo sapiens juga. Mobil terus melaju, mencari tempat tujuan, seperti kapalnya Cristhoper Colombus yang mencari daratan. Aku semakin ingin pulang saja, panas sekali hawanya.

Setelah satu jam muter-muter akhirnya kami sampai di Jl. Menur Pumpungan No 32. Sebuah kompleks bangunan yang di pagarnya tertulis Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur membuatku dan teman-teman sedikit lega. Akhirnya jam tanganku menunjukkan pukul 9.15 kita sudah sampai di tujuan.

Hunter dan Shinta memohon ijin masuk, kemudian kami ikut masuk setelah diijinkan. Sama seperti di Unair, rombongan kami dipersilahkan masuk di sebuah ruangan yang biasa dipakai rapat. Di dalamnya sudah disediakan kotak-kotak yang berisi lemper setelah aku membuka isinya. Kemudian ada dua pegawai teknisi yang mempersiapkan laptop dan LCD. Mereka sibuk sendiri memasang kedua benda tersebut.

Setelah semua siap, acara dimulai ketika dua manusia pria hadir. Pria pertama bertampang agak seram dengan kumis yang seperti jagang vespa, apalagi suaranya yang serak berat seperti robot yang diservis karena kehabisan baterai. Orang ini bernama Hasto Hendarto. Pria yang satu lagi agak pendiam, wajahnya tenang tapi menyimpan misi dan ambisi, namanya seperti nama dalam pewayangan yaitu Abimanyu putra Arjuna. Pak Abimanyu ini merupakan Kepala Bidang Layanan Perpustakaan.

Diskusi dimulai. Pembicaraan kami disekitar minat baca masyarakat yang kurang. Ya itu bisa dimaklumi dan bagiku sangat ironis. Masyarakat di Negara berkembang memang tidak memprioritaskan membaca sebagai kegiatan utama, tetapi mereka terlebih dahulu mencari kebutuhan sandang dan pangan. Hal ini sangat berbeda dengan di negara maju. Masyarakat di negara maju ketersediaan sandang dan pangan sudah maksimal, jadi yang mereka cari selanjutnya adalah wawasan intelektual untuk membangun peradaban, sehingga membaca merupakan prioritas utama2.

Pihak perpustakaan sudah berusaha untuk meningkatkan minat membaca masyarakat. Usaha-usaha itu antara lain, mengadakan perpustakaan keliling, menyumbang buku ke perpustakaan di desa-desa dan Sekolah Dasar, mengadakan lomba membaca dan menceritakan isi dari cerita yang dibaca, dsb. Tapi kenyataannya tetap saja mental orang Indonesia adalah perut, ngerasani orang, dan percaya pada hal yang gaib3, kata Bapak bersuara robot (Hasto Hendarto).

Menilik sejarah dari Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur, instasi ini dulunya adalah badan milik negara, kemudian menjadi badan kedinasan wilayah berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 1989. Kemudian menjadi Perpustakaan Nasional di Daerah berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1997. Sekarang karena ada otonomi daerah akhirnya berdasarkan UU No. 44 Tahun 2007 instansi ini menjadi Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur4.

Mengenai koleksi di perpustakaan ini meliputi buku dan Koran. Untuk koleksi koran lama kami tidak diperbolehkan untuk meminjam. Koleksi buku di perpustakaan ini juga banyak. Buku-buku di letakkan di rak-rak. Tidak seperti di perpustakaan UM yang mempunyai 3 lantai, Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur ini hanya mempunyai 1 lantai untuk penyimpanan buku. Walaupun hanya satu lantai, koleksi buku-buku di perpustakaan ini jumlah dan kelengkapannya tidak kalah dengan perpustakaan yang lain. Aku juga sempat membaca buku karya Harvey, Permesta, Pemberontakan Setengah Hati. Tapi karena waktu berkunjung sudah habis, aku hanya membaca sedikit.

Akhirnya setelah bersalaman dengan Pak Abimanyu kami pamit. Aku tidak sempat melihat pemberian vandel. Tapi tidak apa-apalah yang penting aku sudah berkunjung ke perpustakaan ini.

***

Perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini perjalanan agak lancar dan agak santai. Tidak setegang seperti sebelumnya. Tahu kenapa kawan? Ternayata ada temanku bernama Lukluk mengetahui jalan menuju Jl. Pemuda No. 7 Surabaya, tujuan kami berikutnya adalah Perpustakaan Gubernur Jawa Timur. Letak perpustakaan ini disebelah Tugu Pahlawan.

Lukluk memberi arahan kepada sopir jalan menuju ke Tugu Pahlawan. Tapi sayangnya dia tidak mau duduk di samping sopir, sehingga dia harus agak berteriak jika memberi arahan. Awalnya aku berpikir, kenapa Lukluk ini tidak mau duduk di depan? Apa karena malu, atau takut atau kenapa?5.

Mobil terus berjalan. Ketika sampai di salah satu traffic light di Surabaya aku melihat sebuah benda menjulang tinggi mengerucut sampai ke atas, mirip bangunan menhir pada masa megalitikum. Inilah Tugu Pahlawan. Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan heroic arek-arek Surabaya dalam berperang melawan tentara Inggris dan NICA. Walaupun terkena hawa panas yang luar biasa di Surabaya, tugu itu tetap berdiri dengan gagahnya. Sekali lagi aku membayangkan betapa luar biasa seru dan mengerikan pertempuran 10 November 1945 itu. Tentu saja pertempuran ini sangat hebat jika dibandingkan pertempuran antar dunia antara aku dengan nyamuk.

Jam 13.10 kami tiba di kantor Gubernur Jawa Timur. Keadaan kantor agak sepi, sangat paradoks dengan keadaan diluar yang ramai terpampang spanduk calon-calon Gubernur Jawa Timur yang ikut dalam Pilgub (Pemilihan Gubernur) Jawa Timur. Sebelum masuk ke dalam perputakaan Gubernur kami menyempatkan diri untuk sholat Dzuhur dan makan siang di musholla disamping gedung.

Agaknya ada pembangunan di area Gedung Gubernur Jatim ini, jika di atap ada suatu kubah, pastilah akan dibangun sebuah masjid. Tiba aku segera mengambil bungkusan makan. Tadi pagi aku tidak sarapan karena ada masalah dengan perutku. Tapi tidak sarapan bukan hal yang tepat untuk mengobati sakit perut, malah akan semakin parah6. Dengan mengucapkan Bismillah aku pun makan dengan lahap.

Selesai makan aku mengambil air wudhu, kemudian melakukan sholat Dzuhur yang aku jamak sekalian dengan sholat Asar. Selesai sholat aku istirahat bersama teman-teman. Ada pemandangan yang umum di musholla ini, ada beberapa PNS yang tidak bekerja tapi tidur di musholla, aku sempat memfotonya. Ironis juga kenapa Pegawai Negeri kita tidak bekerja dengan rajin untuk negaranya.

Setelah mendapat ijin dari pihak kantor, kami pun naik ke atas (gedung). Sebelum naik ke atas, aku, Hunter, Ubed, dan Khoiruddin nyangkut di mobil dulu, kita ngopi dulu dengan sopir yang sedang ngumpul-ngumpul dengan sopir yang lain. Kemudian kami berempat ikut naik ke atas. Perpustakaan Gubernur ada di lantai tiga. Di dalamya tidak ada yang menarik, hanya terdapat buku-buku tentang sejarah dan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi Jawa Timur. Ada juga banyak Staatblad. Rupanya di perpustakaan ini banyak tersimpan buku-buku jaman Hindia Belanda. Praktis kegiatan kami hanya mencari dan membaca beberapa buku di sana.

Karena sudah dirasa cukup kami pun pamit dan menyerahkan vandel kepada ketua pengurus bagian perpustakaan.

***

Hari masih siang, jam tanganku menunjukkan pukul 14.50. Pak Joko mengusulkan kepada kami untuk melanjutkan perjalanan lagi daripada nganggur dan buang-buang waktu. Kami agak berdebat dengan Pak Joko, terutama Shinta yang ingin pulang ke penginapan istimewa. Teman-temanku yang tidak berjilbab juga menolak untuk pergi ke Makam Sunan Ampel, tapi mereka diyakinkan oleh Pak Joko. Kalau aku sih sependapat dengan Pak Joko, dari pada nganggur lebih baik lanjutkan perjalanan saja. Akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah Makam Sunan Ampel.

Kali ini Lukluk duduk di depan, teman-teman agak setengah memaksa agar Lukluk duduk di depan karena dia yang tahu jalan menuju Makam Sunan Ampel. Perjalanan kami lumayan tenang dan santai, permasalahan pada rute jalan sudah teratasi dengan hadirnya Lukluk sebagai navigator. Sekedar bercerita, dalam sebuah mobil angkutan umum yang kami tumpangi, antara kernet dan sopir adalah satu kesatuan. Sopir dan kernet saling membantu dalam menjalankan mobil. Ini seperti pilot dan co pilot dalam mengemudikan pesawat terbang. Jadi kendaraan yang kami tumpangi mempunyai koordinasi yang sama seperti pesawat F14.

Dengan lihai Lukluk menunjukkan jalan. Dan dengan santai kami pun sampai di kompleks Makam Sunan Ampel. Kompleks ini berada di pinggir jalan dan di tengah-tengah perkampungan. Letak ini mirip seperti di Makam Sunan Bonang di Tuban.

Sebelum masuk di masjidnya kami menelusuri tempat para pedagang. Banyak dijual aneka barang-barang dan peralatan untuk orang muslim. Bahkan ada juga parfum, tapi baunya aku sangat tidak suka karena sangat menyengat. Gerbang paduraksa menunjukkan bahwa kami tiba di masjid Ampel.

Arsitektur masjid Ampel ini merupakan salah satu jenis dari masjid jaman Islam kuno. Bangunannya seperti arsitektur masjid Demak. Yang khas dari masjid lawas atau kuno adalah beratap tumpang dan memiliki empat soko guru yang menyangga atap tumpang7. Yang menarik adalah tambahan bangunan berupa tiang-tiang Gothik dan menara.

Seperti denah kompleks makam Islam kuno pada umumnya, di depan masjid (sebelah barat) pasti terdapat makam. Di masjid Ampel juga seperti itu. Di depan Masjid Ampel terdapat Makam Sunan Ampel, keluarga dan kerabat-kerabatnya. Bukan hanya itu keunikan dari Kompleks Makam Sunan Ampel, ada legenda sembilan makam Mbah…(aku lupa namanya) dan ada lima gapura paduraksa. Menurut informasi dari Badan Pengelolaan Teknologi Informasi dan komunikasi Surabaya, kelima gapura ini dibangun oleh masyarakat dengan tujuan memudahkan pengunjung yang ziarah ke Makam. Kelima gapura ini melambangkan lima rukun Islam8.

Sayang sekali pengunjung dilarang memfoto area kompleks pemakaman. Aslinya boleh, tapi sembunyi-sembunyi. Untuk mendapatkan gambar di area pemakaman kami meminjam kalender bergambar kompleks Makam Sunan Ampel. Jadi Hunter memegangi kalender itu kemudian aku dan beberapa teman mengambil foto dari gambar-gambar tersebut. Aku melihat Hunter seperti orang berjualan sambil membawa barang dagangan dan menyandarkan barang dagangan di tubuh depannya.

Masih di kompleks Makam Sunan Ampel. Sebelum pulang kami sempat membicarakan nasib kami di Surabaya dengan kedua dosen kami. Pembicaraan mengenai transportasi kami. Tadi sempat tersiar kabar bahwa sopirnya minta tambahan uang. Tentu saja ini diluar kontrak tertulis. Hal ini sudah aku duga, pasti mereka minta tambahan uang, biasa taktik orang jalanan. Tapi Pak Joko mengusulkan pada kami agar bicara dulu dengan pihak sopir. Satu hal lagi, kata Pak Joko, ketika akan bicara dengan sopir jangan menggunakan nada emosi dan berdebat, bicara dengan baik-baik saja. Kemudian kami juga sepakat untuk memangkas KKL ini menjadi tiga hari saja, yang menurut rencana awal empat hari batal. Jadi besok (Kamis) kami pulang ke Malang.

Selesai di kompleks Makam Sunan Ampel kami kembali ke penginapan. Sang navigator ,Lukluk, kembali duduk di depan untuk menunjukkan jalan. Kemacetan terjadi lagi dan ini merupakan hal yang biasa untuk kota sekelas Surabaya. Mobil kami melewati pasar ikan, kontan saja bau amis menyebar ke dalam ruangan mobil.

Mobil terus melaju dengan aman menuju ke penginapan kedua dosen kami di Green House, kemudian menuju ke Jl. Pagesangan, penginapan istimewa kami. Disinilah terjadi ketegangan lagi. Si sopir ternyata jika malam matanya rabun. Jadi dia memakai kacamata untuk membantu penglihatan di malam hari. Yang jadi persoalan adalah ketika dalam perjalanan menuju ke penginapan si sopir malah kebablasan. Rute jalan tidak sama seperti yang tadi pagi dan kemarin kami lalui. Jadi muter-muter lagi, Tanya sana Tanya sini. Hari sudah malam tepatnya Maghrib, kami masih di jalan. Khairuddin yang duduk di depan juga kebingungan mau tanya orang, dia kemarin yang naik vespa dengan Ubed juga tersesat, tapi sampai di penginapan. Mobil meraung-raung tanda sopirnya emosi. Mobil kami melewati gang demi gang. Dan alhamdulillah akhirnya sampailah kami pada sebuah gang tempat penginapan istimewa kami.

Penumpang langsung turun dan segera melakukan mandi dan tentu saja harus antri. Aku juga langsung turun, bernafas sejenak. Kemudian Hunter mengajakku keluar, alasannya dia mau nelpon temannya di Malang. Tapi ternyata Hunter mengajakku jalan-jalan karena dia stress dan lapar. Kasihan Hunter, dia sebagai Ketua Pelaksana memang pantas bingung demi keselamatan anak buahnya. Kita jalan-jalan menelusuri jalan gang dan sampai di jalan raya. Di seberang jalan ada warung pecel lele, aku mengajak Hunter makan di warung itu. Aku kira pecel lele itu lele dengan bumbu pecel, ternyata aku salah. Dan ternyata yang namanya pecel itu lalapan lele yang biasa aku beli dengan sambal terasi. Walaupun harganya lumayan mahal, tapi tidak apa-apalah aku dan Hunter tetap makan karena memang kita lapar. Setelah makan kita kembali ke penginapan. pada saat kamar mandi kosong aku langsung mandi. Selesai aku sholat jamak Maghrib dan Isya’.

Setelah semuanya sudah mandi, sholat, dan makan, beberapa teman mengajak sopir untuk berbicara soal uang transport. Mereka berkumpul di teras depan penginapan. ada Ubed, Shinta, Mimin, Hunter, dan sopirnya. Pembicaraan santai saja sambil minum kopi. Aku yang santai di depan kamar para laki-laki diajak Hunter untuk ikut diskusi.

Pembicaraan di mulai, wah kalau sudah menyangkut uang lebih baik aku diam. Ubed membuka diskusi kami dan melobi si sopir. Karena KKL kami di Surabaya hanya tiga hari, Ubed meminta potongan harga sewa mobil. Tentu saja si sopir yang tidak bisa melafalkan “r” ini menolak. Pihak kami pun juga sudah menduga. Karena tidak menerima potongan, delegasi kami yang dipimpin Ubed juga tidak menambah uang sewa, dan ini disetujui oleh si sopir. Akhirnya uang sewa mobil diserahkan semua kepada sopir.

Selasai masalahnya akhirnya diskusi bubar, kita membicarakan hal yang lain. Taufik sopir kami ini kalau berbicara lucu,”aku sudah perlnah ke Jakarlta dan Bogorl sopir bis Lorlena”, dengan menggebu-gebu dia cerita ya walaupun kami tahu kalau itu hanya cerita karangan orang jalanan. Masih saja si sopir cerita tentang pengalamannya dengan lafal “r” yang dilesapkan.

Malam semakin larut, Mimin dan Shinta sudah tidak kuat lagi menahan lelah dan kantuk, mereka berdua pun pergi tidur. Tinggal aku, Ubed, Hunter, dan dua orang jalanan (Taufik dan Soleh). Ubed pun juga KO dia tertidur. Tinggal aku dan Hunter. Nah dari sini pembicaraan kami berkisar pada mistis dan gaib. Si sopir bilang kalau dia punya pegangan, dalam hati aku tertawa masa jaman sudah computer masih saja pakai pegangan. Katanya si sopir Hunter juga punya pegangan. Hunter juga senyum-senyum saja,wong dia juga tidak merasa punya pegangan. Kalau aku masih polos katanya Taufik (sopir). Pembicaraan seputar masalah gaib. Ternyata orang jalanan kalau di ajak bicara dan nadanya agak meninggikan derajat mereka, mereka senang sekali9.

Malam semakin larut. Hunter kembali ke kamar merekap judul buku pemberian dari Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur. Si Taufik sopir juga mau tidur karena besok harus menyetir lagi. Praktis tinggal aku dan Soleh, kernetnya Taufik. Pembicaraan aku dan Soleh masih seputar mistik. dan ternyata kita cocok dalam membicarakan Kejawen10. Pengetahuan Soleh tentang Kejawen lumayan menguasai. Dia pernah belajar ilmu kebatinan pada seorang Kyai di Malang. Doa-doanya pun juga banyak yang hafal. Aku sengaja mengorek informasi dari Soleh ini, pengalaman apa yang dia alami hingga menjadi kernet. Sengaja aku melakukan penelitian dengan metode wawancara langsung seperti petunjuk yang ada dalam buku Metode Penelitian Masyarakat karya Koentjaraningrat11.

Ternyata si Soleh ini mempunyai pengalaman yang luar biasa. Dia pernah bekerja sebagai koki pembuat roti di Bali dan mempunyai penghasilan lumayan banyak. Tapi karena di tipu oleh majikannya dia rugi besar dan kembali ke Malang. Di Malang pun Soleh juga membuat usaha roti. Semakin besar usahanya pada waktu itu. Tapi akhirnya bangkrut juga karena uangnya dihabiskan oleh istrinya. Akhirnya sampai sekarang demi menghidupi istri dan anaknya yang masih berumur 8 bulan, Soleh menjadi kernet mobil angkutan.

Mengenai masalah kejawen, Soleh sudah meninggalkan ajaran itu. Entah kenapa ketika berbicara denganku tentang ini dia teringat semua. Sudah takdir katanya. Aku malah di ajari kejawen, seperti, puasa hari kelahiran, zikir sampai tengah malam, mandi kembang, dsb. Aku juga di ajari doa-doa sebelum melakukan pekerjaan. Kata-kata dalam doa itu adalah akulturasi antara kata dari Arab dan Jawa.

Heran aku, dengan jujur Soleh menceritakan pengalaman hidupnya. Apakah ini yang dinamakan pernyataan dari alam bawah sadar seperti kata Sigmund Freud12, bahwa jika dalam kondisi tenang seseorang akan menceritakan pengalaman hidupnya dengan jujur. Dari diskusi dengan Soleh ini aku jadi semakin mengerti bahwa walaupun dia orang jalanan, tapi masih memiliki kebaikan dan kejujuran dalam hati nuraninya13. Dari sini aku mendapatkan pengalaman yang baru. Sekedar tahu saja, Soleh adalah orang ketiga yang memberi aku wawasan tentang kejamnya dunia. Lain waktu saja aku ceritakan kedua orang itu.

Malam semakin larut, aku sudah tidak kuat lagi menahan ngantuk. Soleh juga mengerti keadaanku dan menyuruhku tidur. Dan akhirnya aku tidur dan melakukan perang antar dunia dengan nyamuk, tapi kali ini aku agak cuek karena aku sangat ngantuk sekali

***

Lampiran Ekspresi Foto (all photo by: Agung Collection)

Diambil pada Rabu 7 Mei 2008


  • Suasana pagi hari di penginapan istimewa.


Gb. 11. Jalan gang depan penginapan

Gb. 12. Kamar para laki-laki

Gb. 13. Aktivitas di pagi hari sebelum berangkat























  • Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur.

Gb. 14. Pak Mashuri dan Pak Joko sedang berdiskusi di ruang rapat.

Gb. 15. Diskusi dengan manusia bersuara robot (Hasto Hendarto disebelah kiri) dan Pak Abimanyu.












Gb. 16. Bu’ kedinginan ya??

Gb. 17. Mas jangan ngantuk, masih banyak kerjaan lho…








  • Perpustakaan Gubernur Jawa Timur

Gb. 18. Mas tidur aja, emang gak kerja???





Gb. 19. Aku sedang membaca buku (Keren abiz kan…).







Gb. 20. Pak Joko Sayono memberikan vandel kepada pengurus perpustakaan Gubernur Jatim.













  • Kompleks Makam Sunan Ampel

Gb. 21. Suasana di kompleks Makam Sunan Ampel

Gb. 22. Salah satu gapura di kompleks Makam Sunan Ampel.

Gb.23. Hunter manjadi model dengan memamerkan kalender.

Gb. 24. Masjid Ampel nampak dari Selatan



1 menggelandang

2 Pengembangan minat baca di perpustakaan bisa dilihat dalam Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan; Sebuah Pendekatan Praktis (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) hal. 31-37.

3 Hal ini seperti gambaran dari tokoh Mahar dalam Novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hinata. Tokoh Mahar ini awalnya sangat fanatik pada hal-hal yang berhubungan dengan mistik, tapi pada akhirnya dia sadar. Novel ini sangat bagus, rugi jika tidak membacanya.

4 Diskusi dengan Hasto Hendarto.

5 Melihat Lukluk aku jadi punya pesan moral nomer dua, jika mempunyai gagasan atau ide secepatnya diutarakan.

6 Pelajaran moral ketiga, sebelum bekerja sarapanlah terlebih dahulu bagi yang punya masalah dengan perut

7 Lihat dalam Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1988).

8 Diambil dari Badan Pengelolaan Teknologi Komunikasi dan Informasi Online, diupdate pada 17 Mei 2008.

9 Pelajaran moral keempat, jika berbicara dengan orang jalanan, gunakan kata-kata yang memuji mereka agar orang-orang jalanan itu senang dan mau membantu kita.

10 Tentang Kejawen ini bisa dilihat dalam Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi Di Indonesia, (Yogyakarta: Lkis, 2007).

11 Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1993)

12 Lihat Ferdinand Zaviera, Teori Kepribadian Sigmund Freud, (Yogyakarta: Prismasophie, 2007).

13 Pelajaran moral kelima, kita akan santai berhadapan denga orang jalanan jika mengetahui sisi kepribadiannya yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar