Kamis, 29 Mei 2008

3 hari mencari jalan

KATA PENGANTAR


Dalam perkuliahan di Jurusan Sejarah, mahasiswa diberi kajian kuliah lapangan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Karena itulah Jurusan Sejarah membuat kebijakan untuk diadakannya Kuliah Kerja Lapangan pada mata kuliah tertentu. Mata kuliah yang dimaksud adalah mata kuliah yang mempunyai beban jam studi lebih satu dari jumlah beban SKS tiap mata kuliah. Contohnya seperti mata kuliah Sejarah Indonesia Lama yang mempunyai 3 SKS/4 JS, maksudnya adalah bahwa mata kuliah Sejarah Indonesia Lama mempunyai beban 3 SKS dan mempunyai jam studi 4 jam. Sebenarnya dalam perkuliahan Sejarah Indonesia Lama ini hanya 3 jam sedangkan 1 jamnya untuk kuliah di Lapangan1.

Dalam kurikulum Jurusan Sejarah juga ada mata kuliah KKL (Kuliah Kerja Lapangan) Terintegrasi. Maksudnya adalah mata kuliah yang wajib diikuti oleh mahasiswa Jurusan Sejarah yang tujuannya mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari perkuliahan. Dalam KKL Terintegrasi ini mahasiswa melakukan tour ataupun kunjungan ke berbagai daerah atau instasi. Disana mahasiswa akan belajar mengaplikasikan ilmunya atau sekurangnya memperoleh informasi dan sumber untuk persiapan penulisan skripsi.

Untuk mahasiswa Jurusan Sejarah, Program Studi Ilmu Sejarah mengadakan Kuliah Kerja Lapangan Terintegrasi ke Surabaya pada 6-8 Mei 2008 kemarin. Sedangkan rekan-rekan mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Sejarah mengadakan KKL ke Bali. Pada laporan perjalanan ini yang penulis deskripsikan adalah catatan perjalanan dari Surabaya karena penulis adalah mahasiswa dari Prodi Ilmu Sejarah.

KKL Terintegrasi (selanjutnya menggunakan istilah KKL) ke Surabaya ini merupakan yang terbaik, yang paling menegangkan, dan yang paling menarik dari KKL (kecil) yang pernah dilakukan. Terjadi beberapa peristiwa enmalig atau bahkan “berbau” funny dalam perjalanan ini. Semua itu penulis catat dalam sebuah buku saku yang selalu penulis bawa selama perjalanan ke Surabaya.

Pak Joko Sayono selama kuliah pernah berkata “Setangkai Pena, Selembar Kertas, dan Seuntai Kata-kata”, kalimat ini yang menjadi inspirasi penulis untuk membuat laporan perjalanan ini. Karena itulah penulis mencoba menceritakan ada apa saja dalam perjalanan kita (para mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah) dalam format berupa catatan perjalanan. Mungkin ada sedikit/banyak kata atau kalimat yang mengandung sastra untuk memberi variasi penulisan laporan. Tentu saja penulis tahu bahwa sejarah bukan sastra, karena itu untuk menampilkan sisi obyektif dari tulisan ini penulis menampilkan beberapa foto yang diambil dari berbagai tempat yang kami kunjungi. Penulis membagi tulisan ini menjadi tiga bab berdasarkan hitungan hari perjalanan di Surabaya. Dan penulis menggunakan kata “aku” sebagai sudut pandang orang pertama

Penulisan catatan perjalanan ini mungkin banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menyusun kata, dan juga bias dibilang sangat subyektif. Maka dari itu penulis perlu mendapat kritikan dan saran dari pambaca, rekan-rekan mahasiswa, dan dosen pembimbing KKL Terintegrasi. Semoga karya ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi kita semua.



Malang, 15 Mei 2008


Penulis

Day 1st


Pagi hari yang dingin, sebelum subuh aku melakukan kegiatan yang jarang dilakukan, yaitu mandi. Hawa sangat dingin, tapi harus dilaksanakan karena jika tidak pasti akan mengalami ngantuk berat dan mengurangi tampilan (fisik). Hawa dingin seperti es kutub yang sengaja dipindah di bak mandi terpaksa aku tahan demi mendapatkan penampilan dan bau harum yang oke. Selesai mandi, kemudian melakukan sholat Subuh, selanjutnya berangkat ke Kampus Universitas Negeri Malang, kampus yang menjadi tempat perjuangan nasibku.

Pada H-1 kita sepakat untuk berkumpul di depan LPM pada Selasa 6 Mei 2008 jam 5 pagi. Tapi aku tidak ikut berkumpul dulu karena harus mengambil konsumsi bersama dengan “Ibu Negara” julukan Luluk teman seofferingku. Sepeda motorku juga aku titipkan di rumah kos yang seperti istana negaranya “Ibu Negara”. Muter-muter sebentar dengan Luluk untuk mengambil konsumsi setelah itu aku dan Luluk ikut berkumpul di LPM.

Sebenarnya kisah perjalanan “menegangkan” kami berawal di pagi hari di depan LPM. Kita sudah berkumpul, bahkan Pak Mashuri sudah datang awal sekali sebelum kami, mungkin pagi-pagi buta setelah adzan Subuh beliau datang. Kami seperti pengungsi dari Gunung Kelud yang menghindari letusan lava. Tas besar-besar, konsumsi makan, vandel terkumpul seperti Kyokenmondinger2 di depan LPM. Kegiatan pertama kami adalah menunggu dengan gelisah mobil yang akan membawa kami ke Surabaya.

Sungguh diluar rencana yang pernah diutarakan pada H-1, sampai pukul 06.40 mobilnya belum datang. Kami sudah mati kutu menunggu wahana ini. Akhirnya kami sepakat untuk sarapan yang tadi aku dan Luluk ambil. Pada waktu makan aku malihat Hunter yang memang ketua panitia KKL ini sedang gelisah. Tak tawari makan pun dia tidak mau. Bolak-balik dia mengayunkan benda bertombol angka ke telinga. Aku baru melihat Hunter mengalami bingung yang luar biasa. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya sebingung itu. Hunter memang sesungguhnya adalah pria yang santai. aku bertanya kepadanya, siapa yang dia telepon? Dia menelepon Shinta, sekretarisnya yang pada waktu itu mau mengurusi transportasi. Bolak-balok nelpon tidak diangkat. Semakin bingunglah si Hunter, seperti orang yang berburu tapi tidak menemui hewan buruan.

Akhirnya tepat jam 7.00 mobilnya datang. Kedatangan tipe Elf ber warna biru tua yang biasa melintas di Arjosari (Malang)-Bungurasih (Surabaya) ini seperti anugrah yang menghidupi semangat teman-teman yang tadi bosan menunggu. Katanya Shinta, mobil ini lama datang karena masih mengurus surat izin melintas ke kota Surabaya. Ini sudah aku duga, karena di semester 3 aku pernah menjadi ketua panitia KKL Kecil ke Kediri. Dan kami pada waktu itu juga menyewa mobil trayek seperti ini. Sama juga ketika itu datangnya terlambat dengan alasan mengurus surat izin ke Dinas Perhubungan Malang. Akhirnya setelah berdoa bersama, kita berangkat melakukan perjalanan ke Surabaya.

***

Awalnya perjalanan lancar-lancar saja ketika masih di wilayah Malang (utara). Kernet sopir juga masih bisa teriak, “Prei Kiriii!!!3. Tapi ketika kita sampai di Bangil, mulai terjadi kemacetan. Hal ini memang sudah menjadi tradisi di daerah Bangil sampai Porong, Sidoarjo, tapi sejak melubernya semburan gas dan Lumpur dari “kesalahan” Lapindo dalam mengebor tanah, menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang memprihatinkan. Salah satu korbannya adalah kami, Rombongan KKL Terintegrasi. Mobil kami terjebak dalam kemacetan yang luar biasa. Kondisi panas,keadaan kami di dalam mobil seperti terjebak dalam oven untuk menanak sosis, gerah sekali, mau bergerak tidak bisa karena sudah penuh dengan Homo sapiens. Bahkan Pak Joko yang duduk di depan merasakan sangat panas4. Apalagi sopirnya mengajak satu orang lagi. Mobil hanya bisa berjalan perlahan-lahan. Pemandangan di luar hanya ada mobil, sepeda motor, truck, bus, yang berbaris seperti bebek. Yang ada hanya macet, macet, dan macet.

Sudah hampir 1,5 jam kita terjebak dalam kemacetan. Situasi kembali plong ketika kita sudah sampai di kota Delta Sungai, Sidoarjo. Hawa gerah dan panas mulai hilang, ingin rasanya seperti sponsor sprite yang setelah minum sprite bisa mencebur dalam tanah yang berubah menjadi air, SENSASI PLONG. Jalan lumayan padat, karena memang jam kerja. Tapi lancar.

Situasi kembali panas ketika sampai pada kota Surabaya (selatan). Kota yang pada 10 November 1945 menjadi ajang pertempuran seru antara pejuang, laskar, dan Tentara Indonesia dengan tentara Inggris dan NICA ini sangat padat. Aku malah teringat pada peristiwa itu. Bagaimana keadaan Surabaya pada waktu itu sangat panas karena mesiu dan mortir, digempur dari darat, laut, dan Udara. Sungguh luar biasa perjuangan Arek-Arek Surabaya pada waktu itu5. Tapi sayang perjuangan itu terlihat paradoks dengan situasi dan kondisi Surabaya yang sekarang.

Melintas di Jl. A. Yani keadaan masih macet. Kernet yang tadi diajak sopirnya berteriak-teriak “Awas Sikilee!!!6. Sungguh padat lalu lintas di sana. Sebutan kota metropolis ke-2 setelah Jakarta agaknya memang pantas untuk Surabaya. Kepadatannya, panasnya, rumah-rumah dan gedung-gedung yang saling berebut tanah. Itulah Surabaya, kota pesisir yang pada abad 17 pernah di serang yang kemudian pernah di kuasai oleh Sultan Agung dengan strategi membendung Sungai Mas dan memberi kotoran agar Pasukan Adipati Surabaya kekuatannya melemah7.

Perjalanan yang sangat lama, karena macet sehingga kita sampai pada tujuan pertama, yaitu di Badan Arsip Propinsi Jawa Timur di Jl. Jagir No 350, Wonokromo jam 10.15. Kita disambut dengan sederhana oleh Bapak Syawal yang sudah kukenal Karena aku dan Hunter pernah survey ke Badan Arsip Jawa Timur, kemudian setelah laporan kita berkumpul di ruang baca. Acara diskusi dibuka oleh Pak Rahmat Hidayat.

Badan Arsip Jawa Timur ini menyimpan beraneka macam arsip, tentu saja yang berjenis arsip statis8. Arsip-arsip tersebut tersimpan di depo arsip yang gedungnya terletak di samping kantor badan arsip. Dalam depo ini tersimpan arsip-arsip baik dari jaman Pemerintahan Hindia Belanda sampai Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Jadi jika dirunut dalam tahun menurut Bu. Ismi adalah paling tertua tahun 1869 sampai 1949. Masih arsip-arsip yang tersimpan dalam depo, di sini terdapat rak-rak tempat peletakan arsip. Arsip dalam rak-rak tersebut berisi arsip dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti, Nganjuk, Blitar, Sidoarjo, dsb. Jadi jika kelak aku nanti akan menulis skripsi tentang Kertosono (Nganjuk) arisp pertama yang aku lihat adalah arsip Residentie Kediri, kemudian arsip daerah Nganjuk. Di dalam depo arsip juga terdapat kotak-kotak besar seperti koper yang berukuran super-super jumbo, mungkin ukurannya 3mx3m (seperti kamar kosku). Isi dari kotak ini adalah arsip-arsip yang umurnya tertua diantara arsip yang lain (dari jaman Pemerintahan Hindia Belanda).

Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam gedung depo arsip. Kita bisa masuk Karena “rayuan” dari dosen pembimbing kita, apalagi Pak Mashuri, wah beliau ini yang paling “lihai” jika merayu. Ditambah lagi rombongan kami membawa nama instansi yaitu UM (Universitas Negeri Malang). Jika hanya pengunjung biasa hanya diperbolehkan melihat katalog yang disediakan dikantor (ruang baca/perpustakaan), jika ingin meminta arsip, akan diambilkan oleh petugas dari dari depo arsip. Jadi kami termasuk orang yang beruntung bisa masuk ke dalam secrhet room di Balai Arsip Propinsi Jawa Timur.

Kembali di ruang baca/perpustakaan. Di sana disediakan beberapa buku baik tentang sejarah maupun pengetahuan umum dan katalog. Juga terdapat layanan internet. Aku sempat memetakan informasi dari ruang ini walaupun Cuma sedikit. Untuk katalog terdapat:

  1. Staatblad Van Nederlansch Indie over het jaar 1869.

  2. Staatblad Van Nederlansch Indie over het jaar 1879.

  3. Provinciaal Blad.

  4. Verslag 1 Nederlansch Indie.

  5. Verslag 2 Nederlansch Indie.

  6. Lanbouw

  7. Begrooting Van Nederlansch Indie.

  8. Inventaris Arsip Kartografi.

  9. Palang Merah Indonesia terbitan tahun 2006.

Selain katalog di atas juga terdapat Verslag van Overgave (laporan serah terima jabatan) yang dibukukan. Juga ada arsip yang berupa microfilm, rekaman kaset dan rekaman visual. Hal ini merupakan usaha pengalihmediaan arsip supaya bisa tahan lama dan praktis.

Sayang sekali kami hanya sampai jam 12.00 jadi tidak puas hanya dengan berkunjung. Tapi setidaknya kami sudah tahu prosedur untuk mencari arsip jika salah satu atau salah dua dari kami berkunjung ke Badan Arsip Jawa Timur lagi dengan tujuan mencari sumber sejarah yang berupa arsip.

Setelah memberikan vandel, foto-foto, dan berpamitan kami melanjutkan perjalanan lagi menuju instansi berikutnya yaitu Universitas Airlangga (UNAIR).

***

Sebelum berangkat aku tadi sempat cemas. Ketika kami diskusi di ruang baca Badan Arsip Jawa Timur terdengar suara mobil kami meraung-raung seperti singa yang kakinya tertusuk ranting pohon. Ternyata mobil kami mempunyai masalah dengan kawat gasnya yang hamper putus. Tapi untunglah bisa diperbaiki, jadi kami bisa melanjutkan perjalanan.

Panas sekali cuaca di Surabaya, bisa membuat orang emosi jika terkena masalah. Itulah yang terjadi pada rombongan kami. Ternyata sopir kami tidak tahu jalan di Surabaya, kalau sampai Wonokromo tentu saja sudah tahu, tapi di kota mereka (sopir dan kedua kernetnya) tidak tahu jalan. Padahal ketika Ubed dan Shinta membuat kontrak, sopirnya bilang bahwa Surabaya adalah trayenya, tapi apa buktinya, He lied9. Suasana tegang kembali menyelimuti. Dengan emosi sopir dan kernet bertanya pada tukang becak, Satpam, dan beberapa orang. Jadinya kami muter-muter jalan di Surabaya. Seperti yang aku alami dengan Hunter ketika survey, kita sempat muter-muter tidak tahu jalan. Bahkan Tanya Polisi, Polisinya malah tidak tahu.. Ubed dan Khoiruddin yang naik vespa di depan mobil kami juga muter-muter, vespanya malah seperti bajaj bagiku. Sopirnya malah bicara yang kurang jelas, maklum dia tidak bisa bilang “r”, jadi pada waktu ngomong ke kernetnya,”Leh, llrrlluuul belok killri apa kanan!!!”, “Ayoo Tanya ollrang lagi!!!”. Waduh malah seperti orang belajar ngomong.

Satu hal yang menarik dan lucu, sopir dan kedua kernet kami ternyata sangat takut pada Polisi. Jika ada Polisi jaga di Pos, candela mobil di sebelahnya sopir langsung ditutup. Wah aku jadi agak besar kepala, apakah ayahku yang juga Polisi sebegitu ditakuti oleh sopir angkot?.

Suasana semakin panas saja seperti pertandingan Bulutangkis yang kedua pemain berkejaran angka. Aku lihat teman-teman memasang wajah tegang, apalagi dengan gaya nyetirnya sopir kami yang kasar, kontan kami seringkali berguncang ketika mobil mengerem. Kedua dosen pembimbing kami Cuma geleng-geleng kepala. Sempat aku bertanya pada Hunter, apa yang dia pikirkan sekarang, jawabnya simple, “Gua pengen di Malang sekarang.”.

Mobil masih melaju muter-muter. Tapi dengan doa dan usaha yang keras tentunya akhirnya kami sampai di Universitas Airlangga Jl.Airlangga No.4-6, Surabaya. Aku langsung menghela nafas dan berucap syukur, tapi cobaan masih berlanjut.

Jam tangan di lenganku menunjuk pukul 12.43. Kami berkumpul di ruang rapat Jurusan Sejarah Unair. Kami di sana di sambut dengan mengenyangkan. Di ruangan itu berkumpul beberapa dosen dan beberapa mahasiswa, dan juga Ketua Jurusan Sejarah, serta Dekan Fakultas Sastra yang sekarang di Unair Fakultas Sastra berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Setelah berkenalan sejenak, kami dipersilahkan makan nasi kotak yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Aku agak sedikit jengkel pada nasi kotakku, tempat nasi terbalik yang seharusnya ada dibagian bawah kotak, punyaku di bagian atas, jadi sulit untuk makan. Aku juga melihat Ubed yang makan tanpa sendok, seperti orang desa saja. selesai makan kami istirahat dan sholat Dhuhur. Kami di antar oleh Mas Latif dan dua juniornya menuju musholla. Kedua junior Mas Latif ini agak kurang enak kalau di ajak ngobrol. Eman lho padahal yang perempuan berjilbab lumayan manis dan yang laki-laki tingginya seperti aku dan kurus.

Selesai sholat Dhuhur kami kembali lagi ke ruangan Jurusan Sejarah untuk melanjutkan diskusi. Diskusi sangat menarik, kami saling bertukar pikiran tentang kurikulum. Jadi ada perbandingan antara Jurusan Sejarah UM dengan Jurusan Sejarah Unair. Ada semacam spesialisasi ilmu dalam Jurusan Sejarah Unair ini. Mereka membuat kurikulum yang berorientasi pada Sejarah Perkotaan. Dosen-dosennya pun juga mempunyai latar belakang ilmu tentang Sejarah Kota10. Mayoritas dosennya berasal dari UGM (Universitas Gajah Mada).

Spesialisasi pada Sejarah Kota bisa dilihat dari kurikulum mata kuliah di Jurusan Sejarah Unair. Mahasiswa diberi mata kuliah yang berhubungan dengan Sejarah Kota, seperti, Sejarah Perkotaan, Anthropologi Perkotaan, Sosiologi Perkotaan, Psikologi Perkotaan, Sejarah Jatim 1 dan 2, dan mata kuliah yang lain yang berhubungan dengan Sejarah Kota. Menurut Ketua Jurusan Sejarah (waduh aku lupa namanya) spesialisasi ilmu ini adalah belum pernah di lakukan Universitas yang lain, seperti misalnya UI (Universitasn Indonesia) spesialisasinya pada Sejarah Politik, UGM spesialisasinya pada Sejarah Desa, Undip (Universitas Diponegoro) spesialisasinya pada Sejarah Maritim, dsb.

Bagaimana dengan universitas kami? Sempat aku berpikir bahwa Universitas Negeri Malang (UM) tidak mempunyai spesialisasi. Hal ini bisa dilihat di kurikulum mata kuliah dan latar belakang dosen pembimbing. Dosen-dosen di UM mempunyai latar belakang pengetahuan yang beragam. Pak. Haryono Kajur kami memiliki latar belakang Sejarah Politik Kotemporer, Pak Joko Sayono latar belakangnya Sejarah Sosial Keagamaan, Pak Mashuri latar belakangnya Sejarah Politik Revolusi Kemerdekaan RI. Pak Dewa Agung juga Sejarah Politik. Kurikulum mata kuliah di Jurusan Sejarah UM pun kalau menurutka juga tidak spesialisasi, hanya di bedakan antara kajian untuk Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah. Tapi itu tidak menjadi masalah bagiku, bagi rombongan kami. Pada saat pembuatan skripsi akan nampak dimana teman-teman akan sadar posisi kalau kata Pak Dr. Haryono.

Walaupun begitu sebenarnya Jurusan Sejarah UM mempunyai spesialisasi di bidang Sejarah Kebudayaan. Jika kami ngomong tentang candi, situs, arca, prasejarah, kita tidak kalah dan sangat menguasai. Buktinya adalah ketika aku diminta tolong oleh teman-teman dari Surabaya yaitu dari Unair dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya) untuk menjelaskan tentang histories dari Candi Badut kemarin Sabtu 17 Mei 2008. Terlihat ketika mereka melihat Candi Badut mereka belum paham betul tentang teori bangunan candi. Karena itulah untuk memperkuat keilmuan kami dalam bidang Sejarah Kebudayaan, dalam kurikulum mata kuliah kami dibekali mata kuliah Geohistori.

Satu lagi yang bagiku menarik perhatian, yaitu tentang keterlibatan mahasiswa dalam penelitian atau proyek dari para dosen. Walaupun ada mahasiswa yang masih belum mempunyai pengalaman dalam meneliti, mereka ikut dilibatkan dalam proyek. Dari sini mereka bisa tahu dan mengerti tata cara meneliti secara langsung. Semoga di UM juga begitu, karena selama aku kuliah di UM belum pernah aku melihat dosen mengajak mahasiswa aktif dalam membantu proyek atau penelitiannya. Mungkin yang diajak mahasiswa tertentu saja, yang alasannya aktivis lah, IP di atas rata-rata lah dan apa lah. Maka dari itu mari kita saling bahu membahu dalam mewujudkan Ilmu pengetahuan di bidang Sejarah yang The Best.

Di Unair juga ada koleksi benda-benda purbakala di museum mininya. Tapi benda-bedan tersebut hanya kisaran dari jaman Hindia Belanda. Kalau arca-arca dan batu-batu mereka tidak punya.

***

Akhirnya setelah menyerahkan vandel dan mengucapkan salam perpisahan, rombongan kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah pulang ke penginapan. Masih saja muter-muter. Kami mencari penginapan kedua dosen kami yaitu Green House di Ketintang. Malah kami kesasar di Telkom, ngapain kami ke Telkom, perasaan kami semua tidak membawa telepon rumah?? Tapi akhirnya kami sampai di Green House sebelum Maghrib. Hotelnya lumayan bagus dan bersih itulah penginapan dari kedua dosen kami.

Berhenti sejenak untuk melepas ketegangan. Aku lihat Hunter berdiskusi dengan sopir dan kedua kernetnya. Aku pun juga mendekat. Sopir mengusulkan pada kami untuk tujuan selanjutnya adalah yang paling jauh dulu baru yang terdekat terus pulang ke Malang. Aku sudah muak dengan orang-orang jalanan ini, mereka sak penake dewe11 mengatur kami, padahal seharusnya kami yang mengatur mereka. Tapi Hunter, Ketua Pelaksana kami melakukan pendekatan-pendekatan seperti melakukan penelitian kualitatif.

Perjalanan dilanjutkan kembali, kami dibantu oleh saudara sepupu Mimin (panggilan Umi Fitria) untuk menunjukkan jalan ke penginapan kami. Mobil terus berjalan, wah jauh sekali penginapan kami dengan penginapan dosen!! Ternyata penginapan kami masuk ke perkampungan penduduk, masuk gang. Alamatnya kalau tidak salah di Jl. Pagesangan nomernya aku lupa.

Ketika mobil berhenti aku menoleh ke arah kanan, inikah penginapan kami? Bayanganku tidak seperti itu, penginapan ini ternyata rumah kos tapi tak ada bedanya dengan rumah biasa. Kamar bagi laki-laki pun sangat istimewa. Di sana tidak ada kasur Cuma karpet dan kasur gulung yang sudah cemet. Aku sangat berterima kasih pada teman-teman yang sudah mencarikan penginapan istimewa ini. Setidaknya mereka berupaya untuk mencari penginapan yang murah. Aku sempat jengkel juga. Aku dan Hunter sudah mengelilingi Malang untuk mencari Travel yang sekiranya murah, tapi ternyata ada teman kami (aku tidak menyebut merek) yang bersikukuh menyewa kendaraan angkutan umum yang lebih murah dan penginapan yang juga lebih murah. Ya tidak apa-apalah mereka juga telah berjuang mencari dan teman-teman yang lain pun banyak yang setuju dan menurut saja.

Jam 18.30 kami tiba di penginapan. Kegiatan pertama yang akan aku laksanakan adalah mandi. Tapi waduh, ternyata yang mandi antri banget. Akhirnya aku mengalah, baru jam 8.00 aku mandi. Airnya tidak sedingin di Malang, terkesan hangat. Mungkin karena tercemar lingkungan yang sudah terkena polusi.

Lelah sekali aku, setelah makan dari jatah konsumsi ingin rasanya tidur di kasur kamar kosku. Sebelum tidur aku membantu Hunter merekap judul buku dan majalah yang tadi diberi oleh Badan Arsip Propinsi dan Unair sebagai kenang-kenangan. Lumayan banyak buku yang kita dapat, nanti belum yang instansi selanjutnya.

Selesai merekap buku aku mau tidur. Sempat terganggu aku oleh ulah para orang jalanan yang ramai sendiri. Tapi aku cuek saja, aku tidur. Ternyata gangguannya belum berakhir. Musuh selanjutnya yang datang adalah para serangga penghisap darah, nyamuk. Mereka seperti pesawat F18 yang terbang kesana kemari, meraung-meraung di atas daun telinga dan siap mengebom apa saja yang berbentuk kulit. Nyamuk-nyamuk itu siap menusukkan mulut pedangnya tanpa pandang bulu. Tidak heran keesokan harinya muka para laki-laki menjadi berbintik, karena semalam berperang dengan nyamuk seperti peristiwa pengeboman Pearl Harbour oleh pasukan Jepang.

***

Lampiran Ekspresi Foto

(All Photo By: Agung collection)

Diambil pada 6 Mei 2008.


  • Badan Arsip Propinsi Jawa Timur.

Gb 1. Pak Rahmad membuka acara diskusi.

Gb. 2. Bu. Ismi Memberikan Informasi.

Gb. 2. Pak Mashuri dengan senyum dan rayuan khasnya.

Gb 3. Pak Joko Sayono dengan asistennya.

Gb. 3. Rak penyimpanan Arsip.

Gb. 4. Kotak besar tempat penyimpanan Arsip tertua (Foto, Agung Collection).


Gb. 5. Mas jangan ngantuk, habis bergadang ya…

Gb 6. Penyerahan Vandel oleh Pak Mashuri kepada Pak Syawal.











Gb.7. Pak Joko, teman-teman dan wahana yang membawa kami.













  • Universitas Airlangga


1 Tentunya bukan 1 jam saja, tapi selama satu haru penuh mengadakan kuliah kerja lapangan. 1 jam tersebut hanya simbolis dari satu hari.

2 Mengenai Kyokenmondinger bisa dibaca dalam R.P. Suyono, Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, masa Prasejarah Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).

3 Kata ini biasa diucapakan kernet mobil angkutan umum. Kata ini diucapkan ketika mobil akan menyalip dan keadaan jalan samping mobil yang kosong atau tidak ada kendaraan lain.

4 Pembimbing KKL Terintegrasi kami ke Surabaya adalah Bapak Drs. Mahuri, M.Hum dan Bapak Drs. Joko Sayono, M.Pd, M.Hum.

5 Untuk bisa mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai situasi dan kondisi Surabaya bisa dilihat dalam Frederick H, William.,Pandangan Dan Gejolak Masyarakat Kota Dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta: Gramedia, 1989).

6 Awas kakinya, perlu diketahui bahwa nama sopir kami adalah Taufik, kedua keretnya bernama Soleh (tua) dan Irul (muda dan gak plontos).

7 Keterangan mengenai serangan ke Surabaya ini bisa dilihat dalam Serat Trunojoyo, dan Babad Sultan Agung, juga bisa dilihat dalam Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Masa Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993).

8 Berdasarkan jenisnya arsip dibedakan menjadi arsip statis dan arsip dinamis. Untuk lebih jelasnya lihat Wursanto, Kearsipan I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 29.

9 Pelajaran Moral Pertama: jangan percaya pada omongan sopir angkot.

10 Hal ini biasanya bisa dilihat dari karya tulis (Tesis maupun Desertasi) dari dosen.

11 Semaunya sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar