Kamis, 31 Juli 2008

Jam kuliah sudah selesai, untuk mengisi waktu luang saya pergi ke perpustakaan pusat Universitas Negeri Malang. Supaya lebih tenang membaca, saya langsung menuju ke lantai 3. di lantai ini banyak sekali terpajang buku-buku yang “langka” karena selain usia dari buku-buku sudah tua juga sudah jarang atau bahkan tidak ada dalam toko-toko buku. Tentunya saya berpikir semoga ada perawatan lebih intensif agar buku-buku langka ini tidak rusak.

Saya tertarik pada buku yang bergambar wayang. Pengarangnya adalah Anton E. Lucas, berjudul Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi Dalam Revolusi. Pertama yang saya buka pada buku ini adalah halaman daftar isi dan kata pengantar. Menarik, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirjo, salah satu sejarawan Indonesia. Buku ini aslinya adalah disertasi dari Antony E Lucas di Australian National University, Canberra dengan judul The Bamboo Spear Pierces the Payung : The Revolution againts the Bureaucratic Elite in North central Java ini 1945.

Buku memberikan informasi tentang pergolakan sosial yang terjadi di tiga daerah di pesisir utara Jawa Tengah, yaitu; Brebes-Tegal-Pemalang. Sejarah Tiga Daerah penting sebagai peristiwa local revolusi Indonesia, karena merupakan sebuah revolusi sosial dengan ciri khas tersendiri. Disini revolusi sosial diartikan sebagai suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial/feudal menjadi suatu susunan masayrakat yang lebih demokratis. Cita-ciata ini mulai diperjuangkan oleh Sarekat Islam di Pekalongan pada tahun 1918, diteruskan oleh gerakan PKI dan Sarekat Rakyat samapi tahun 1926, tetapi baru tercapai pada bulan Oktober-November 1945[1].

Dalam Peristiwa Tiga Daerah ini menceritakan tentang penggulingan elite birokrasi masa kolonial oleh para revolusioner yang ”sakit hati” pada Oktober-Desember 1945. Tidak hanya digulingkan, malah terjadi gerakan sosial yang menimbulkan korban jiwa di pihak kalangan birokrat, bahkan sebelum dibunuh para birokrat ini di arak keliling kampung dulu (atau dalam buku ini disebut dombreng). Hal inilah yang membedakan dengan karya seajrah yang lain, seperti misalnya William H. Frederick yang membahas tentang Surabaya, yang tidak menimbulkan korban jiwa selama revolusi[2]. Atau dalam Taufik Abdullah (editor), Kumpulan tulisan tentang Sejarah Lokal, memuat tentang revolusi ditilik dari segi politik[3].

Karya ini menggunakan style Sejarah Sosial. Dari bab pertama sudah disuguhkan situasi dan kondisi pada masa kolonial, sehingga pembaca bisa merasakan apa yang terjadi pada waktu itu. Anton E. Lucas menggunakan sejarah lisan untuk menambah dan melengkapi sumber-sumber dokumen. Dengan teknik sejarah lisan (wawancara) rekonstruksi peristiwa-peristiwa di tiga daerah menjadi lebih hidup[4]. Tidak hanya peristiwa saja yang diceritakan, kehidupan sosial budaya di tiga daerah pada waktu itu juga diungkapkan dengan detail.

Elite-elite birokrat di tiga daerah merupakan pejabat yang diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Seperti yang sudah diketahui bahwa pada akhir abad 19 samapi awal abad 20 Belanda melakukan eksploitasi sumber alam untuk mengisi kas negara yang kosong. Untuk mengadakan eksploitasi itu Pemerintah Kolonial mengangikat para priyayi untuk dijadikan pejabat birokrasi yang menangani penyerahan pajak dan hasil bumi rakyat. Dari sinilah timbul korupsi yang dilakukan oleh birokrat priyayi tadi. Ketika Pendudukan Jepang para birokrat juga melakukan hal yang sama. Mereka memeras rakyat agar menetorkan padi dengan paksa. Hal ini dilakuakan oleh birokrat paling bawah, yaitu lurah, untuk menimbun hasil padi[5].

ada perlawanan dari rakyat terhadap birokrat pada masa Pendudukan Jepang. Seperti yang terjadi pada insiden Comal. Dalam insiden ini Camat Raden Basirun tewas ditusuk bambu runcing karena dikeroyok warga. Warga Comal tidak suka pada perlakuan dari R. Basirun yang sering menggunakan kekerasan fisik[6].

Perlawanan rakyat terhadap pangreh praja, lurah, dan kaum birokrat yang lain semakin ”ganas” ketika pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Aksi-aksi yang terjadi adalah kekerasan yaitu merusak, merampok, membakar, atau bahkan membunuh. Seperti yang erjadi pada Juwito, bekas pegawai Jawatan pertanian yang tewas ketika rakyat membakar rumah lurah dan camat di Pemalang[7].

Ada ritual menarik pada revolusi ini, yaitu ritual dombreng. Pola ritual ini ada sebagai berikut. Kalau yang kedapatan, ia pun diseret keluar dan dipertontonkan di muka umum. Seringkali ia di dikalungi beras atau padi, dan diiringi bunyi ”breng dong breng” yang berasal dari kaleng kosong yang dipukul-pukul. Hal ini selalu terjadi di siang hari, supaya sebanyak mungkin orang dapat menyaksikan[8]. Aksi ini tidak lepas dari peran para Lenggaong[9] yang memimpin ritual dombreng. Para lenggaong ini juga mempunyai peran dalam Revolusi Tiga Daerah.

Struktrur birokrasi juga mengalami perubahan. Yang merubah adalah orang-orang dari organisasi seperti AMRI, API, Sareikat Rakyat dan PKI bawah tanah. Bahkan budaya pun juga berubah. Seperti dalam hal bahasa. Bahasa kromo dihilangkan, dan menggunakan bahasa ngoko untuk berkomunikasi. Hal ini bertujuan supaya terjalin keakraban dan menghilangkan sikap feodal.

Revolusi selalu terjadi pada suatu peristiwa yang menjadi peralihan jaman. Peristiwa Tiga Daerah ini terjadi pada peralihan masa dari masa Kolonial Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, sampai proklamasi kemerdekaan. Proklamasi membuka pintu untuk kekuatan sosial dan politik, cita-cita dan nilai-nilai di kalangan masyarakat, yang sebelumnya tertindas atau tidak dapat ditampilkan[10].

Peralihan jaman pada 1965-1966 juga menimbulkan gejolak pada masyarakat. Juga pada 1998. karena itulah diperlukan suatu saling mengerti dan saling percaya antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah harus selalu terbuka terhadap rakyat dan selalu memperhatikan nasib rakyat. Rakyat juga harus legowo dengan melaksanakan aturan-aturan pemerintah. Tetapi jika ada tindakan pemerintah yang menyeleweng, maka rakyat harus bertindak.

Hanya kedekatan penguasa dan rakyatlah suatu negara bisa makmur.



[1] Hal. 2.

[2]William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), Jakarta: Gramedia, 1989. Temporal dalam karya ini juga relatif panjang yaitu antara 1926-1946 dan puncak gejolaknya yaitu pada pertempuran 10 November 1945

[3] Taufik Abdullah, Sejarah Lokal Indonesia

[4] Seperti pada karya disertasi lainnya, dala buku ini juga dilampirkan transkripsi wawancara dengan saksi mata. Selain itu juga terdapat foto, arsip, dan sumber pustaka.

[5] Hal. 41.

[6] Hal. 68.

[7] Hal. 204.

[8] Hal. 193.

[9] Orang yang mempunyai pekerjaan merampok/ mencuri barang. Ada juga Lenggaong yang merampok harta orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin (seperti cerita robin hood saja...).

[10] Hal. 299.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo kirim komentar